Sabtu, 24 Januari 2009

The Simple Life Of Muhammad


If we compare the life of muhammad before his mission, As a prophet and his life after he began his mission as a prophet, we will conclude that ti is beyond reason to think that muhammad was a false prophet, who claimed prophethood for material gains, greatness, glory, or power.

Before his mission as a prophet, muhammad had no financial worries. As a succesfull and reputed merchant. Muhammad drew a satisfactory and confortable incame. After his mission as a prophet and because of it, he became worse of materially. To clarify this more, let us browse the following sayings on his life : sahl ibnu sa’ad one of muhammad companion said “the prophet of god did not see bread made from fine flour from the time god sent him (as a prophet) until he died”.

Amr ibnu al-hareth, one of muhammad’s componions, said that when the prophet died, he left no money nor anything else except his white riding mule, his arms, and a piece of land which he left to charity.

Muhammad lifed this hard life till he died although the muslim treasury was at his dispossal, the greater part of the arabiian peninsula was muslim before he died, and the muslim where fictorious after eigh teen years of his mission.

Is it possible that muhammad might have claimed prophethood in order to attain status, greatness, and power? The desire to enjoy status and power  is usually associated with good food, fancy clothing, monumental palaces, colorfull guards, and indisputable authority. Do any of this indicators apply to muhammad? A few glimpses of his life that may help answer this question follow.

Despitehis responsibilites as a prophet, a teacher, a statesman, and a judge, Muhammad used to milk his goat, mend his clotes, repair his shoes, help with the householld work, and visit poor people when theygot sick. He also helped his companions in digging a trench by moving sand with them. His life was an amazing model of siplicity and humbleness.

Muhammad was loved and trusted by hisfollowers. They respected him to an amazing extent. Yet, he continued to emphasize that de infication should be directed to god and not him personally. It was said by anas, one of Muhammad’s companios, that there was no person whom they loved more than Muhammad, yet when he came to them, they did not stand up for him because he hated their standing up for him, as other people do with their great people.

Long before there was any prospecpect of success for islam and painful era of forture, suffering, and persecution of Muhammad and his followers, he was given an interesting offer. An envoy of the pagan leaders. Otba, came ti him saying”… if you want money , we will collect enough money for you so that you will be the richest one of us. If you want leadership, we will take you as our leader and never decide qn any matter without your approval. If you want a kingdom, we will crown you king over us ….” Only one conces sion was required from Muhammad in retum for that, to give up calling peple to islam and worshipping God alone without any partner. Wouldn’t tkis offer be tempting to one pursuing worldly benefit? Was Muhammad hesitant whe n the offerwas made? Did he turn it down as a bargaining strategy leaving the door open for a better offer? The following was his.

Answer . (in the name of god, the most gracious, the most merciful). And he recited the verses of the Qur’an 41”1-38 to otba. The following are some of these verses.

(Arevelation frm (god). The most graious. The most merciful;a book whereof the verses are explained in detail, a qur’an in arabic. For people who know .giving good news and warnning yet most of them turn away. So they do not listen)                  (Qur’an. 41: 2-4)

These all just show the propheth’s humbleness and nobility during his struggle to spreadthe message of islam.

Adapted from:A Briel illustrated Guide to understanding Islam.  

Jumat, 23 Januari 2009

HADITS YASIN PALSU ???...


Yasinan sudah menjadi tradisi masyarakat muslim di Indonesia. Ketika ada orang yang sakit atau sedang menghadapi kematian masyarakat kita membacakan yasin di sisi orang yang sakit tersebut. Namun akhir-akhir ini eksistensinya sedikit tergoyah karena ada beberapa kelompok orang yang mengklaim bahwa hadits-hadits yang berhubungan dengan Yasin dinilai sebagai hadits dloif bahkan maudlu' (palsu) yang tidak boleh untuk diamalkan. Benarkah demikian?
Kesunahan membaca yasin di sisi orang yang menghadapi kematian berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ma'qil bin Yasar yang berbunyi: "Bacakanlah Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian." 
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi: 
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 380)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ يَعْنِي يس.
Untuk mengetahui kualitas hadits ini, maka kita harus mengetahui biografi para rawi hadits di atas, apakah tsiqat atau tidak. Para rawi-rawi tersebut adalah:
1. Abu Bakar bin Abi Syaibah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasati al-Abbasi. Beliau wafat pada tahun 235 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau termasuk rawi yang tsiqatun hafidzun. (Tahdzib al-Tahdzib: 6/4). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk al-Hafidz. 
2. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq
Nama beliau adalah Ali bin al-Hasan bin Syaqiq bin Dinar al-Abdiy Abu Abdirrahman al-Maruzi, beliau wafat pada tahun 215 H, menurut pendapat lain beliau wafat sebelum tahun 215 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau termasuk perawi yang tsiqatun hafidzun (Tahdzib al-Tahdzib: 7/299). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk rawi yang tsiqat.
3. Ibnu al-Mubarak
Nama beliau adalah Abdullah bin al-Mubarak bin Wadlih al-Handholi al-Taimi. Beliau lahir pada tahun 118 H dan wafat pada tahun 181 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat, tsabat, faqih, alim, jawwad dan mujahid (Tahdzib al-Tahdzib: 5/386). Sedangkan al-Dzahabi mengatakan bahwa beliua adalah Syeikh Khurasan.
4. Sulaiman al-Taymi
Nama beliau adalah Sulaiman bin Tharkhan al-Taymi. Beliau lahir pada tahun 46 H dan wafat pada tahun 143 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat (Tahdzib al-Tahdzib: 4/202). Menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk salah satu sadaat (pembesar).
5. Abu Utsman
Menurut satu pendapat nama beliau adalah Sa'ad. Menurut Ibnu al-Madini beliau adalah majhul (tidak diketahui identitasnya), sedangkan Ibnu Hibban menyebutkan bahwa beliau termasuk dalam kategori rawi-rawi yang tsiqat. (Tahdzib al-Tahdzib: 12/147), sehingga al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa beliau adalah rawi yang maqbul.
6. Ayah Abu Utsman
Biografi beliau tidak diketahui.
7. Ma'qil bin Yasar
Nama beliau adalah Ma'qil bin Yasar bin Abdullah al-Muzani. Beliau termasuk sahabat yang mengikuti baiat di bawah pohon (baiatur ridhwan). Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Dzahabi beliau termasuk dalam kategori shahabiy (Tahdzib al-Tahdzib: 10/235)
Setelah kita mengetahui biografi dari rawi-rawi di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada rawi-rawi tersebut ada satu rawi yang tidak diketahui biografinya yaitu ayah Abu Utsman. Sehingga hal itu menyebabkan hadits di atas sanadnya adalah dhoif yang disebabkab karena jahalat al-rawi (biografi rawi yang tidak diketahui).
Dalam ilmu hadits, hadits-hadits yang maqbul (bisa dijadikan sebagai hujjah) ada empat, yaitu hadits shohih lidzatihi, shohih lighairihi, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Nah, hadits di atas apabila dikatakan sebagai hadits yang sanadnya dloif, maka minimal hadits di atas termasuk dalam kategori hadits hasan lighairihi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Karena selain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya: 19416 dan 19427, Imam al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra: 10913, al-Hakim dalam al-Mustadraknya: 2028, al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir: 16904 dan 16931, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman: 2356, 2357, 8929 dan 8930, Ibnu Hibban dalam Shohihnya: 3064, al-Thayalisi dalam Musnadnya: 962 dan Abu Dawud dalam Sunannya: 2714. Selain itu, hadits di atas juga dishohihkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shohihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadraknya.
Imam al-Sakhawi dalam Fath al-Mughitsnya berkata: “Sesungguhnya hasan lighairihi disamakan dengan hadits yang bisa dijadikan sebagi hujjah, akan tetapi hal itu berlaku pada hadits yang jalurnya banyak. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam sebagian hadits: “Hadits-hadits ini walaupun sanad-sanadnya dloif, maka berkumpulnya sanad-sanad tersebut sebagian menguatkan sebagian yang lain dan jadilah hadits tersebut sebagai hadits hasan yang bisa dijadikan sebagi hujjah.” Imam Nawawi juga berkata: ”Hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) maka derajatnya naik dari dloif menjadi hasan. Maka jadilah hadits tersebut sebagai hadits yang maqbul (diterima) dan diamalkan.” Hal itu juga telah disampaikan lebih dahulu oleh Imam al-Baihaqi, beliau menguatkan hadits-hadits dloif karena berasal dari jalur yang banyak. (Qawaid al-Tahdits: 1/66)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para Ulama sebelum Imam Tirmidzi hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif. Sedangkan dloif menurut mereka terbagi menjadi dua, dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan dan ini menyerupai hasan menurut istilah Imam Tirmidzi dan dloif yang wajib untuk ditinggalkan yaitu al-wahi (hadits yang lemah).( Majmu' Fatawa:18/25, Qawaid al-Tahdits: 1/56)
Sedangkan definisi hadits hasan lighairihi sendiri adalah hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) dan sebab kedloifannya bukan karena fasiknya rawi atau dustanya rawi. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dloif derajatnya bisa naik menjadi hasan karena dua hal: 1) diriwayatkan dari jalur lain satu atau lebih, baik jalur yang lain itu sama kualitasnya atau lebih kuat. 2) kedloifan hadits disebabkan adakalanya karena buruknya hafalan rawi, terputus dari sanadnya atau biografi rawi yang tidak diketahui. (Taysir Musthalah al-Hadits: 43).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Saya telah menemukan syahid (penguat eksternal) bagi hadits Ma'qil (yakni hadits: "Bacakanlah Yasin kpd orang yg akan mati di antara kamu.") dari Shafwan bin Umar, dari Masyyakhah (orang-orang sepuh), mereka menjenguk Ghudlaif bin al-Harits ketika dalam keadaan yang sangat parah. Ghudlaif berkata: "Adakah diantara kalian semua seseorang yang membaca surat yasin?" maka kemudian Sholih bin Syuraih al-Sakuni membacanya, ketika sampai empat puluh ayat dari surat yasin Ghudlaif meninggal. Kemudian orang-orang sepuh berkata: "Apabila surat yasin dibacakan disisi mayit maka diringankanlah ia karena surat yasin itu." Shafwan berkata: "Isa bin Mu'tamar membacakannya di sisi Ibnu Ma'bad." Al-Hafidz berkata: "Hadits ini adalah mauquf yang sanadnya hasan. Ghudlaif termasuk dalam kelompok shahabiy menurut jumhur." (al-Futuhat al-Rabbaniyyah ala Adzkar al-Nawawiyah:4/85. Kisah tersebut juga dituturkan Imam Ahmad dalam Musnadnya: 34/324 ).

Pendapat Para Imam Dari Madzhab Empat Tentang Kesunahan Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Mengalami Sakaratul Maut.
1. Ulama Syafi'iyyah mensunnahkan untuk membaca yasin disisi orang yang sedang menghadapi kematian. Ungkapan kesunahan tersebut Insya Allah terdapat pada semua kitab fiqh Madzhab Syafi'i, dan terlalu banyak jika harus kita tuliskan disini. Cukuplah kita katakan "Hal yukhfa ala al-nasi al-qamar?"
2. Ulama Hanafiyah juga mensunnahkan hal itu. Keterangan itu bisa dilihat dalam Hasyiyah Rad al-Mukhtar: 2/207 dan kitab-kitab Madzhab Hanafi yang lain.
3. Ulama Malikiyah juga menganjurkan hal itu sebagaimana dalam kitab al-Fawakih: 3/282 dan kitab-kitab yang lain.
4. Ulama Hanabilah juga mensunnahkan hal yang sama. Penjelasan mengenai hal itu dapat kita temui dalam al-Syarh al-Kabir li Ibni Qudamah: 2/305, Syarh Muntaha al-Iradat: 2/373, Kasf al-Qina':4/277-278) dan kitab-kitab Madzhab Hanbali yang lain.
Para ulama Madzhab Empat yang mensunnahkan pembacaan Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian semuanya bersandar pada hadits Ma'qil bin Yasar "Iqra'u 'ala mautakum yaasin." Jika ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Yasin semuanya adalah palsu, maka secara tidak langsung mereka telah menuduh para imam dari Madzhab Empat mengamalkan hadits yang palsu. Na'udzu billah, Subhanaka hadza buhtanun 'adhim.

Wasiat Para Ulama Untuk Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Menghadapi Kematian.
1. Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah menjelang wafatnya, beliau mengumpulkan keluarganya, mengahdap qiblat dan berwasiat kepada mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT kemudian memerintahkan mereka untuk membaca surat yasin. (Dzail Thabaqat al-Hanabilah: 1/203)
2. Sufyan al-Tsauri, beliau menjelang wafatnya memerintahkan Abdurrahman untuk membacakan yasin. Beliau berkata kepada Abdurrahman: "Bacakanlah aku Yasin, sesungguhnya dikatakan bahwa yasin itu meringankan orang yang sakit." Kemudian Abdurrahaman membacakannya dan beliau meninggal dunia sebelum Abdurrahman selesai membaca yasin. (Siyar A'lam al-Nubala': 7/278)
Dan masih banyak lagi bukti-bukti yang lain tentang anjuran membaca surat Yasin di sisi orang yang sedang mengahadapi kematian yang tidak kami tuliskan di sini. Cukuplah bagi kita atas statemen al-Imam al-Manawi dalam Faidl al-Qadirnya yang berkata: "Sungguh telah berturut-turut (tawatur) atsar yang menerangkan tentang melimpahnya keutamaan-keutamaan yasin." 
Wallahu A'lam bi al-Shawab.

BERDZIKIR DENGAN TASBIH


Alhamdulillah, washolatu wassalamu ala sayyidina Rasulillah… 
Memakai untaian tasbih dalam berdzikir sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin sejak lama, bahkan sejak masa Rasulullah SAW. Beliau ketika melihat para sahabatnya memakai tasbih (dengan berbagai macam bentuknya) untuk menjaga hitungan dalam berdzikir tidak malarangnya bahkan menetapkannya. Nah, lalu bagaimana bisa sebagian kelompok menganggap memakai tasbih untuk berdzikir sebagai bid'ah? Padahal hal itu sudah ada di zaman Nabi SAW dan dilakukan oleh para sahabat? Sungguh sangat mengherankan….
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tasbih, maka beliau mengatakan bahwa sebagian orang membencinya dan sebagian yang lain memperbolehkannya dan ketika menggunkan tasbih itu niatnya bagus, maka hal itu adalah baik dan tidak dimakruhkan. (Fatawi al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta': 9/125 dan Majmu' Fatawi Ibni Taimiyah: 5/226) 
Di dalam beberapa hadits telah dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan, bilangan dan waktu untuk berdzikir, seperti halnya setelah sholat dengan membaca tasbih 33x, tahmid 33x, takbir 33x kemudian disempurnakan dengan membaca tahlil. Juga dalam keterangan-keterangan hadits yang lain tentang keutamaan sebagian dzikir 10x atau 100x dsb. Selain itu Allah SWT juga memerintahkan kita untuk selalu memperbanyak dzikir kepada-Nya. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan berzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang."[al-Ahzab: 41-42]
Maka dari itu seorang yang berdzikir butuh untuk menjaga hitungannya. Lalu dengan sarana apa untuk menjaga hitungan tersebut? Di dalam Islam tidak terdapat sarana tertentu yang harus dipakai sehingga cara/sarana yang lain tidak diperbolehkan.
Memang benar, menghitung dzikir dengan menggunakan jari tangan merupakan iqtida' (mengikuti) Nabi SAW. Akan tetapi beliau sendiri tidak melarang menghitung dzikir dengan sarana/cara yang lain, bahkan beliau sendiri menetapkan berdzikir dengan menggunakan tasbih dan ketetapan beliau termasuk dalil syar'i. lalu jika Rasulullah SAW saja menetapakannya dan ridlo terhadap perbuatan sahabat yang berdzikir dengan menggunakan tasbih, apakah kita berani mengatakan bahwa berdzikir dengan tasbih merupakan bid'ah? Sedangkan Rasulullah SAW menyaksikan para sahabat melakukan itu dan beliau tidak mengingkarinya. Apakah kita berani melarang sesuatu yang tidak pernah dilarang oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan para ulama' salafus sholih? apakah kita akan menciptakan hukum baru yang tidak pernah dicetusakan oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan para ulama' salafus sholih? Suhanaka hadza buhtanun 'adhim!.
Ketetapan Nabi terhadap perbuatan para sahabat yang berdzikir dengan tasbih dan tidak adanya ingkar beliau menyebabkan sekelompok para sahabat yang lain dan para ulama salafus sholih menggunakan tasbih sebagai sarana ntuk menjaga hitungan dalam berdzikir dan para sahabat yang lain dan juga para ulama tidak mengingkari hal itu. Banyak sekali para sahabat yang berdzikir dengan menggunakan tasbih, diantaranya adalah Abu Hurairah, Abu Darda' Abu Shafiyah, Abu Said al-Khudzri, Sa'ad bin Abi Waqash dan masih banyak lagi dari generasi-generasi berikutnya dan para ulama yang menggunakan tasbih.
Pernah ditanyakan kepada al-Junaid: "Dengan kemuliannmu, mengapa engkau mamakai tasbih?" Maka al-Junaid berkata: "Tasbih merupakan media yang dapat menyebabkanku wushul kepada Tuhanku, aku tidak akan melepasnya." [Risalah al-Qusyairiyah: 1/18]. Abu al-Qasim al-Thabari dalam kitabnya "Karamat al-Auliya'" menuturkan bahwa Abu Muslim al-Khulani mempunyai tasbih dan juga mayoritas para syuyukh (para guru) mempunyai tasbih yang dipakai untuk berdzikir. Mereka menyebutkan bahwa faidahnya adalah ketika seseorang melihat atau membawa tasbih itu menyebabkan ia ingat kepada Allah SWT, mendorongnya untuk selalu berdzikir dan membantunya dalam menjaga hitungan. Tidak pernah dinukil dari ulama baik salaf maupun kholaf larangan untuk berdzikir dengan tasbih dan juga tidak ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah makruh.
Berdasarkan uraian di atas, maka menggunakan tasbih merupakan sesuatu yang dianjurkan, akan tetapi mana yang lebih utama? Sebagian ulama berkata: "Menghitung dzikir dengan jari-jemari lebih utama dari pada tasbih apabila aman (terhindar) dari kesalahan atau lupa dalam hitungan sebagaimana hadits Ibnu Umar. Namun seandainya khawatir lupa terhadap hitungannya maka yang lebih utama adalah menggunakan tasbih." [Lihat: al-Hawi li al-Fatawi oleh Imam Suyuthi. Dalam kitab ini Imam Suyuthi mengupas tuntas tentang tasbih dalam risalahnya yang berjudul "al-Minhah fi al-Subhah", Nail al-Authar oleh Imam al-Syaukani dan Fatwa al-Azhar] 
Ketika Rasulullah bersabda: "Hendaklah kalian hitung dengan jari-jari kalian karena sesungghnya kelak ia akan dimintai pertanggung jawaban dan akan diminta untuk berbicara." Maka sesungguhnya biji-biji tasbih tidak akan bergerak kecuali digerakkan oleh jari-jemari, dan jari-jemari tersebut akan dimintai pertanggung jawaban dan diminta untuk berbicara di hadapan Allah SWT. Maka sebenarnya hakekatnya adalah sama.
Berdzikir dengan tasbih atau tidak pada hakekatnya adalah sama, tergantung masing-masing niatnya. Maka permasalahan ini hendaknya janganlah digunakan sebagai alat untuk mencaci atau mencari kesalahan kelompok lain yang tidak sefaham. Wa Billahi al-Taufiq Wallahu A'lam bi al-Showab ….


Rabu, 21 Januari 2009

HAUL AKBAR GRESIK 2009


Catatan seorang Santri..
Jam empat pagi waktu istiwa' para penjaga yang bertugas membangunkan para santri telah menggedor pintu kamarku. Di antara sadar dan tidak, aku langsung melangkahkan kakiku menuju ke kamar mandi, karena kalau tidak segera, maka kamar mandi akan dipenuhi antrian seperti antrian untuk mendapat jatah minyak tanah yang sering aku lihat di agen minyak tanah milik Ustadz Arif. Aku sangat bersyukur ketika sampai di kamar mandi masih agak sepi dan airnyapun kebetulan banyak, sehingga aku dapat mandi dengan leluasa. 
Begitu aku selesai mandi dan sampai di kamar, adzan subuh telah berkumandang, dalam hatiku aku sangat menyesal karena aku belum mengerjakan sholat witir. Tidak tahu, apakah aku yang terlalu lama asyik mandi sehingga jadwalku untuk mengerjakan witir habis terpotong atau memang waktu subuh yang lebih maju dari biasanya. 
Seperti biasa kami berjamaah di masjid yang penuh barakah ini. Tapi pagi itu ada yang lain karena semua santri baik putra dan putri diwajibkan untuk mengikuti Haul Akbar di Jalan Veteran Gresik. Wal hasil, setelah wiridan subuh, kami langsung di giring oleh Cak Tazam menuju kantin untuk sekadar breakfast bersama-sama. Kemudian setelah itu kami bersiap-siap untuk berangkat menuju lokasi acara. Tapi sayang, bus yang menjemput kami menuju acara ternyata belum datang, sehingga akhirnya kami harus menunggu agak lama untuk berangkat ke lokasi. 
Sesampai di lokasi acara, aku tidak langsung menuju panggung acara, walaupun sudah terdengar himbauan melalui pengeras suara bahwa santri al-Fithrah diharap segera untuk naik ke panggung dan mengikuti acara. Aku masih mondar mandir ke sana ke sini untuk mencari kamar kecil karena sudah dari tadi aku kebelet untuk buang air kecil. Wah, lega rasanya ketika hajat sudah terlaksana dan aku segera bergegas menyusul teman-temanku yang sudah ada di panggung. Kebetulan pada waktu itu masih ada beberapa ustadz pondok yang naik ke panggung agak belakangan karena sibuk mengatur para satri. Akupun nimbrung di belakang para asatidz sehingga aku bisa duduk di panggung yang berada di depan.
Acara ynag dipimpin oleh Habib Abdullah al-Haddar itu dimulai dengan tawassul dan istighosah. Kulihat di kanan kiriku banyak jamaah yang larut dalam istighosah itu, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menteskan air mata. Kadang-kadang aku merasa heran, mengapa diri ini tidak bisa seperti mereka, apakah hati ini terlalu keras untuk menghayati lantunan dzikir?... Acara kemudian dilanjutkan dengan bacaan surat yasin yang dibaca bersama-sama kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Manaqib yang dilantunkan oleh teman-temanku sendiri dengan suara yang merdu. Hati ini baru terasa agak bergetar ketika mendengar lantunan qasidah LailaaHaillallah yang menemani para jamaah berdzikir bersama-sama. Hati ini semakin bergetar hebat dan air matapun tak kuasa meleleh membahasi kedua pipiku ketika Hadhratus Syaikh melantunkan kalimat tauhid Laa IlaHa Illallah…dan waktu itu kulihat banyak para jamaah yang menjerit histeris mendengar keagungan kalimat yang dilantunkan oleh Hadlratus Syeikh. Semakin kudengar jeritan dan tangisan jamaah di sekitarku, maka hati ini semakin bergetar hebat dan air mata semakin mengucur deras. Dalam hatiku aku berkata: "Oh ya Allah apakah seperti ini rasa nikmat dan ladzatnya berdzikir kepad-Mu?"….
Sejenak hati ini merenung dan tak terasa ternyata acara sudah sampai pada Mahalul Qiyam. Kami berdiri untuk bersama-sama menyampaikan sholawat dan salam kehadhirat Rasulillah SAW. Suara rancak terbang yang dimainkan oleh teman-temanku membawaku pada situasi yang terjadi pada saat perang Uhud. Ya.. perang Uhud, karena semakin aku resapi suara terbang itu mirip dengan suara kaki kuda yang sedang berlari dan gemerincing suara pedang yang saling dianggarkan. Aku teringat, bagaimana dalam perang uhud, gigi Rasulullah tanggal karena terkena hantaman pedang orang-orang kafir, sahabat Rasulullah banyak yang terbunuh, bahkan paman beliau Sayidina Hamzah terbunuh secara aniaya. Hatiku menjerit tak kuasa menahan haru "Ya Rasulullah, betapa berat dan sengsaranya engkau dalam menyebarkan dan memikul agama ini, sedangkan umatmu yang satu ini selalu mengerjakan maksiat setiap hari!..." tubuh ini terasa lemas karena bergetar hebat mendengar lantunan puji-pujian kepada Rasulullah dan kucuran air mata inipun tidak bisa lagi untuk dibendung. Aku merasa bahwa Rasulullah SAW telah hadir di majlis itu…
Ritual acara pada siang itu telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Sambutan pertama mewakili Muspida Kabupaten Gresik yang disampaikan oleh Bapak Agus Winarno. Kemudian sambutan kedua disampaikan oleh direktur utama PT. Semen Gresik yang disampaikan oleh Bapak Ir. H. Dwi Sucipto MM. Sambutan selanjutnya disampaikan oleh para rektor beberapa perguruan tinggi yang ada di Jawa Timur. Para rektor yang memberi sambutan di antaranya adalah Rektor Universitas Negeri Malang Prof. Dr. Suparno M.Pd. dan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang Prof. Dr. H. Muhajir Efendi. Kemudian dilanjutkan sambutan mewakili Rektor UIN Malang yang disampaikan Pembantu Rektor I Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo dan selanjutnya mewakili UNISMA Malang sambutan disampaikan oleh KH. Marzuki Mustamar. 
Aku tidak tahu, mengapa hati ini merasa terharu dan menangis ketika para rektor itu membaca Fatihah untuk kesembuhan Hadlratus Syeikh. Semua orang mendoakan kesembuhan beliau. Semua orang menantikan kesehatan beliau, sehingga bisa kembali mengasuh pengajian Ahad kedua, ya Allah, kami rindu dengan Pengajian Ahad kedua …
Ya Allah, hamba rela jika sisa umur hamba ini Engkau tukar dengan kesehatan beliau. Kesehatan beliau lebih bermanfaat dari pada sisa umur hamba ini. Umat ini butuh bimbingan dari seorang figur seperti beliau ya Allah….
Acara kemudian dilanjutkan Mauidhoh Hasanah yang disampaikan al-Habib Najib al-Haddad dari Surabaya dan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Aydrus dari Jeddah Saudi Arabia. Setelah itu kami makan talaman bersama-sama dan segera menuju ke bis untuk kembali ke pondok.

Jumat, 09 Januari 2009

Jadwal Kegiatan Jamaah AL-KHIDMAH Surabaya

Bulan Muharram & Shofar1430 H.

Surabaya Wilayah Utara:

1. Manaqib Kubro Sabtu malam Ahad Awal 04 Shofar 1430/31 Januari 2009

Surabaya Wilayah Timur :

1. Manaqib Rutin Setiap malam Jum'at - Koordinator Pucang
2. Manaqib Rutin Jum'at malam Sabtu Ke III 20 Muharram 1430/16 Januari 2009 Masjid Al         Fithrah Maal Galaxi, Koordinator Maal Galaxi.
3. Manaqib Rutin Kamis malam Jum'at (legi) 26 Muharram 1430/22 Januari 2009 Masjid Nurul     Fatah, Masyarakat Jojoran.

4. Manaqib Rutin Jum'at (Legi) malam Sabtu 27 Muharram 1430/23 Januari 2009 Wonorejo           Koordinator Pucang.

Surabaya Wilayah Selatan :

1. Manaqib Rutin Ahad malam Senin 15 Muharram 1430/11 Januari 2009 Musholla "Nurul             Hidayah" Pagesangan, Sebelah timur balai Desa
2. Majlis Dzikir, Maulidurrasul SAW. Sabtu malam Ahad 14 Muharram 1430/10 Januari 2009         Jl. Siwalan Kerto.

Surabaya Wilayah Barat Bagian Utara :

1. Manaqib Rutin Jum'at malam Sabtu ke III 20 Muharram 1430/16 Januari 2009 di Kediaman     Bpk. Salam, Jl. Tambak Mayor Madya
2. Manaqib Rutin Ahad malam Senin Akhir 29 Muharram 1430/02 Januari 2009                               Masjid "Raudhotul Jannah", Asemrowo Gg. III

Surabaya Wilayah Barat Bagian Selatan :

1. Manaqib Rutin Selasa malam Rabu 03 Muharram 1430 /30 Januari 2009                                       Masjid "Al-Barokah" Jl. Putat Gede
2. Manaqib Rutin Jum'at malam Sabtu 06 Muharram 1430/02 Januari 2009 Masjid Pakis
3. Manaqib Rutin Selasa malam Rabu 17 Muharram 1430 /13 Januari 2009 Musholla "Bidayatul     Hidayah " Jl. Raya Lontar
4. Manaqib Rutin Jum'at malam Sabtu 20 Muharram 1430 /16 Januari 2009 Masjid " An-Nur"
    Jl. Simohilir Barat
5. Manaqib Rutin Sbtu malam Ahad 21 Muharram 1430/17 Januari 2009 Musholla "Nurul               Khidmah" Jl. Tubanan Lama
6. Manaqib Rutin Rabu malam Kamis 25 Muharram 1430/ 21 Januari 2009 Masjid "Baitul               Muttaqin" Jl. Tubanan Baru

7. Manaqib Rutin Senin malam Selasa 30 Muharram 1430 /26 Januari 2009 Masjid "Sabilil             Muttaqin" Bringin

8. Manaqib Rutin Rabu malam Kamis 02 Shofar 1430/28 Januari 2008 Musholla " At-Taubah "
    Jl. Klakarejo
9. Manaqib Rutin Jum'at malam Sabtu 04 Shofar 1430/30 Januari 2009 Masjid " Darul Falihin "
    Jl. Manukan Yoso

                                                                                                                  Sumber: Al-Khidmah Surabaya

Rabu, 07 Januari 2009

Hadiah Fatihah


Hadiah kirim fatihah sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat. Setiap kita mau memulai suatu acara, kita biasanya mengirimkan fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah , para masyayikh dan juga orang tua kita yang telah banyak berjasa kepada kita. Lalu bagaimana hal itu ditinjau dari pandangan syar’i ? Apakah sampai fatihah yang kita hadiahkan kepada mereka?
Para ulama telah sepakat bahwa pahala shadaqah, do’a, istighfar, penunaian kewajiban-kewajiban yang tidak membutuh-kan niat, seperti pelunasan hutang untuk mayit dan ibadah-ibadah yang bersifat maliyah seperti memerdekakan hamba sahaya dapat sampai kepada mayit. Adapun mengenai sampainya pahala ibadah badaniyah, seperti bacaan al-Qur’an, sholat dan puasa terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i  mengatakan sampai, seperti halnya Imam Subuki  melakukan sholat yang ditinggalkan oleh kerabatnya yang telah meninggal. Sedangkan menurut mayoritas ulama dari Madzhab Imam Malik dan Syafi’i  mengatakan tidak sampai. Mayoritas ulama dari kalangan madzhab Syafi’i yang mengatakan tidak sampai memandang jika memang al-Qur’an itu tidak dibaca di hadapan mayit dan orang yang membaca tidak berniat untuk mengahdiahkan bacaan al-Qur’an-nya kepada mayit atau berniat menghadiahkan bacaannya kepada mayit tapi dia tidak berdo’a setelahnya. Imam Syafi’i dan murid-muridnya  telah menjelaskan tentang kesunahan membaca al-Qur’an di hadapan mayit dan membaca do’a setelahnya. Oleh karena itu imam Ibnu Sholah  menganjurkan supaya hadiah bacaan al-Qur’an kita sampai kepada mayit tanpa adanya pertentangan agar setelahnya membaca:
اَللَّهُمَّ أّوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ اِلَى...
”Ya.. Allah, sampaikan pahala apa yang aku baca ini kepada...”
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  dalam Majmu’ Fatawanya, bahwasanya beliau pernah ditanya apakah bacaan al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil dan takbir dari keluarga mayit akan sampai pahalanya kepada mayit apabila dihadiahkan kepadanya ? Maka beliau berkata: ” Bacaan al-Qur’an, tasbih, takbir dan semua dzikir-dzikir kepada Allah  dari keluar-ga mayit akan sampai kepada mayit apabila mereka mengha-diahkannya kepadanya. Wallahu a’lamu.” Kalau kita cermati ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  di atas merupakan pernyataan tentang legalitas dan sampainya pahala tahlil yang biasa kita amalkan. Karena pada dasar-nya tahlil berisi bacaan al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan dzikir-dzikir lain yang dihadiah-kan kepada mayit.
Mengenai hadiah fatihah kepada Rasulullah , imam Ibnu ’Aqil , salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan ba-caan Al-Qur'an kepada Nabi . Imam Ibnu 'Abidin  dari kala-ngan Madzhab Hanafi berkata: "Ketika para ulama kita mengata-kan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasu-lullah . Karena beliau lebih berhak mendapatkannya dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesat-an. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan mem-balas budi baiknya. Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Adapun dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah . Maka jawabannya adalah bahwa mengenai masalah ini tidak ada pelarangan. Bukankah Allah  memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Allah  bershalawat kepada Nabi  kemudian Allah memerintah-kan kita untuk bershalawat kepada Nabi  dengan mengatakan:
اَللّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ
“Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan atas Muhammad.” Wallahu A’lam.” Imam Ibnu Hajar al-Haytami  juga menuturkan kebolehan menghadiahkan bacaan al-Qur'an untuk Nabi dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubro. Al-Muhaddits Syaikh Abdullah al-Ghumari  dalam kitabnya Ar-Radd al-Muhkam al-Matin, mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan al-Qur'an atau yang lain kepada baginda Nabi , meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada dalil yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukan-nya, hal ini tidak menunjukkan bahwa perbuatan itu dilarang.”
Jika hadiah bacaan al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi , apalagi untuk para wali dan orang-orang saleh karena mereka jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat, kemuliaan dan kesempurnaan dan tidak ada dalil yang melarang menghadiahkan baca-an Al-Qur'an untuk para wali dan orang¬-orang shaleh tersebut. *red.
Wabillahittaufiq Wallahu A’lam

Terlalu Khusyu'


Seperti biasa santri-santri pondok pesantren Al Fithrah setiap malam minggu mengerjakan sholat tasbih berjamaah. Sholat tasbih dimulai pukul 24.01 WIS. Nah, kebetulan pada sholat kali ini yang mengimami adalah ustadz Somad. Menurut para santri, ustadz Somad adalah tipe imam yang sangat khusyu’ jika dibanding dengan imam-imam yang lain. Bukan hanya dalam sholat tasbih, ketika mengimami sholat maktubah bacaan qiraah beliau sangat fasih bak suara Syaikh Hani’ Al Rifa’i. Suara beliau yang merdu dan mendayu-dayu bisa menyebabkan para makmum kehilangan kesadarannya (tertidur) .
Jam dinding sudah menunjukkan jam 24:00. Dengan langkah pasti ustadz Somad menuju ke pengimaman. Dengan suara khosnya beliau memulai takbir ” Allahu Akbarr...” sejenak kemudian terdengarlah suara takbir para jamaah secara bersama-sama.
Sholat tasbih berjalan lancar seperti biasa. Setelah i’tidal rakaat ke dua ustadz Somad melanjutkan ke sujud. Nah pada waktu sujud inilah mulai terjadi keajaiban. Ustadz Somad dalam sujudnya kali ini sungguh sangat khusyu’. Beliau sujud lama sekali. Para santri yang ada di belakang husnudlon saja pada beliau. La wong beliau memang dikenal sebagai tipe imam yang khusyu’ dalam sholat. Tapi masalahnya sujud kali ini sangat lama sekali, tidak seperti biasanya. Jalal santri mokong yang ada di shof depan mulai curiga terhadap ustad Somad. Saking lamanya sujud akhirnya Jalal tidak tahan, kepalanya sudah penuh dengan darah yang mengalir deras ke ubun-ubunnya. Akhirnya dengan jiwa pemberaninya dia mulai mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangan matanya ke arah ustad Somad. Dan ternyata... oalaaaah .....tertidur too... Tanpa berpikir panjang si Jalal langsung saja nylonong ke belakang dan didikuti oleh beberapa santri yang lain. He... .. . he... .. . he... .. .

Selasa, 06 Januari 2009

Benarkah Muharram Bulan Keramat???


Muharram atau yang biasa disebut dengan nama "Suro" oleh kebanyakan masyarakat Indonesia dianggap sebagai bulan yang keramat, betulkah dalam Islam juga demikian?...

Muharram adalah bulan yang dimuliakan oleh Allah . Di dalam Islam terdapat dua belas bulan. Dari kedua belas bulan itu, empat diantaranya adalah bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah . Bulan-bulan dalam Islam dimulai dan diakhiri dengan bulan yang mulia. Muharram sebagai bulan pembuka mempunyai keagungan dan kemuliaan dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram disebabkan karena dua hal. Pertama, penyandaran nama Muharram kepada Allah , hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Rasululla , bahwa Muharram adalah Syahrullah (bulan Allah ). Penyadaran Muharram kepada Allah  menunjukkan bahwa ia mempunyai keutamaan dan kemuliaan, karena Allah  tidak akan menisbatkan Namanya kepada makhluk-Nya kecuali makhluk itu adalah hamba yang dicintai oleh Allah . Seperti halnya Allah  menisbatkan Nabi Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub dan para nabi yang lain sebagai hamba Allah  ('Ibadullah) karena mereka semua mempunyai keistimewaan di sisi Allah . Demikian juga ketika Allah  menamakan Ka'bah dengan nama Baitullah, karena Ka'bah mempunyai keistimewaan di sisi Allah . Kedua, Muharram termasuk dalam kategori bulan-bulan yang mulia. Bulan-bulan mulia dalam Islam ada empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan itu dinamakan sebagi bulan yang mulia (haram) karena keagungan dan kemuliaannya. Dosa-dosa yang dikerjakan pada bulan-bulan tersebut lebih berat dan amal-amal yang dikerjakan pada bulan-bulan tersebut mempunyai nilai yang lebih mulia di sisi Allah . Maka jadilah bulan-bulan tersebut sebagai masa-masa yang dicintai oleh Allah . Bulan-bulan tersebut telah dituturkan Allah  dalam firmannya: 
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ [التوبة/36]
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." [Q.S. al-Taubah: 36] 
Sedangkan bulan Muharram termasuk ke dalam bulan yang empat itu, maka di dalamnya terkandung kemulian-kemulian itu.
 Para ulama berbeda pendapat mengenai bulan mana yang paling mulia di antara keempat bulan itu. Imam al-Hasan dan yang lainnya  mengatakan: "Bulan Haram yang paling mulia adalah bulan Muharram." Pendapat ini dikuatkan oleh sekelompok ulama muta'akhirin. Wahab bin Jarir meriwayatkan dari Qurrah bin Khalid, dari al-Hasan, beliau berkata: "Sesungguhnya Allah  mengawali tahun dengan bulan haram dan menutupnya dengan bulan haram, maka tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih mulia di sisi Allah  dari pada Muharram." Muharram disebut sebagai Syahrullah al-Asham karena kemuliaanya yang sangat tinggi. Dalam satu riwayat yang lain, Rasulullah  bersabda: "Sholat yang paling utama setelah sholat fardlu adalah sholat di waktu tengah malam dan bulan yang paling utama setelah bulan Ramadlan adalah bulan Muharram, ia adalah bulan Allah yang tuli." Riwayat yang lain dari Imam Nasa'i bahwa sahabat Abi Dzar bertanya kepada Rasulullah  tentang malam dan bulan yang paling utama, maka Rasulullah  bersabda: "Malam yang paling utama adalah pertengahannya dan bulan yang paling utama adalah bulan Allah yang kalian sebut Muharram." Ungkapan tentang kemualiaan bulan pada hadits ini diarahkan setelah bulan Ramadhan. Karena sudah tidak ada keraguan dan pertentangan lagi bahwa bulan Ramadlan lebih utama dari pada bulan Muharram. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa bulan haram yang paling utama adalah bulan Rajab dan hari yang paling mulia pada bulan Muharram adalah sepuluh hari yang pertama. Abu Utsman al-Nahdi mengatakan, bahwa para ulama mengagungkan sepuluh hari pada tiga bulan, yakni sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram. Menurut satu pendapat bahwa sepuluh hari pertama Muharram adalah hari-hari dimana Allah  menyempurnakan perjumpaan-Nya dengan Nabi Musa  selama empat puluh malam, dan percakapan Nabi Musa dengan Allah  terjadi pada hari yang ke sepuluh. Selain hal-hal tersebut, di dalam Muharram juga terjadi peristiwa-peristiwa agung. Diantaranya adalah diterimanya taubat Nabi Adam , mendaratnya kapal Nabi Nuh, diselamatkannya Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir'aun dan peristiwa-peristiwa besar yang lainnya.

Puasa Muharram
Amalan yang paling mulia untuk menyemarakkan bulan Muharram adalah dengan cara berpuasa. Puasa yang disunnahkan pada bulan Muharram terbagi menjadi dua: 
Pertama, puasa secara umum pada bulan Muharram, sebagaimana keterangan dalam hadits yang menunjukkan kesunnahan untuk berpuasa pada bulan ini selama sebulan penuh maupun sebagian saja, dari permualaan, akhir maupun pertengahan bulan. Hal itu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda: "Puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah puasa pada bulan Allah  yang kalian sebut Muharram dan sholat yang paling utama setelah sholat fardlu adalah qiyamullail." Hadits ini secara jelas menegaskan bahwa puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah puasa pada bulan Muharram. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah keutamaan bulan yang disunnahkan untuk berpuasa secara sempurna setelah Ramadlan. Karena kesunnahan untuk berpuasa pada sebagian hari, seperti hari Arafah, sembilan hari pertama Dzulhijjah dan enam hari bulan Syawal lebih utama dari pada kesunahan puasa beberapa hari pada bulan Muharram. Hal ini dikuatkan oleh hadits riwayat al-Tirmidzi yang bersumber dari Sayidina Ali , bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah , lalu laki-laki itu bertanya: "Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang bulan setelah Ramadlan dimana aku berpuasa pada bulan itu." Maka Rasulullah  bersabda: "Jika engkau berpuasa sebulan setelah Ramadlan, maka berpuasalah pada bulan Muharram. Pada bulan itu Allah  menerima taubat suatu kaum." 
Kedua, puasa secara khusus pada bulan Muharram, yakni puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Puasa hari Asyura hukumnya adalah sunnah, karena hari Asyura mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan sejak dulu. Puasa Asyura telah dikenal di zaman para nabi terdahulu. Sebagaimana puasa itu telah dikerjakan oleh Nabi Nuh sebagai perwujudan rasa syukur beliau atas mendaratnya kapal beliau di atas bukit Judiy dan Nabi Musa sebagai perwujudan rasa syukur beliau karena Allah  telah menyelamatkan beliau dan kaumnya dari kejaran Fir'aun. 
Puasa Asyura juga telah dikerjakan oleh orang-orang Ahli Kitab (Yahudi), karena mengikuti terhadap nabi-nabi mereka. Demikian juga orang-orang Quraisy pada zaman jajiliyah juga telah mengerjakan puasa Asyura. Mereka menuturkan bahwa mereka mempunyai dosa yang besar, kemudian mereka bertanya dengan apa mereka harus bertaubat. Kemudian dikatakan dengan cara berpuasa pada hari Asyura, lalu mereka mengerjaknnya. Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Hurairah, beliau berkata: "Rasulullah  bertemu dengan orang-orang Yahudi, mereka berpuasa pada hari Asyura, maka Rasulullah bertanya kepada mereka: "Puasa apa ini?" mereka berkata: "Hari ini adalah hari dimana Allah  menyelamatkan Nabi Musa  dan Bani Israil serta menenggelamkan Fir'aun. Hari ini adalah hari dimana kapal Nabi Nuh berlabuh di bukit Judiy. Maka dari itu Nabi Nuh dan Musa berpuasa pada hari ini karena bersyukur kepada Allah ." Lalu Nabi  bersabda: "Aku lebih berhak untuk mengikuti Musa dan lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini." Kemudian Rasulullah  memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada hari itu.
Ketika Rasulullah  masih hidup, beliau mempunyai keinginan untuk tidak berpuasa hanya pada hari Asyura saja, tetapi juga berpuasa bersamaan dengan hari yang lain. Hal itu bertujuan semata-mata agar berbeda dengan orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari Asyura saja. Beliau mengatakan bahwa pada tahun depan akan berpuasa pada tanggal Sembilan dan Sepuluh, akan tetapi beliau wafat sebelum mengerjakan keinginannya itu. Beliau bersabda: "Berpuasalah kalian semua pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelum atau sesudah Asyura." [H.R. Ahmad]. 
Para ulama menyebutkan bahwa puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan: 
1. Dengan cara berpuasa tiga hari, yakni tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
2. Berpuasa dua hari pada tanggal 9 dan 10 Muharram
3. Berpuasa tanggal 10 Muharram saja. 

Shadaqah Di Bulan Muharram
Selain berpuasa, di bulan Muharram kita juga dianjurakan untuk melakukan Shadaqah. Hal itu sebagaimana keterangan yang diungkapkan oleh Ibnu Umar bin al-Ash, beliau berkata: "Barang siapa berpuasa Asyura, maka seakan-akan ia telah berpuasa setahun dan barang siapa bersedekah pada bulan itu maka hal itu seperti sedekah setahun." [Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Madini].
Adapun mengenai tausi'ah (melapangkan) terhadap kebutuhan keluarga, maka Imam Harb berkata: "Aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang hadits yang berbunyi: "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura..." Maka beliau tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu, yakni sanad hadits itu tidak shahih." Ibnu Manshur berkata kepada Imam Ahmad: "Adakah engkau mendengar tentang hadits "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkan seluruh tahunnya". Maka beliau berkata: "Ya, hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu 'Uyainah dari Ja'far al-Ahmar dari Ibrahim bin Muhammad, dari Muntasyir." Beliau termasuk orang yang paling utama di masanya. Bahwa telah sampai pada beliau "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura maka Allah  akan melapangkan seluruh tahunnya." Sahabat Jabir berkata: "Aku mencoba hal itu dan aku membuktikan kebenarannya." Ibnu 'Uyainah berkata: "Aku membuktikannya selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun, maka aku tidak melihatnya kecuali kebaikan." Dalam kitab Syarh al-Zarqani ala al-Mawahib al-Laduniyah dijelaskan bahwa hadits yang berbunyi: "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkannya selama setahun penuh." diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani, al-Baihaqi dan Abu al-Syaikh . Imam al-Baihaqi berkata: "Sesungguhnya sanad hadits-hadits itu semuanya adalah dloif, akan tetapi ketika sanad-sanad tersebut dikumpulkan maka akan menjadi kuat." Al-Hafidz al-Iraqi dalam Amalinya berkata: "Hadits Abu Hurairah (Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkannya selama setahun penuh) mempunyai beberapa jalur yang sebagian jalur itu dishohihkan oleh al-Hafidz Ibnu Nashir. Sedangkan Ibnu al-Jauzi menuturkan hadits itu dalam kitab al-Maudlu'atnya." Hal itu disebabkan karena Sulaiman bin Abi Abdillah yang meriwayatkan dari dari Abu Hurairah tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar menetapkan dalam kitabnya Taqrib al-Tahdzib bahwasanya beliau termasuk rawi yang maqbul (dapan diterima). Ibnu Hibban juga menyebutkannya dalam kategori rawi yang tsiqat, dan hadits tersebut menurut Ibnu Hibban adalah hadits yang Hasan. Al-Hafidz al-Iraqi berkata: "Hadits tersebut mempunyai beberapa jalur dari Jabir sesuai syarat Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya al-Isti'ab, dan jalur-jalur tersebut merupakan jalur-jalur yang paling shohih."
Wal hasil tausi'ah (melapangkan) terhadap kebutuhan keluarga, memuliakan, berbuat baik kepada mereka tanpa berlebih-lebihan, kikir dan sombong merupakan suatu hal yang dianjurkan dan terpuji tanpa adanya pengkhususan pada hari atau bulan tertentu. Kemudian apabila seseorang berusaha dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan lalu hal itu dilakukannya bertepatan dengan waktu-waktu yang diberkati karena semata-mata mengharap pahala yang berlipat ganda tanpa adanya keyakinan atas kewajiban atau kesunahan hal itu, maka hal itu tidaklah masalah dan tidak perlu untuk diingkari.
Dari uraian di atas maka tidaklah heran apabila masyarakat kita menyebut Muharram sebagai bulan keramat, karena pada bulan itu terjadi berbagai peristiwa sejarah yang sangat agung. Selain itu, di dalam Muharram juga terdapat fadhilah-fadhilah yang tidak dimilki oleh bulan lain. Wallahu A'lam. (Dari berbagai sumber)   

Kamis, 01 Januari 2009

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany


“Ingatlah, sesungguh-nya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Terlepas dari pro dan kontra mengenai sosok Syaikh Abdul Qadir al-Jilani , yang jelas ketokohan beliau dalam bidang Thariqah dan Tasawuf sangat masyhur, khususnya di negara kita. Hal itu bisa dibuktikan dengan menyebarnya thariqah beliau di seantero nusantara dan negera-negara lain di belahan bumi ini. Di Indonesia saja, manaqib beliau sangat terkenal dan dibaca di mana-mana oleh semua lapisan masyarakat, baik kalangan pejabat sipil, militer maupun rakyat biasa. Itu semua dapat kita jumpai ketika berlangsung acara-acara majlis dzikir, haul maupun majlis-majlis yang lain. Salah satunya yang terbesar adalah haul yang di selenggarakan oleh Jama’ah Al Khidmah di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya, yang tidak kurang dihadiri oleh tiga ratus ribu orang. Semua itu pada hakekatnya adalah bukti yang menunjukkan kedudukan beliau yang amat tinggi di sisi Allah , sehingga Allah  memuliakan dan mengharumkan nama beliau. Walaupun beliau sudah tidak ada semenjak 867 tahun yang lalu.

Ketokohan beliau sangat masyhur dikalangan ahli thariqah. Di luar kalangan ahli thariqahpun nama beliau sangat harum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terkenal kritis terhadap para ahli tasawuf dalam beberapa fatwanya menyanjung dan memuji Syaikh Abdul Qadir al-Jilani . Beliau menyebutkan, bahwa karomah-karomah yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qadir  dinukil secara mutawatir . Beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sangat memuji Syaikh Abdul Qadir  dengan pujian yang tidak pernah diungkap orang lain atau diungkapkan kepada orang lain, kecuali hanya sedikit. Beliau selalu menyertakan kata-kata qadda-sallahu sirrahu (mudah-mudahan Allah  mensucikan ruhaninya) setiap kali menyebut nama Syaikh Abdul Qadir . Bahkan, beliau rahimahullah menulis sebuah artikel dalam fatwa-fatwanya yang mencakup terhadap penjelasan dan pengarahan terhadap sebagian kalimat dan makna yang terdapat dalam kitab Futuh al-Ghaib karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .  
Nama beliau adalah Abu Sholih Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Mutsana bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib .  
Beliau dilahirkan di Jailan. Yaitu negeri terpencil di belakang Thabrastan, yang di kenal dengan Kail atau Kailan. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat ketika menisbatkan nama beliau kepada tanah kelahirannya. Sebagian ada yang menisbatkan wilayah Jilan ini menjadi Jili. Sebagian menisbatkannya menjadi Jilani (dan ini yang kami pakai karena penisbatan Jilani lebih masyhur dan terkenal dikalangan rakyat Indonesia). Sebagian yang lain lagi menisbatkannya ke daerah Kailan menjadi Kailani. Sebagian orang yang menisbatkan beliau kepada Jilani mempunyai alasan karena beliau dilahirkan disana. Akan tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa penisbatannya kepada Jilani adalah karena Allah telah memberikan kepada Syaikh Abdul Qadir  kedudukan yang sangat tinggi disisi-Nya sejak beliau berada di dalam kandungan ibunya (Innallaha tajalla ‘alaihi wahuwa fi bathni ummihi). Beliau pernah ditanya kapan engkau mulai menjadi waliyullah? Beliau menjawab: “Sejak kanak-kanak, karena aku mendengar suara dari langit: ‘Ya Waliyallah lakukanlah seperti ini dan tinggalkanlah perkara ini.’.” Bahkan termasuk karomah beliau adalah sewaktu bayi ketika bulan Ramadlan beliau tidak pernah menetek kepada ibunya. Hal itu menjadi pedoman bagi penduduk Bagdad untuk menentukan awal bulan Rama-dlan dan juga hari raya. Suatu hari mereka bertanya kepada ibunda Syaikh Abdul Qadir , apakah beliau siang itu menetek atau tidak. Ketika beliau tidak menetek maka bulan Ramadlan telah masuk dan apabila di siang hari -pada bulan Ramadlan- beliau menetek pada ibunya maka itu bertanda bahwa hari raya telah tiba. Beliau dilahirkan pada tahun 471 Hijriyah sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Dzahabi dalam Siyar A’laam al-Nubala. Riwayat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 470 Hijriyah sebagaimana keterangan Imam al-Sya’roni  dalam Ath Thabaqaat Al Kubro dan juga keterangan dari beliau sendiri tentang kelahirannya. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui secara pasti, tetapi saya datang ke bagdad pada tahun ketika al-Tamimi masih hidup dan usia saya pada saat itu delapan belas tahun.” . Al-Tamimi adalah ayah Muhammad Izzatullah bin Abdul Wahhab bin Abdul Azis bin al-Harits bin Asad yang meninggal pada tahun 488 Hijriyah. Beliau wafat pada malam Sabtu ba’da maghrib tanggal delapan Rabiul Akhir tahun 561 Hijriyah dan jenazahnya dimakam-kan dimadrasahnya setelah disaksikan oleh manusia yang tak terhitung jumlahnya.  
Beliau adalah ulama yang sangat harum namanya, berahlak mulia, selalu berada di antara orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin sembari membantu membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar atau para pembantu negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah seorang menteri atau raja. Oleh karena itu tidak heran jika para ulama banyak memberikan gelar padanya. Diantara gelar yang diberikan kepada Syaikh Abdul Qadir  adalah gelar Imam yang diberikan oleh Imam al-Sam’aani , seraya berkata: “Beliau adalah Imam pengikut madzhab Hambali dan guru mereka pada masanya.” Imam al-Dzahabi  juga memberinya gelar sebagai Syaikhul Islam ketika menulis biografinya dalan kitabnya Siyar A’lam al-Nubala. Disamping gelar-gelar diatas masih banyak gelar-gelar yang diberikan oleh para ulama baik dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyah yang tidak akan dipaparkan dalam tulisan ini.

Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani .
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani  dalam kitabnya, al-Ghunyah li Tholib al-Thoriq al-Haq mendefinisikan tasawuf sebagai pembenaran (percaya) kepada yang Haq (Allah ) dan berperilaku baik terhadap sesama hamba Allah . Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa aspek tasawuf bersandar pada dua hal: 1) Hubungan seorang hamba kepada Sang Kholiq dengan cara bersungguh-sungguh dalam me-ntaati segala perintah-Nya dan bersungguh-sungguh dalam usaha menjauhi larangan-Nya. 2) Hubungan seorang hamba dengan hamba yang lain dengan cara berperilaku yang baik dan berahlak yang terpuji. Rasulullah  bersabda: “Bergaullah dengan manusia dengan perilaku yang terpuji.” . Selain definisi di atas, beliau dalam kitabnya yang lain menjelaskan bahwa tasawuf adalah: bertakwa kepada Allah , mentaati-Nya, menerapkan syariat-Nya secara dhohir, menyelamatkan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefaqiran, menjaga kehor-matan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasehati orang kecil dan besar, meniggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan fadlilah, menghin-dari menyimpan harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.” . Definisi ini mencakup beberapa hal, yaitu: 1) Takwa kepada Allah , dengan cara menaatinya dengan menerapakan syariat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Melatih, mendidik dan menyucikan jiwa untuk senantiasa berakhlak dengan sifat-sifat yang terpuji. 3) Menghargai orang lain dalam pergaulan sehari-hari dengan cara memberikan hak-haknya yang sesuai dan proporsional. Selain aspek-aspek di atas beliau juga menjelaskan bahwa tasawuf dibangun atas delapan dasar, yaitu: dermawan, ridha, sabar, isyarah, mengasingkan diri, tasawuf, bepergian, dan kefakiran.  
Kemudian Syaikh Abdul Qadir  mendefinisikan Muta-shawif sebagai orang yang membebani dirinya untuk menjadi seorang sufi dan dia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk bisa menjadi seorang sufi. Dia berupaya dan menempuh jalan satu kaum dan mengambilnya sebagai jalan suluk (menuju ke haribaan Allah ). Sedangkan Sufi sendiri menurut Syaikh Abdul Qadir  adalah orang yang telah merealisasikan makna-makna tasawuf, sehingga dia berhak untuk disebut sebagai seorang sufi. Dalam Ghunyah-nya beliau berkata: “Sufi diambil dari kata al mushafaat, yaitu seorang hamba yang telah disucikan oleh Allah . Atau orang yang suci dari penyakit jiwa, bersih dari sifat-sifat tercela, menempuh jalan yang terpuji, mengikuti hakekat dan tidak tunduk pada seorang makhluk.” . Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir  mengatakan bahwa sufi adalah orang yang batin dan dhohirnya bersih mengikuti al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul-Nya .  

Corak Pemikiran Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al Jilani . 
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani  telah menggambarkan secara lengkap tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu syariat -yang didasarkaan pada al-Qur’an al-Karim dan Sunah Rasul  dengan penerapan praktis dan keharusan untuk berpegang kepada syariat. Oleh karenanya tasawuf yang dirumuskan oleh Syaikh Abdul Qadir  jauh dari paham-paham yang mengatakan, bahwa setelah seseorang mencapai tingkat hakekat, maka sudah tidak dibutuhkan lagi syariat. Lebih lanjut bahwa corak pemikiran tasawuf Syaikh Abdul Qadir al-Jilani  lebih condong kepada tasawuf yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali . Karena tasawuf Imam al-Ghazali  berprinsip untuk tidak mening-galkan aqidah dan syariat. Hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Syaikh Abdul Qadir  pernah berguru kepada Imam al-Ghazali  yang wafat pada tahun 505 H. Sementara Syaikh Abdul Qadir  sampai di Baghdad pada tahun 488 H. Berarti Syaikh Abdul Qadir  hidup bersama Imam al-Ghazali  di Baghdad selama tujuh belas tahun. Maka sungguh mustahil jika beliau tidak pernah mendengar nama Imam al-Ghazali  yang sangat masyhur itu, atau tidak pernah sama sekali berguru kepadanya. Karena itulah, setelah beliau melihat kedudukan Imam al-Ghazali  di Baghdad, beliau ingin mengikuti jejaknya. Kemungkinan itu semakin kuat, bila kita melihat adanya keserupaan yang besar antara metode Imam al-Ghazali  dengan metode Syeikh Abdul Qadir al-Jilani  dalam penulisan buku mereka, yaitu Al Ihya’ dan Al Ghunyah.  

Karya-karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani .
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani  termasuk tipe ulama yang selama masa hidupnya disibukkan dengan aspek pengajaran, pendidikan, perilaku dan ibadah, sehingga karya-karya beliau dalam bentuk tulisan tidak begitu banyak karena sebagian besar waktunya tersita untuk kegiatan-kegiatan diatas. Karya-karya beliau dalam bentuk tulisan diantaranya adalah:
1. Al-Ghunyah li Thalib Thariiq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tashawuf wa al- Adab al-Islamiyah yang terdiri dari dua juz dan terbagi menjadi lima bagian:
a) Dalam fiqh dan macam-macam ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji, etika dan dzikir.
b) Dalam akidah, masalah keimanan, tauhid, kenabian, tempat kembali dan ahli bid’ah dari kelompok-kelompok sesat.
c) Beberapa majlis yang berkaitan dengan al-Qur’an, doa-doa dan fadlilah-fadlilah sebagian bulan dan hari.
d) Rincian beberapa hukum fiqh yang berkaitan dengan puasa, sholat dan doa.
e) Tentang tashawuf, adab dalam pergaulan, etika para murid, beberapa ahwal dan maqamat.
2. Futuh al-Ghaib, yaitu kitab yang berisi tentang nasehat-nasehat 
3. yang berguna, pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat yang berbicara tentang banyak permasalahan, seperti penjelasan tentang keadaan dunia, keadaan jiwa dan syahwatnya dan ketundukan kepada perintah Allah .
4. Al-Fath al-Rabbani wa al-Faidl al-Rahmani, yaitu sebuah kitab yang mencakup wasiat, nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk di enam puluh dua majlis sejak tanggal 3-10-545 H sampai tanggal 6-7-546 H yang membahas tentang perma-salahan keimanan, keihlasan dan sebagainya.
Kiranya perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jilani  bisa menjadi pegangan bagi kita dalam mengarungi kehidupan yang fana ini dengan cara mengkhidmahkan diri kita untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Sehingga semua yang kita kerjakan hanya semata-mata mengharap ridlo Ilahi...amin.




Spiderman VS Gatot Kaca


Oleh: Cak Khudh
Suatu ketika Spiderman melakukan lawatannya ke Indonesia, sekaligus mengunjungi fans-fansnya yang ada di Indonesia. Kebetulan pada waktu yang bersamaan di Indonesia sedang diadakan pertarungan para jawara dari seluruh pelosok Indonesia.Tak mau kehilangan gengsi dan pamornya, Spidermanpun ikut nimbrung dan mendaftar pada panitia untuk mengikuti turnamen itu. Menurutnya ini merupakan kesempatan bagi dirinya untuk membuktikan pada publik Indonesia bahwa dia memang benar-benar sakti mandraguna.
Pertandinganpun di mulai. Para pendekar dan jawara telah berkumpul menunggu panggilan untuk tampil ke atas ring. Gong pertandingan perdana telah dimulai, dan yang tampil dalam pertandingan perdana ini adalah Spiderman melawan si Buta dari gua hantu. Pertandingan berjalan sangat singkat dengan sekali lemparan jaring, si Buta langsung keok . 
Ternyata jaring Spiderman benar-benar hebat. Si buta dibuat tidak berdaya dengan jaring Spiderman itu. Si buta dihajar habis-habisan tanpa ampun oleh Spiderman. Akhirnya si Buta harus mengakui kesaktian Spiderman. Spiderman dinyatakan sebagai pemenang dalam pertandingan itu. Di babak berikutnya, Spiderman dengan jaringnya dengan mudah mampu mengalahkan lawan-lawannya. Hingga akhirnya tibalah pertandingan pada babak final. Yaitu pertandingan antara Spiderman melawan Gatot Kaca yang terkenal dengan otot kawat balung wesi kulit seng. Pertandingan berjalan sangat seru dan menegangkan.
 Berkali-kali gatot kaca mengeluarkan jurus pamungkasnya, berkali-kali pula Spiderman mampu menghindar dari serangan Gatot Kaca. Gatot Kaca hampir frustasi menghadapi Spiderman karena dia sangat tangguh dan gesit, jurus-jurusnya tidak mampu mengalahkan Spiderman. Dalam hatinya Gatot kaca berkata: ”Lo kok bisa yah..., padahal sudah aku keluarin semua jurus-jurusku,” Akhirnya Gatot Kaca mendapat ide yang cemerlang, yaitu mengajak bertarung di angkasa. Gatot Kacapun terbang dengan sayapnya, dia langsung menyerang Spiderman dari atas. Spiderman terlihat kewalahan dia hanya bisa menahan dan menghindar dari serangan bertubi- tubi yang dilancarkan oleh Gatot Kaca. Gatot Kaca ternyata telah megetahui kelemahan Spiderman dan dia berkata ”Heii... Spiderman mana jaring laba-labamu sudah habis ya?!!!!”. Ejek Gatot Kaca. Tanpa banyak kata, Spiderman langsung mengeluarkan jaring yang diarahkan ke tower yang berada di dekatnya, dia bergelantungan menuju udara untuk menyusul Gatot Kaca, tapi....... saat itu juga Spiderman merasa kebingungan, jaringnya tak tahu harus disangkutkan kemana lagi karena tak ada bangunan tinggi lagi selain tower tersebut, akhirnya dia jatuh tersungkur. Akibatnya Gatot Kaca bebas menyerangnya Spiderman sampai babak belur hingga bendera putih berkibar tanda menyerah. Super hero Amrik itu tak berkutik melawan Gatot Kaca. Tahu kenapa? Ya.. karena di Indonesia tak ada bangunan pencakar langit seperti di Amrik sana. Kak.. kak..kak ...