Minggu, 10 Mei 2009

Shalat Sunnah Berjamaah


Shalat sunnah dalam istilah lain juga disebut dengan nawafil, mandub dan mustahab. Secara lughat kata-kata tersebut mempunyai makna tambah (ziyadah), sedangkan secara istilah mempunyai makna: shalat-shalat selain shalat fardlu.

Shalat sunnah dibagi menjadi dua macam:

1.       Shalat sunnah yang disunnahkan untuk dikerjakan secara berjamaah, meliputi shalat 'idain (Idul Fithri dan Idul Adlha), shalat tarawih, shalat gerhana matahari dan bulan dan shalat istisqa'.

2.       Shalat sunnah yang disunnahkan untuk dikerjakan secara sendiri (munfarid/tidak berjamaah). Terbagi menjadi dua macam:

a.       Shalat-shalat sunnah yang mengikuti terhadap shalat fardlu atau yang disebut dengan shalat rawatib.

b.      Shalat-shalat sunnah yang tidak mengikuti shalat fardlu, seperti shalat tahiyatul masjid, witir, tahajjud, dluha, isyraq, istikharah, isti'adzah, tasbih dan lain-lain.

Yang menjadi pertanyaan adalah; apakah shalat-shalat sunnah yang tidak disunnahkan untuk dikerjakan secara berjamaah ini boleh dikerjakan secara berjamaah? Seperti halnya shalat dhuha, tasbih dan shalat-shalat sunnah yang lain apakah boleh dikerjakan secara berjamaah? Dan pernahkah Rasulullah melakukan hal itu?

Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik mengisahkan:

أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ. (رواه مسلم)

"Bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mangundang Rasulullah SAW untuk menikmati makanan yang telah dihidangkannya, maka Rasulullah SAW memakan makanan itu, kemudian beliau bersabda: "Bangunlah kalian semua, aku akan shalat untuk kalian (shalat bersama kalian). Sahabat Anas berkata: "Maka aku berdiri di atas tikar yang warnanya telah menghitam karena sudah lama tidak digunakan. Lalu aku menyipratkan air ke tikar tersebut, kemudian Rasulullah SAW berdiri di atas tikar itu, aku dan al-Yatim (Dlumairah) berdiri membentuk barisan di belakang Rasulullah SAW dan para wanita-wanita tua berdiri di belakang kami. Kemudian setelah itu Rasulullah SAW shalat dua rakaat bersama kami, kemudian beliau pergi." [H.R. Muslim].

Pada hadits di atas Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat bersama sahabat Anas, Dlumairah dan para wanita tua. Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah ini adalah shalat sunnah. Hal itu berdasarkan keterangan dari beberapa hadits di antaranya:

1.       Riwayat Imam Muslim, dari sahabat Anas RA:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلَّا أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي فَقَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّيَ بِكُمْ فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلَاةٍ فَصَلَّى بِنَا. (رواه مسلم)

"Dari sahabat Anas RA, beliau berkata: "Nabi SAW masuk ke (rumah) kami, sedangkan di situ hanya ada aku, ibuku dan Umi Haram bibiku, lalu Nabi SAW bersabda: "Bangunlah kalian semua, aku akan shalat bersama kalian." pada selain waktu shalat, lalu beliau shalat bersama kami." [H.R. Muslim].

2.       Riwayat Imam Abu Dawud, dari sahabat Anas RA yang mengatakan:

ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ تَطَوُّعًا. (رواه ابو داود)

"Kemudian Rasulullah SAW melakukan shalat sunnah dua rakaat bersama kami." [H.R. Abu Dawud].

Dari keterangan beberapa hadits di atas, para ulama seperti Imam al-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Fath al-Bari, Syeikh Ibnu Daqiqil Id dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam dan ulama yang lain berpendapat mengenai kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah secara berjamaah dan hal itu tidaklah dilarang. Apalagi jika shalat sunnah yang dilakukan secara berjamaah itu bertujuan untuk melatih dan mendidik seseorang (para murid atau santri) untuk selalu istiqamah dalam mengerjakan shalat tersebut, maka tentunya akan mempunyai nilai tambah tersendiri. Dan jika kita teliti dari beberapa riwayat hadits di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak hanya sekali saja, akan tetapi lebih dari satu kali.

Wallahu A'lam 

Siapakah Kelompok Yang Selamat ?


          Empat belas abad yang lalu, Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada kita, bahwa umat Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan. Sedangkan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Dari tujuh puluh tiga golongan itu yang selamat hanyalah satu, yaitu golongan yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat beliau atau yang dikenal dengan istilah Ahlusunnah wal Jama'ah. Permasalahnnya siapakah yang berhak menyandang predikat ini, mengingat semua kelompok juga mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlusunnah wal Jama'ah. Maka dari itu, kita harus mengetahui siapakah Ahlusunnah itu dan apa saja manhaj serta akidah mereka.

Sebelum Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin berada dalam satu ikatan manhaj, baik dalam masalah ushul (pokok) maupun furu' (cabang) agama. Ketika mereka musykil terhadap suatu hal, mereka langsung dapat bertanya kepada Rasulullah SAW dan selesailah permasalahan itu. Pertentangan di antara kaum muslimin muncul pertama kali ketika Rasulullah SAW wafat. Sekelompok orang di antara mereka mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidaklah meninggal. Bahkan sahabat Umar bin Khathab mengatakan apabila ada orang yang berkata bahwa Nabi Muhammad SAW telah meninggal maka beliau akan membunuh orang itu dengan pedangnya.[1] Beliau baranggapan Rasulullah SAW hanyalah diangkat oleh Allah SWT seperti halnya Nabi Isa AS. Kemudian pertentangan ini sirna dan semua kaum muslimin sepakat akan wafatnya Rasulullah SAW ketika sahabat Abu Bakar RA membacakan firman Allah SWT:

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ. [الزمر/30]

"Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)." [Q.S. al-Zumar: 30].

Kemudian beliau berkata: "Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Dan barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad, maka sesungguhnya Ia adalah dzat yang hidup, yang tidak akan pernah mati."

Setelah hal itu selesai, kemudian mereka berselisih mengenai tempat di mana Rasulullah SAW akan dimakamkan. Penduduk Makkah menginginkan agar Rasulullah SAW dikembalikan dan dikebumikan di Makkah, karena Makkah adalah tempat kelahiran beliau sekaligus sebagai tempat terutusnya dan merupakan qiblat beliau. Selain itu, Makkah merupakan tempat keturunan beliau dan di sana juga terdapat makam kakek beliau Nabi Ismail AS. Sedangkan penduduk Madinah menghendaki agar Nabi SAW dimakamkan di Madinah karena Madinah merupakan kota hijrah Rasulullah SAW dan kota para penolong beliau. Sementara kelompok yang lain menghendaki agar Rasulullah SAW dimakamkan di Baitul Maqdis, di sebelah makam Nabi Ibrahim AS. Kemudian hilanglah pertentangan ini ketika sahabat Abu Bakar RA menyampaikan sabda Rasulullah SAW; bahwa para nabi dimakamkan di tempat mereka meninggal, sehingga para sahabat memakamkan beliau di dalam kamar beliau di Madinah.

Perselisihan selanjutnya terjadi dalam masalah kepemimpinan. Kaum Anshar menyerahkan kepemimpinan kepada Sa'ad bin Ubadah al-Khazraji. Sedangkan orang-orang Quraisy mengatakan bahwa kepemimpinan hanya berada pada orang-orang Quraisy. Akhirnya kaum Anshar sepakat untuk menyerahkan kepemimpinan kapada kaum Quraisy karena ada sebuah hadits  yang mengatakan bahwa "Para pemimpin dari kaum Quraisy." Namun perselisihan ini tetap saja terjadi karena kelompok Dlirariyah dan Khawarij berpendapat bahwa kepemimpinan boleh saja dari selain Quraisy.

Setelah terjadinya perselisihan-perselisihan di atas, kaum muslimin disibukkan memerangi para pembangkang yang menolak untuk mengeluarkan zakat. Mereka juga disibukkan memerangi Thulaihah ketika ia mengaku sebagai Nabi dan keluar dari Islam. Namun kemudian ia kembali lagi masuk Islam di masa Khalifah Umar RA dan meninggal dunia sebagai syahid dalam peperangan Nahawanda pada tahun 21 H. Kemudian memerangi para pengaku nabi yang lain, seperti Musailamah al-Kadzdzab beserta istrinya Sajaj binti al-Harits yang mengaku sebagai nabi perempuan, serta Aswad bin Zaid al-'Ansi yang mengaku sebagai nabi ketika Rasulullah SAW masih hidup.

Setelah selesai menghadapi orang-orang yang membangkang, kaum muslimin bertugas untuk menyebarkan Islam keseluruh pelosok dunia. Maka terjadilah perluasan wilayah Islam dengan sangat cepat. Kaum muslimin pada waktu itu berada dalam satu tauhid dan keyakinan dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama). Mereka hanya berbeda dalam masalah furu' (cabang) fiqh yang tidak sampai menimbulkan perpecahan dan pengkafiran di antara mereka.

Munculnya fitnah terjadi pada akhir masa pemerintahan Sayidina Utsman bin Affan RA, kemudian berlanjut sampai pada masa Sayidina Ali bin Abi Thalib RA. Sehingga munculah beberapa kelompok yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pada masa-masa akhir periode shahabat.

 Siapa Saja Ahlusunnah Wal Jama'ah ?

Al-Imam Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farqu Baina al-Firaq menyebutkan bahwa Ahlusunnah wal Jama'ah terdiri dari delapan kelompok:

1.       Kelompok pertama adalah mereka para ulama yang mempunyai pengetahuan luas tentang masalah-masalah tauhid dan kenabian, ketetapan-ketetapan janji Allah serta ancaman-Nya, pahala dan siksa, syarat-syarat ijtihad dan imamah (kepemimpinan) dan kepemerintahan. Mereka menempuh ilmu ini dengan metode yang murni dari para ulama ahli kalam yang bersih dari tasybih (menyerupakan dzat Allah SWT dengan makhluk), bid'ah-bid'ah kaum Rafidlah, Khawarij, Jahmiyyah, Najjariyyah dan semua kelompok yang menyimpang.

2.       Para Imam Fiqih dari kalangan ahli ra’yi dan ahli hadits, yakni orang-orang yang dalam ushuluddin (pokok-pokok agama) meyakini madzhab-madzhab yang memurnikan Allah SWT dan Sifat-sifat-Nya yang azali, mereka bersih dari faham Qadariyah dan Mu'tazilah. Mereka berkata dan mengakui tentang kekalnya kenikmatan surga kepada penghuninya, kekalnya siksa neraka kepada orang-orang kafir, mengakui imamah (kepemimpinan) Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali RA, menyanjungkan pujian kepada salaf al-shalih, meyakini kewajiban Jum’at di belakang para imam yang bersih dari hawa nafsu yang menyesatkan dan meyakini kewajiban ber-istinbat (menggali) hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an, hadits dan ijma’ sahabat. Yang termasuk golongan ini adalah ulama pengikut Madzhab Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam al-Auza'i, Imam al-Tsauri, Imam Ibnu Abi Laila, para pengikut Imam Abi Tsaur, Madzhab al-Dhahiriyah dan semua ulama fiqh yang fiqhnya terbebas dari bid'ah-bid'ah yang menyesatkan.

3.       Ulama’ yang menguasai tentang ilmu periwayatan hadits dan sunnah dari Rasulullah SAW, dapat membedakan hadits yang shahih dengan hadits yang dlaif, mengetahui sebab-sebab kecacatan dan keadilan rawi dan mereka tidak mencampur adukkan pengetahuan tentang semuanya itu dengan perbuatan bid’ah oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan.

4.       Ulama’ yang menguasai tentang ilmu Adab, Nahwu, Tashrif dan ulama’ yang sealur dengan para Imam pakar lughat (bahasa), seperti Imam Kholil, Imam Abi Amr Bin Ala’ dan Imam Sibawaih.

5.       Ulama’ yang menguasai tentang ilmu metode bacaan-bacaan al-Qur’an, metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan pentakwilannya sesuai Madzhab Ahli Sunnah, bukan pentakwilan kelompok yang mengikuti hawa nafsu yang meyesatkan.

6.       Orang-orang yang zuhud dari kalangan Shufiyah, yaitu orang-orang memiliki pandangan hati, lalu membatasi dirinya; meneliti lalu mengambil pelajaran; ridho terhadap taqdir, menerima apa adanya; mengetahui bahwa sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban tentang baik dan buruknya, dan perhitungan amal baik atau buruk meskipun seberat semut kecil. Kemudian mereka mempersiapkan dengan sebaik-baiknya untuk bekal dalam kehidupan akhirat; ungkapan mereka dalam ibarat dan isarat berjalan sesuai dengan  jalan yang ditempuh oleh ahli hadits bukan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan kepentingannya. Mereka tidak melakukan kebaikan dengan tujuan riya’, tidak meninggalkannya karena malu. Agama mereka adalah tauhid, meniadakan penyerupaan (antara Khaliq dan makhluk-Nya), madzhab mereka adalah menyerahkan diri dengan sepenuhnya kepada Allah SWT, tawakal dan tunduk patuh terhadap perintah-Nya, menerima anugerah-Nya dan tidak berpaling dengan menetang-Nya. Allah SWT berfirman:

ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ. [الجمعة/4]

 “Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar”. [Q.S. al-Jum’at: 4].

7.       Orang-orang yang tetap berada di benteng pertahanan Islam untuk mengintai orang-orang kafir. Mereka memerangi musuh-musuh kaum muslim dan melindungi kaum muslimin. Dalam benteng-benteng mereka, mereka menampakkan madzhab Ahli Sunnah wal Jama'ah. Mereka adalah orang-orang yang telah dikisahkan oleh Allah SWT melalui firmannya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.  [العنكبوت/69]

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." [Q.S. al-Ankabut: 69]

8.       Komunitas orang-orang yang menetap di berbagai negara yang banyak sekali syi’ar-syi’ar Ahli Sunnah, bukan di negara yang hanya tampak syi’ar-syi’ar orang-orang yang mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan.[2]

 

Para Ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah

Ahlu Sunnah mempunyai sederet ulama besar yang menguasai berbagai bidang ilmu. Mereka tersebar di berbagai wilayah Islam dengan disiplin ilmu yang beraneka ragam. Pada masa sahabat telah muncul Sayidina Ali RA sebagai ulama ahli kalam (theology). Beliau dengan argumen-argumennya telah membabat habis aliran Khawarij dengan faham-faham yang mereka bawa. Kemudian beliau juga mendebat konsep-konsep aqidah yang dikembangkan oleh Qadariyah yang berkaitan dengan masyi'ah (keinginan), istiha'ah (kemampuan) dan qadar (takdir). Kemudian setelah itu, muncul Abdullah bin Umar RA yang menyatakan diri terlepas dari pendapat Ma'bad al-Jahni yang menafikan terhadap qadar.

Pada generasi berikutnya banyak sekali para ulama Ahlu Sunnah yang menentang dan menolak terhadap ajaran-ajaran Qadariyah, diantara mereka adalah Umar bin Abdul Azis, beliau mempunyai suatu risalah yang sangat bagus dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh aliran Qadariyah. Ulama-ulama lainnya yang yang sangat intens terhadap aliran Qadariyah adalah Imam al-Hasan al-Bashri, al-Sya'bi dan al-Zuhri. Pada generasi berikutnya muncullah Imam Ja'far bin Muhammad al-Shadiq yang telah menulis kitab untuk mengkritisi faham-faham Qadariyah, Khawarij dan Rafidhah. Dari kalangan fuqaha juga terdapat banyak ahli kalam seperti Imam Abu Hanifah dan Imam al-Syafi'i yang sangat berperan besar dalam membela madzhab Ahlu Sunnah dari gerogotan aliran-aliran yang menyimpang.  

 

Kelompok Ahlu Sunnah Tidak Saling Mengkafirkan

Kelompok Ahlu Sunah tidaklah saling mengkafirkan. Di antara kelompok Ahlu Sunah tidaklah terdapat suatu perbedaan yang mengharuskan untuk mengkafirkan kelompok yang lain. Oleh karena itu layaklah apabila mereka disebut sebagai Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang berada dalam kebenaran. Berbeda dengan kelompok yang lain di luar Ahlu Sunah, dimana sebagian kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lain. Seperti halnya kelompok Khawarij yang terpecah menjadi dua puluh kelompok, dan setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lain. Hal itu juga terjadi pada kelompok Rafidhah dan Qadariyah. Mereka itu seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nashrani ketika sebagian dari mereka mengkafirkan terhadap yang lain. Orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan". Sedangkan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.". Padahal mereka sama-sama membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari Kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.[3]

Allah SWT telah menjaga Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk mencela dan mengatakan sesat kepada para ulama salaf. Mereka memuji dan meyanjung para ulama salafu al-shalih, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, para sahabat yang ikut dalam perang Badar, Uhud dan para sahabat yang ikut dalam Baiat al-Ridlwan. Ahlu Sunnah tidak pernah mencela para shahabat yang telah dinyatakan oleh Rasulullah bahwa kelak akan masuk surga, istri-istri Rasulullah SAW, putra-putri beliau dan juga cucu-cucunya. Sebaliknya Ahlu Sunnah sangat memuji terhadap mereka semua. Ahlu Sunnah juga meyakini terhadap sabda Nabi SAW bahwa umat beliau sejumlah tujuh puluh ribu orang akan masuk surga tanpa dihisab terlebih dahulu. Mereka adalah orang-orang yang  tidak mau menggunakan mantra-mantra, meramalkan tidak baik dan mereka adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Tuhan mereka. Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT yang selalu berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."[4] 

 

Ahlusunnah Wal Jamaah Golongan Yang Selamat

Dalam sabdanya Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa kelompok umat ini yang selamat adalah mereka yang sesuai dengan akidah dan manhaj yang telah dibawa oleh beliau dan para shahabat. Dan yang mengikuti akidah dan manhaj tersebut hanyalah kelompok Ahlu Sunnah saja. Sedangkan kelompok lain, manhaj dan aqidahnya sudah tidak sama atau bahkan bertentangan dengan manhaj para shahabat RA. Hal itu tiada lain karena kelompok-kelompok itu banyak yang mengecam, bahkan banyak yang telah mengkafirkan para shahabat RA. Kelompok Qadariyah misalnya, bagaimana bisa mereka dikatakan sebagai pengikut manhaj Nabi SAW dan para shahabat apabila mereka mencela mayoritas shahabat sebagaimana yang dilontarkan oleh pemimpin mereka al-Nidlam. Lebih dari itu, ia juga menggugurkan keadilan Ibnu Mas'ud dan menganggapnya telah sesat hanya karena beliau meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi; "Sesungguhnya orang yang beruntung adalah orang yang beruntung ketika berada di dalam kandungan ibunya dan orang yang celaka adalah orang yang celaka ketika berada di dalam kandungan ibunya." dan hadits yang menerangkan tentang peristiwa terbelahnya rembulan. Padahal itu semua semata-mata hanyalah karena keingkarannya terhadap mu'jizat Nabi SAW. Lebih parah lagi ia juga membatalkan ijma' para shahabat dan tidak mengakuinya sebagai hujjah. Ia juga berpendapat bahwa umat ini bisa saja untuk sepakat dalam kesesatan. Lalu bagaimana kelompok ini bisa dikatakan mengikuti shahabat  apabila pandangan dan manhaj mereka bertolak belakang dengan manhaj para shahabat?

Kelompok Mu'tazilah pimpinan Washil bin Atha' al-Ghazal juga tidak bisa dikatakan sebagai pengikut manhaj para shahabat karena Washil sendiri telah meragukan keadilan Sayidina Ali dan kedua putranya, Ibnu Abbas, Thalhah, Zubair, Aisyah dan para shahabat yang telah menyaksikan perang Jamal, bahkan lebih dari itu ia telah menganggap para shahabat tersebut sebagai orang yang fasik yang akan kekal di neraka. Ia meragukan keadilan Sayidina Ali, Thalhah dan Zubair, padahal mereka bertiga termasuk dalam kelompok al-mubasysyirina bil jannah (orang-orang yang mandapat kabar gembira kelak akan masuk surga), mereka juga termasuk orang-orang yang ikut dalam baiat al-ridlwan dan mereka adalah orang-orang yang telah dikisahkan oleh Allah SWT melalui firman-Nya:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. [الفتح/18]

"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)." [Q.S. al-Fath: 18]

Maka bagaimana bisa kelompok ini dikatakan sebagai pengikut shahabat sedangkan mereka menganggap para shahabat sebagai orang yang fasik dan akan masuk neraka?

Kelompok yang lain seperti Khawarij, Rafidlaf , Jahmiyyah, Najjariyah dan Dlirariyah juga tidak bisa dikatakan sebagai pengikut para shahabat, karena mereka semua telah sepakat untuk tidak menerima sesuatu yang diriwayatkan para shahabat berkaitan dengan hukum syariat. Hal itu tiada lain karena mereka telah mengkafirkan mayoritas dari mereka yang telah menerima hadits dari Rasulullah SAW.

Maka dari uraian ini jelaslah bahwa pengikut para shahabat adalah orang-orang yang mengamalkan riwayat-riwayat yang benar dari para shahabat dalam hukum syariat. Dan inilah manhaj Ahlu Sunnah wal Jamaah. Wallahu A'lam.

  

[1] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah), 12.

[2] Abdul Qahir al-Baghdadi, Al-Farqu Baina al-Firaq: 240-243.

[3] Al-Baqarah: 113.

[4] Al-Hasyr: 10.