Senin, 30 November 2009

HADITS DLAIF

 

A.      Definisi

Secara etimologi kata dlaif mempunyai makna kebalikan dari kuat (dliddul qawi). Sedangkan secara terminologi adalah hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat hadits qabul[1] dengan tidak terpenuhinya salah satu syarat dari beberapa syarat hadits qabul.[2] Dalam Alfiyahnya, Imam Suyuthi mengatakan:

هُوَ الَّذِي عَنْ صِفَةِ الحُسْنِ خَلا # وَهْوَ عَلَى مَرَاتِبٍ قَدْ جُعِلا

"Hadits dlaif adalah hadits yang sepi dari sifat hasan. Hadits dlaif terbagi menjadi beberapa tingkatan."[3]

Sifat hasan[4] tersebut ada enam, yaitu sanadnya bersambung, para perawi yang adil ('adalatur ruwat), para perawi yang dlabit (dlabtur ruwat), adanya mutaba'ah (penguat eksternal) pada rawi yang mastur (tidak diketahui biografinya), tidak syadz ('adamus syudzudz) dan tidak terdapat illat ('adamul 'illat).[5]

Hadits dlaif juga disebut sebagai hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum syar'iyyah.[6]

 

B.     Macam-macam Hadits Dlaif

Hadits dlaif terbagi menjadi sangat banyak sekali. Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dlaif. Abu Hatim Ibnu Hibban mengklasifikasikan hadits dlaif menjadi 49 macam.[7] Sementara al-Hafidz al-Iraqi membaginya menjadi 42 macam[8], dan sebagian ulama yang lain ada yang mengklasifikasikannya menjadi 81, 129[9], bahkan hingga mencapai 381 macam.[10] Namun menurut Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki pembagian tersebut tidaklah memberikan faedah yang besar. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa pembagian tersebut sangat melelahkan (bersusah payah) dan tidak ada kebutuhan di balik semua itu. Para ulama yang berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dlaif tidak memberi nama tertentu bagi msing-masing klasifikasi itu kecuali hanya sedikit saja. Mereka juga tidak mengkhususkan nama tertentu dari hadits-hadits yang dlaif tersebut.[11]

 

C.      Status Kehujjahan

Para ulama berbeda pendapat mengenai status kehujjahan hadits dlaif;

1.      Kelompok pertama

Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak dapat dipakai untuk apapun saja. Baik masalah keutamaan (fadhilah), nasehat atau peringatan. Apalagi dalam masalah hukum dan aqidah, tidak ada tempat untuk hadits dhaif menurut mereka. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Ma'in. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Bakar bin al-Arabi. Pendapat ini juga yang dipakai oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.[12]

2.      Kelompok kedua

Mereka adalah kalangan yang menerima hadits dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut ada enam. Empat di antaranya telah disepakati oleh para ulama. Syarat kelima sebagai penjelas dan oleh sebagian ulama ditinggalkan. Sedangkan syarat keenam diperselisihkan, menurut pendapat yang arjah tidak termasuk dalam syarat-syarat tersebut.[13]

Syarat-syarat tersebut adalah :

a.       Hadits dhaif tersebut hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan (fadlailul a'mal). Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.

b.      Hadits itu tidak terlalu parah kedhaifannya. Sedangkan hadits dhaif yang perawinya sampai ke tingkat pendusta atau tertuduh sebagai pendusta atau parah kerancuan hafalannya maka hadits dhaif semacam itu tidak diterima.

c.       Hadits dhaif tersebut berada di bawah kaidah dasar umum yang diamalkan.

d.      Ketika mengamalkan jangan disertai keyakinan tsubutnya (tetapnya) hadits itu, melainkan hanya sekedar hati-hati.

e.       Tidak bertentangan dengan hadits shahih.

f.       Tidak meyakini kesunahannya.

3.      Kelompok ketiga

Mereka adalah kalangan yang mau menerima hadits dhaif secara bulat, asal bukan hadits palsu (maudlu’). Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad RA Karena bagi kalangan ini selemah-lemahnya hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari pendapat manusia.[14]

Dari ketiga kelompok di atas menurut Dr. Muhammad Ajaj al-Khathib yang paling selamat adalah kelompok pertama.[15] Namun menurut penulis pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang kedua sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama.[16] Kelompok pertama yang mengatakan bahwa hadits dlaif tidak bisa diamalkan secara muthlak, maksudnya adalah hadits dlaif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan I'tibar.[17] Sedangkan yang dimaksud hadits dlaif yang bisa diamalkan oleh kelompok ketiga adalah hadits-hadits yang jalurnya banyak dan para perawinya tidak ada yang tertuduh sebagai pembohong dan syadz, atau yang oleh Imam Tirmidzi disebut sebagai hadits hasan. Karena menurut kelompok ini (Imam Ahmad) hadits dlaif terbagai menjadi dua; dlaif yang matruk (ditinggalkan) dan dlaif yang hasan. Dan hadits-hadits ini (hasan menurut istilahnya Imam Tirmidzi) oleh Imam Ahmad dikatakan sebagai dlaif dan bisa dijadikkan sebagai hujjah.[18]

Jadi, menurut kami antara kelompok pertama dan kelompok ketiga tidaklah terjadi perbedaan, karena term hadits dlaif yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut tidaklah sama pengertiannya.

 

D.      Hubungan Dengan Hadits Maudlu'

Hadits maudlu' adalah hadits yang dibuat-buat dan kemudian dinisbatkan bahwa itu adalah sabda, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW, padahal Nabi SAW tidak pernah melakukan itu.[19] Hadits maudlu' merupakan hadits dlaif yang paling buruk. Sebagian ulama menganggap bahwa hadits maudlu' bukan bagian dari hadits dlaif, tapi merupakan bagian tersendiri dalam klasifikasi hadits.[20]

 

E.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Dlaif.

Ada tiga klasifikasi kitab-kitab yang memuat hadits dlaif;

1.      Kitab-kitab yang ditulis dalam rangka menjelaskan hadits-hadits dlaif (di dalamnya hanya terdapat hadits dlaif) seperti kitab al-Dlu'afa' al-Kabir yang ditulis oleh Imam al-Uqaili.

2.      Kitab-kitab yang berisi khusus macam-macam hadits dlaif, seperti kitab al-Marasil yang ditulis oleh Imam Abu Dawud dan kitab al-Ilal yang ditulis oleh Imam al-Daruquthni.

3.      Kitab-kitab yang di dalamnya berisi berbagai macam hadits, baik shahih, hasan maupun dlaif, seperti kitab sunan yang empat (Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah)[21], Musnad Imam Ahmad[22] dan masih banyak lagi yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ishaqy, Hadlratus Syeikh Ahmad Asrori RA, al-Muntakhabat fi Rabithat al-Qalbiyah wa Shilat al-ruhiyah. Surabaya: Al-Khidmah, 2007.

Al-Iraqi, Zainuddin Abdirrahman bin al-Husain. al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah. Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1969.

---------, Fath al-Mughits. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001.

Al-Khathib, Ajaj. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.

Al-Maliki, Sayiyid Alwi. al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif.

Al-Maliki, Muhammad bin Alwi. al-Manhal al-Lathif. Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 2000.

Al-Suyuthi, Alfiyah al-Suyuthi.

--------------, Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah.

Al-Thahan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, t.t.

Masyath, Hasan Muhammad. al-Taqrirat al-Saniyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996.   

Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006.

Syuhbah, Abu. al-Wasit.

Soft Ware al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Tsani

Taimiyah, Ibnu. Majmu' Fatawi.

 

 

 



[1] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 66.

[2]Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 2006, 222. Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006, 65. Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 52.

[3] Al-Suyuthi, Alfiyah al-Suyuthi, 1/8.

[4] Dalam redaksi lain menggunakan kata qabul sebagai pengganti hasan, sebagaimana dalam Tadrib al-Rawi, 1/179.

[5] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, 1/179. Zainuddin Abdirrahman bin al-Husain al-Iraqi, al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah. Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1969, 63.

[6] Hasan Muhammad Masyath, al-Taqrirat al-Saniyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996, 16.   

[7] Ibnu Shalah, 65.

[8] Al-Iraqi, Fath al-Mughits. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001, 67. Muhammad bin Alwi, 66.

[9] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi: 1/179.

[10] Abu Syuhbah, al-Wasit, 276. (dalam foot note Muqaddimah Ibnu Shalah, 65).

[11] Muhammad bin Alwi, 67.

[12] Ajaj al-Khathib, 231.

[13] Hadlratus Syeikh Ahmad Asrari al-Ishaqy RA, al-Muntakhabat fi Rabithat al-Qalbiyah wa Shilat al-ruhiyah. Surabaya: Al-Khidmah, 2007, 1/483.

[14] Ajaj al-Khathib, 232.

[15] Ibid.

[16] Mahmud, 54.

[17] Sayiyid Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif, 13.

[18] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawi, 1/76.

[19] Ajaj, 275, al-Iraqi, 131, Muhammad bin Alwi, 147 dan Mahmud Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 75.

[20] Mahmud, 75.

[21] Ajaj, 210.

[22] Ibid., 215.

Kamis, 26 November 2009

Doa-Doa Anggota Wudlu'


Ketika sedang berwudlu', kadang-kadang kita mendengar sebagian teman kita membaca doa-doa atau dzikir tertentu ketika membasuh atau mengusap anggota wudlu'. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah doa-doa itu disunnahkan?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, lebih dulu kita harus mengetahui beberapa hal berikut ini:

1.    Bahwa orang yang berwudlu', dan ketika wudlu' tidak berdzikir kepada Allah SWT, wudlu'nya tetap dianggap sah. Begitu juga seseorang yang berwudlu, ketika berwudlu' berbicara tentang urusan dunia, wudlu'nya juga tetap sah.

2.    Akan tetapi mana yang lebih baik ketika kita wudlu', diam atau berdzikir kepada Allah? Sekelompok ulama mengatakan bahwa diam ketika wudlu' adalah lebih baik. Itu karena mengikuti terhadap apa yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Sekelompok ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah berdzikir. Hal ini berdasarkan keumuman perintah untuk berdzikir kapanpun dan dimanapun, juga karena tidak ada larangan dalam masalah itu.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini sebenarnya muncul dari pemahaman hadits "Barang siapa membuat hal baru dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian dari agama, maka tidak diterima." (H.R. Bukhari Muslim).

Kelompok yang berpendapat bahwa diam lebih baik mengatakan bahwa mengucapkan dzikir pada anggota-anggota wudlu dianggap sebagai perbuatan yang mengada-ada dalam agama. Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa berdzikir lebih baik mengatakan bahwa dzikir merupakan hal yang dianjurkan secara umum, tanpa dibatasi dengan zaman atau tempat, sebagaimana firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا.  [الأحزاب/41، 42]

"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (Q.S. al-Ahzab: 41-42).  

Dzikir ketika membasuh atau mengusap anggota wudlu' di tengah-tengah wudlu' termasuk ke dalam perintah ayat tersebut yang bersifat umum dan bukan melakukan sesuatu yang mengada-ada dalam agama. Memang doa-doa tersebut tidak terdapat dalam hadits-hadits Nabi, akan tetapi Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar menulis: "Para Ahli Fiqh berkata: "Disunnahkan ketika wudlu' untuk membaca doa-doa yang datang dari ulama salaf." Imam al-Adzra'i berkata: "Hendaknya doa-doa itu tidaklah ditinggalkan, tapi juga hendaknya tidak diyakini sebagai sunnah, karena tidak ada hadits yang menetapkan doa-doa itu."

Doa-doa tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Setelah basmalah membaca:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْمَاءَ طَهُوْرًا.

"Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan air sebagai sesuatu yang mensucikan."

2.    Ketika berkumur membaca:

اَللَّهُمَّ اسْقِنِىْ مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعَدَهُ أَبَدًا.

"Ya Allah, berilah aku minum dari telaga Nabi-Mu SAW dengan gelas yang menyebabkan aku tidak merasa haus lagi selamanya."

3.    Ketika istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) membaca:

اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنِىْ رَائِحَةَ نَعِيْمِكَ وَجَنَّاتِكَ.

"Ya Allah, janganlah Engkau haramkan bagiku aroma kenikmatan dan surga-Mu."

4.    Ketika membasuh wajah membaca:

اَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِىْ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ.

"Ya Allah, putihkanlah wajahku pada hari (kiamat) ketika Engkau memutihkan wajah-wajah (orang-orang yang beriman) dan menghitamkan wajah-wajah (orang-orang kafir)."

5.    Ketika membasuh kedua tangan membaca:

اَللَّهُمَّ أَعْطِنِىْ كِتَابِىْ بِيَمِيْنِىْ وَحَاسِبْنِىْ حِسَابًا يَسِيْرًا، اَللَّهُمَّ لاَ تُعْطِنِىْ كِتَابِىْ بِشِمَالِىْ وَلاَ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِىْ.

"Ya Allah, berikanlah kitabku dengan tangan kananku dan hisablah aku dengan hisab yang mudah. Ya Allah, janganlah Engkau berikan kitabku dengan tangan kiriku dan jangan dari belakang punggungku."

6.    Ketika mengusap sebagian kepala membaca:

اَللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِىْ وَبَشَرِىْ عَلَى النَّار.

"Ya Allah, lindungilah rambut dan kulitku dari api neraka."

7.    Ketika mengusap kedua telinga membaca:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِىْ مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتْبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ.

"Ya Allah, jadikanlah aku sebagai orang-orang yang mendengarkan perkataan (yang baik) dan mengikuti kebaikan perkataan itu."

8.    Ketika membasuh kedua kaki membaca:

اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمَيَّ عَلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ.

"Ya Allah, tetapkanlah kedua telapak kakiku di atas jalan yang lurus."

Doa-doa di atas tidak masalah untuk diamalkan, walaupun tidak terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW, karena doa-doa tersebut termasuk dalam perintah umum untuk berdzikir kepada Allah SWT dan tidak ada dalil yang melarangnya. (Disarikan dari Fatawi al-Azhar oleh Syeikh Athiyyah Shaqr)

ZIARAH KE MAKAM NABI SAW


Seseorang yang melakukan ibadah haji rasanya tidak afdlal jika tidak berziarah ke makam Nabi SAW. Ziarah ke makam Nabi SAW merupakan bentuk taqarrub kepada Allah SWT yang sangat mulia. Hal itu telah disepakati oleh mayoritas kaum muslimin setiap masa hingga saat ini.

 Hujah-Hujah Kesunahan Ziarah ke Makam Nabi SAW

1.    Kesunahan ziarah ke makam Nabi SAW secara umum termasuk dalam kesunahan untuk berziarah kubur. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW sendiri, bahwa beliau tiap malam selalu pergi untuk berziarah ke pemakaman Baqi'. Beliau mengucapkan salam kepada para penghuni pemakaman Baqi', kemudian mendoakan dan memintakan ampun untuk mereka. Kisah itu banyak dituturkan dalm hadits-hadits shahih.[1] Dan sudah maklum bagi kita bahwa makam Rasulullah SAW juga termasuk di dalamnya, bahkan lebih utama untuk diziarahi, sehingga berziarah ke makam Nabi juga berlaku hukum semacam itu, yaitu sunah.

2.    Kesunahan ziarah ke makam Nabi SAW juga berdasarkan ijma' para shahabat, tabi'in dan para ulama setelah mereka yang berziarah ke makam Nabi SAW.

3.    Perbuatan mayoritas shahabat yang berziarah ke makam Nabi SAW. Di antara mereka adalah Shahabat Bilal RA, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dengan sanad yang jayyid (baik) dan Ibnu Umar RA, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa', juga Abu Ayyub, sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal RA.

4.    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad RA dengan sanad yang shahih. Ketika Rasulullah SAW mengutus Shahabat Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau keluar bersama Shahabat Mu'adz sambil berwasiat kepadanya. Waktu itu Shahabat Mu'adz menunggangi kendaraannya, sedangkan Rasulullah SAW berjalan di bawah kendaraan yang ditunggangi Shahabat Mu'adz. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Mu'adz, barangkali engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku setelah tahunku ini, atau barang kali engkau akan melewati masjidku ini dan kuburku." Shahabat Mu'adz lalu menangis karena sangat sedih akan berpisah dengan Rasulullah SAW.[2]  Redaksi hadits tersebut seolah-olah merupakan pesan Nabi SAW kepada Shahabat Mu'adz agar beliau mengunjungi masjid dan makam Nabi SAW ketika beliau kembali ke Madinah.[3]

Dari keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ziarah ke makam Nabi SAW merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam agama Islam.

Analisis Hadits Tetang Keutamaan Ziarah ke Makam Nabi SAW

Ziarah ke makam Nabi SAW mempunyai faedah yang sangat besar sekali. Di antara faedah itu adalah orang yang berziarah ke makam Nabi seolah-olah ia telah berziarah kepada Nabi sewaktu beliau hidup, ia juga dijanjikan surga dan akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي.

"Barang siapa yang menziarahi aku setelah aku wafat, maka seolah-olah ia telah menziarahi aku ketika aku masih hidup."

Dalam redaksi lain disebutkan:

وَمَنْ زَارَ قَبْرِي فَلَهُ الْجَنَّةُ.

"Barang siapa yang berziarah ke makamku, maka surgalah baginya."

Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dua hadits di atas sanadnya berbeda. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dari jalur Harun Abi Qaza'ah, dari seorang laki-laki dari keluarga Hathib, dari Hathib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa meziarahi aku setelah kematianku, maka seolah-olah ia telah meziarahi aku ketika aku masih hidup."[4] Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang laki-laki (rawi) yang tidak diketahui biografinya. Al-Daruquthni juga meriwayatkan dengan redaksi: "Barang siapa yang melakukan ibadah haji, lalu berziarah ke kuburku setelah aku wafat, maka seolah-olah ia berziarah kepadaku ketika aku masih hidup."[5] Hadits tersebut juga diriwayatkan al-Thabrani[6] dan al-Fakihani[7] dari jalur Hafs bin Abi Dawud, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Umar. Juga diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam Musnadnya dan Ibnu 'Addi dalam al-Kamil.[8]

Dua jalur hadits di atas (Riwayat al-Daruquthni dan al-Thabrani) adalah dloif. Hafsh (Hafsh bin Abi Dawud) adalah Ibnu Sulaiman yang merupakan dloif al-hadits (perawi hadits dlaif), walaupun Imam Ahmad mengatakan bahwa ia adalah shalih.[9] Adapun riwayat al-Thabrani terdapat rawi yang tidak diketahui biografinya. Hadits itu juga diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam al-Dlu'afa' al-Kabir dari hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.[10] Dalam sanad tersebut terdapat Fadlalah bin Sa'id yang dloif.

Hadits kedua diriwayatkan oleh al-Daruqutni dari jalur Musa bin Hilal al-'Abdi, dari Ubaidillah bin Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dengan redaksi:

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ.

"Barang siapa menziarahi kuburku, maka wajib baginya memperoleh syafaatku."[11]

Imam Abu Hatim mengatakan bahwa Musa bin Hilal adalah majhul (yakni majhul al-adalah, tidak diketahui keadilannya), sedangkan rawi-rawi yang lain adalah tsiqat. Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits ini dari jalur tersebut.

Al-Hafidz al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar juga meriwayatkan dari jalur Zaid bin Aslam, dari Ibnu Umar sebagaimana yang diungkapkan al-Hafidz al-Haitsami dalam Majma' al-Zawaid. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Ibrahim al-Ghifari yang merupakan rawi dloif.

Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dari hadits Abi Dawud al-Thayalisi, dari Sawwar bin Maimun, dari seorang laki-laki dari keluarga Umar, dari Umar dengan redaksi: "Barang siapa menziarahi kuburku, maka aku akan menjadi penolong baginya."[12] Lalu al-Baihaqi mengatakan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat rawi yang tidak diketahui identitasnya. Berkaitan dengan hal ini al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman juga meriwayatkan hadits dari jalur Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik, dari Abu al-Mutsanna Sulaiman bin Yazid al-Ka'bi, dari Anas bin Malik.[13]

Setelah menganalisis hadits di atas dari berbagai sanad, maka al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa semua jalur sanad hadits tersebut adalah dlaif. Akan tetapi Imam Abu Ali bin al-Sakani menshahihkannya dari jalur Ibnu Umar ketika menuturkannya dalam kitab al-Sunan al-Shihah, lalu Imam Abdul Haq juga meshahihkannya dalam al-Ahkam al-Wustha. Demikian juga Imam Taqiyuddin al-Subuki dengan memandang banyaknya jalur.[14]

Maka jelaslah dari analisis di atas bahwa hadits-hadits tersebut walaupun sanadnya dlaif akan tetapi saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya sehingga naik statusnya menjadi hasan lighairih.

Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang derajatnya dibawah shahih lidzatihi, seperti shahih lighairihi, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi juga bisa dijadikan sebagai hujjah suatu amalan. Dan kalau kita teliti bahwa hadits Ziarah Nabi SAW minimal termasuk dalam kategori hasan lighairihi alladzi yuhtajju bihi (yang dapat digunakan sebagi hujjah suatu amalan). Imam al-Sakhawi dalam Fath al-Mughitsnya berkata: “Sesungguhnya hasan lighairihi disamakan dengan hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi hal itu berlaku pada hadits yang jalurnya banyak. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam sebagian hadits: “Hadits-hadits ini walaupun sanad-sanadnya dlaif, maka berkumpulnya sanad-sanad tersebut menyebabkan sebagian hadits menguatkan sebagian yang lain dan jadilah hadits tersebut sebagai hadits hasan yang bisa dijadikan sebagai hujjah.” Imam Nawawi juga berkata: ”Hadits dlaif ketika jalurnya terbilang (banyak) maka derajatnya naik dari dlaif menjadi hasan. Maka jadilah hadits tersebut sebagai hadits yang maqbul (diterima) dan diamalkan.” Hal itu juga telah disampaikan lebih dahulu oleh Imam al-Baihaqi, beliau menguatkan hadits-hadits dlaif karena berasal dari jalur yang banyak.[15]

Hadits hasan lighairihi adalah hadits dlaif ketika jalurnya terbilang (banyak) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau dustanya rawi. Mengenai hadits-hadits tersebut Imam al-Dhahabi berkata: "Jalur sanad-sanad hadits tersebut adalah lemah yang sebagian menguatkan terhadap sebagian yang lain dan para perawinya tidak ada yang dituduh berdusta (muttaham bil kidzb).[16]

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dlaif derajatnya bisa naik menjadi hasan karena dua hal:

1.    Diriwayatkan dari jalur lain satu atau lebih, baik jalur yang lain itu sama kualitasnya atau lebih kuat.

2.    Kedlaifan hadits disebabkan adakalanya karena buruknya hafalan rawi, terputus dari sanadnya atau biografi rawi yang tidak diketahui.[17]

Kehujjahan hadits hasan lighairih juga telah difatwakan oleh Komisi Fatwa ulama Saudi Arabia yang pada waktu itu diketuai oleh Syeikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz.[18]


[1] Shahih Muslim, no. 2299, Shahih Ibnu Hibban, no. 3172 dll.

[2] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, no. 22105.

[3] Said Ramdhan al-Buthy, Fiqh Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, 475.

[4] Sunan al-Daruquthni, no. 193.

[5] Ibid., no. 192.

[6] Al-Thabrani, al-Mu'jam al-Kabir, no. 13497  dan Mu'jam al-Ausath, no. 287.

[7] Al-Fakihani, Akhbar al-Makkah, no. 901.

[8] Ibnu 'Addi, al-Kamil fi Dlu'afat al-Rijal, no. 1834.

[9] Imam Ahmad mentsiqahkannya dan didloifkan oleh para imam yang lain. (Majma' al-Zawaid: 3/666.)

[10] Al-Uqaili, al-Dlu'afa' al-Kabir, no. 1664 dan 1920 dengan redaksi yang berbeda.

[11] Sunan al-Daruquthni, no. 194.

[12] Al-Baihaqi, al-Sunan al-Baihaqi, no. 10572.

[13] Al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman, no. 4157 dan 4158 dengan redaksi yang berbeda.

[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi'i al-Kabir: 2/568.

[15] Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdits: 1/66

[16] Lihat penjelasannya dalam Fatawi al-Azhar: 8/106.

[17] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 43.

[18] Fatawi al-Lajnah al-Daimah al-Majmu'ah al-Ula: 4/369.