Yasinan sudah menjadi tradisi masyarakat muslim di Indonesia. Ketika ada orang yang sakit atau sedang menghadapi kematian masyarakat kita membacakan yasin di sisi orang yang sakit tersebut. Namun akhir-akhir ini eksistensinya sedikit tergoyah karena ada beberapa kelompok orang yang mengklaim bahwa hadits-hadits yang berhubungan dengan Yasin dinilai sebagai hadits dloif bahkan maudlu' (palsu) yang tidak boleh untuk diamalkan. Benarkah demikian?
Kesunahan membaca yasin di sisi orang yang menghadapi kematian berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ma'qil bin Yasar yang berbunyi: "Bacakanlah Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi:
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 380)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ يَعْنِي يس.
Untuk mengetahui kualitas hadits ini, maka kita harus mengetahui biografi para rawi hadits di atas, apakah tsiqat atau tidak. Para rawi-rawi tersebut adalah:
1. Abu Bakar bin Abi Syaibah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasati al-Abbasi. Beliau wafat pada tahun 235 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau termasuk rawi yang tsiqatun hafidzun. (Tahdzib al-Tahdzib: 6/4). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk al-Hafidz.
2. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq
Nama beliau adalah Ali bin al-Hasan bin Syaqiq bin Dinar al-Abdiy Abu Abdirrahman al-Maruzi, beliau wafat pada tahun 215 H, menurut pendapat lain beliau wafat sebelum tahun 215 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau termasuk perawi yang tsiqatun hafidzun (Tahdzib al-Tahdzib: 7/299). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk rawi yang tsiqat.
3. Ibnu al-Mubarak
Nama beliau adalah Abdullah bin al-Mubarak bin Wadlih al-Handholi al-Taimi. Beliau lahir pada tahun 118 H dan wafat pada tahun 181 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat, tsabat, faqih, alim, jawwad dan mujahid (Tahdzib al-Tahdzib: 5/386). Sedangkan al-Dzahabi mengatakan bahwa beliua adalah Syeikh Khurasan.
4. Sulaiman al-Taymi
Nama beliau adalah Sulaiman bin Tharkhan al-Taymi. Beliau lahir pada tahun 46 H dan wafat pada tahun 143 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat (Tahdzib al-Tahdzib: 4/202). Menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk salah satu sadaat (pembesar).
5. Abu Utsman
Menurut satu pendapat nama beliau adalah Sa'ad. Menurut Ibnu al-Madini beliau adalah majhul (tidak diketahui identitasnya), sedangkan Ibnu Hibban menyebutkan bahwa beliau termasuk dalam kategori rawi-rawi yang tsiqat. (Tahdzib al-Tahdzib: 12/147), sehingga al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa beliau adalah rawi yang maqbul.
6. Ayah Abu Utsman
Biografi beliau tidak diketahui.
7. Ma'qil bin Yasar
Nama beliau adalah Ma'qil bin Yasar bin Abdullah al-Muzani. Beliau termasuk sahabat yang mengikuti baiat di bawah pohon (baiatur ridhwan). Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Dzahabi beliau termasuk dalam kategori shahabiy (Tahdzib al-Tahdzib: 10/235)
Setelah kita mengetahui biografi dari rawi-rawi di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada rawi-rawi tersebut ada satu rawi yang tidak diketahui biografinya yaitu ayah Abu Utsman. Sehingga hal itu menyebabkan hadits di atas sanadnya adalah dhoif yang disebabkab karena jahalat al-rawi (biografi rawi yang tidak diketahui).
Dalam ilmu hadits, hadits-hadits yang maqbul (bisa dijadikan sebagai hujjah) ada empat, yaitu hadits shohih lidzatihi, shohih lighairihi, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Nah, hadits di atas apabila dikatakan sebagai hadits yang sanadnya dloif, maka minimal hadits di atas termasuk dalam kategori hadits hasan lighairihi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Karena selain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya: 19416 dan 19427, Imam al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra: 10913, al-Hakim dalam al-Mustadraknya: 2028, al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir: 16904 dan 16931, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman: 2356, 2357, 8929 dan 8930, Ibnu Hibban dalam Shohihnya: 3064, al-Thayalisi dalam Musnadnya: 962 dan Abu Dawud dalam Sunannya: 2714. Selain itu, hadits di atas juga dishohihkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shohihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadraknya.
Imam al-Sakhawi dalam Fath al-Mughitsnya berkata: “Sesungguhnya hasan lighairihi disamakan dengan hadits yang bisa dijadikan sebagi hujjah, akan tetapi hal itu berlaku pada hadits yang jalurnya banyak. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam sebagian hadits: “Hadits-hadits ini walaupun sanad-sanadnya dloif, maka berkumpulnya sanad-sanad tersebut sebagian menguatkan sebagian yang lain dan jadilah hadits tersebut sebagai hadits hasan yang bisa dijadikan sebagi hujjah.” Imam Nawawi juga berkata: ”Hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) maka derajatnya naik dari dloif menjadi hasan. Maka jadilah hadits tersebut sebagai hadits yang maqbul (diterima) dan diamalkan.” Hal itu juga telah disampaikan lebih dahulu oleh Imam al-Baihaqi, beliau menguatkan hadits-hadits dloif karena berasal dari jalur yang banyak. (Qawaid al-Tahdits: 1/66)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para Ulama sebelum Imam Tirmidzi hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif. Sedangkan dloif menurut mereka terbagi menjadi dua, dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan dan ini menyerupai hasan menurut istilah Imam Tirmidzi dan dloif yang wajib untuk ditinggalkan yaitu al-wahi (hadits yang lemah).( Majmu' Fatawa:18/25, Qawaid al-Tahdits: 1/56)
Sedangkan definisi hadits hasan lighairihi sendiri adalah hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) dan sebab kedloifannya bukan karena fasiknya rawi atau dustanya rawi. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dloif derajatnya bisa naik menjadi hasan karena dua hal: 1) diriwayatkan dari jalur lain satu atau lebih, baik jalur yang lain itu sama kualitasnya atau lebih kuat. 2) kedloifan hadits disebabkan adakalanya karena buruknya hafalan rawi, terputus dari sanadnya atau biografi rawi yang tidak diketahui. (Taysir Musthalah al-Hadits: 43).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Saya telah menemukan syahid (penguat eksternal) bagi hadits Ma'qil (yakni hadits: "Bacakanlah Yasin kpd orang yg akan mati di antara kamu.") dari Shafwan bin Umar, dari Masyyakhah (orang-orang sepuh), mereka menjenguk Ghudlaif bin al-Harits ketika dalam keadaan yang sangat parah. Ghudlaif berkata: "Adakah diantara kalian semua seseorang yang membaca surat yasin?" maka kemudian Sholih bin Syuraih al-Sakuni membacanya, ketika sampai empat puluh ayat dari surat yasin Ghudlaif meninggal. Kemudian orang-orang sepuh berkata: "Apabila surat yasin dibacakan disisi mayit maka diringankanlah ia karena surat yasin itu." Shafwan berkata: "Isa bin Mu'tamar membacakannya di sisi Ibnu Ma'bad." Al-Hafidz berkata: "Hadits ini adalah mauquf yang sanadnya hasan. Ghudlaif termasuk dalam kelompok shahabiy menurut jumhur." (al-Futuhat al-Rabbaniyyah ala Adzkar al-Nawawiyah:4/85. Kisah tersebut juga dituturkan Imam Ahmad dalam Musnadnya: 34/324 ).
Pendapat Para Imam Dari Madzhab Empat Tentang Kesunahan Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Mengalami Sakaratul Maut.
1. Ulama Syafi'iyyah mensunnahkan untuk membaca yasin disisi orang yang sedang menghadapi kematian. Ungkapan kesunahan tersebut Insya Allah terdapat pada semua kitab fiqh Madzhab Syafi'i, dan terlalu banyak jika harus kita tuliskan disini. Cukuplah kita katakan "Hal yukhfa ala al-nasi al-qamar?"
2. Ulama Hanafiyah juga mensunnahkan hal itu. Keterangan itu bisa dilihat dalam Hasyiyah Rad al-Mukhtar: 2/207 dan kitab-kitab Madzhab Hanafi yang lain.
3. Ulama Malikiyah juga menganjurkan hal itu sebagaimana dalam kitab al-Fawakih: 3/282 dan kitab-kitab yang lain.
4. Ulama Hanabilah juga mensunnahkan hal yang sama. Penjelasan mengenai hal itu dapat kita temui dalam al-Syarh al-Kabir li Ibni Qudamah: 2/305, Syarh Muntaha al-Iradat: 2/373, Kasf al-Qina':4/277-278) dan kitab-kitab Madzhab Hanbali yang lain.
Para ulama Madzhab Empat yang mensunnahkan pembacaan Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian semuanya bersandar pada hadits Ma'qil bin Yasar "Iqra'u 'ala mautakum yaasin." Jika ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Yasin semuanya adalah palsu, maka secara tidak langsung mereka telah menuduh para imam dari Madzhab Empat mengamalkan hadits yang palsu. Na'udzu billah, Subhanaka hadza buhtanun 'adhim.
Wasiat Para Ulama Untuk Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Menghadapi Kematian.
1. Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah menjelang wafatnya, beliau mengumpulkan keluarganya, mengahdap qiblat dan berwasiat kepada mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT kemudian memerintahkan mereka untuk membaca surat yasin. (Dzail Thabaqat al-Hanabilah: 1/203)
2. Sufyan al-Tsauri, beliau menjelang wafatnya memerintahkan Abdurrahman untuk membacakan yasin. Beliau berkata kepada Abdurrahman: "Bacakanlah aku Yasin, sesungguhnya dikatakan bahwa yasin itu meringankan orang yang sakit." Kemudian Abdurrahaman membacakannya dan beliau meninggal dunia sebelum Abdurrahman selesai membaca yasin. (Siyar A'lam al-Nubala': 7/278)
Dan masih banyak lagi bukti-bukti yang lain tentang anjuran membaca surat Yasin di sisi orang yang sedang mengahadapi kematian yang tidak kami tuliskan di sini. Cukuplah bagi kita atas statemen al-Imam al-Manawi dalam Faidl al-Qadirnya yang berkata: "Sungguh telah berturut-turut (tawatur) atsar yang menerangkan tentang melimpahnya keutamaan-keutamaan yasin."
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
Kesunahan membaca yasin di sisi orang yang menghadapi kematian berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ma'qil bin Yasar yang berbunyi: "Bacakanlah Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi:
سنن ابن ماجه - (ج 4 / ص 380)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْرَءُوهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ يَعْنِي يس.
Untuk mengetahui kualitas hadits ini, maka kita harus mengetahui biografi para rawi hadits di atas, apakah tsiqat atau tidak. Para rawi-rawi tersebut adalah:
1. Abu Bakar bin Abi Syaibah.
Nama beliau adalah Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman bin Khawasati al-Abbasi. Beliau wafat pada tahun 235 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau termasuk rawi yang tsiqatun hafidzun. (Tahdzib al-Tahdzib: 6/4). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk al-Hafidz.
2. Ali bin al-Hasan bin Syaqiq
Nama beliau adalah Ali bin al-Hasan bin Syaqiq bin Dinar al-Abdiy Abu Abdirrahman al-Maruzi, beliau wafat pada tahun 215 H, menurut pendapat lain beliau wafat sebelum tahun 215 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, beliau termasuk perawi yang tsiqatun hafidzun (Tahdzib al-Tahdzib: 7/299). Sedangkan menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk rawi yang tsiqat.
3. Ibnu al-Mubarak
Nama beliau adalah Abdullah bin al-Mubarak bin Wadlih al-Handholi al-Taimi. Beliau lahir pada tahun 118 H dan wafat pada tahun 181 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat, tsabat, faqih, alim, jawwad dan mujahid (Tahdzib al-Tahdzib: 5/386). Sedangkan al-Dzahabi mengatakan bahwa beliua adalah Syeikh Khurasan.
4. Sulaiman al-Taymi
Nama beliau adalah Sulaiman bin Tharkhan al-Taymi. Beliau lahir pada tahun 46 H dan wafat pada tahun 143 H. Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar beliau adalah rawi yang tsiqat (Tahdzib al-Tahdzib: 4/202). Menurut Imam al-Dzahabi beliau termasuk salah satu sadaat (pembesar).
5. Abu Utsman
Menurut satu pendapat nama beliau adalah Sa'ad. Menurut Ibnu al-Madini beliau adalah majhul (tidak diketahui identitasnya), sedangkan Ibnu Hibban menyebutkan bahwa beliau termasuk dalam kategori rawi-rawi yang tsiqat. (Tahdzib al-Tahdzib: 12/147), sehingga al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa beliau adalah rawi yang maqbul.
6. Ayah Abu Utsman
Biografi beliau tidak diketahui.
7. Ma'qil bin Yasar
Nama beliau adalah Ma'qil bin Yasar bin Abdullah al-Muzani. Beliau termasuk sahabat yang mengikuti baiat di bawah pohon (baiatur ridhwan). Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Dzahabi beliau termasuk dalam kategori shahabiy (Tahdzib al-Tahdzib: 10/235)
Setelah kita mengetahui biografi dari rawi-rawi di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada rawi-rawi tersebut ada satu rawi yang tidak diketahui biografinya yaitu ayah Abu Utsman. Sehingga hal itu menyebabkan hadits di atas sanadnya adalah dhoif yang disebabkab karena jahalat al-rawi (biografi rawi yang tidak diketahui).
Dalam ilmu hadits, hadits-hadits yang maqbul (bisa dijadikan sebagai hujjah) ada empat, yaitu hadits shohih lidzatihi, shohih lighairihi, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Nah, hadits di atas apabila dikatakan sebagai hadits yang sanadnya dloif, maka minimal hadits di atas termasuk dalam kategori hadits hasan lighairihi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Karena selain diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya: 19416 dan 19427, Imam al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra: 10913, al-Hakim dalam al-Mustadraknya: 2028, al-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir: 16904 dan 16931, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman: 2356, 2357, 8929 dan 8930, Ibnu Hibban dalam Shohihnya: 3064, al-Thayalisi dalam Musnadnya: 962 dan Abu Dawud dalam Sunannya: 2714. Selain itu, hadits di atas juga dishohihkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shohihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadraknya.
Imam al-Sakhawi dalam Fath al-Mughitsnya berkata: “Sesungguhnya hasan lighairihi disamakan dengan hadits yang bisa dijadikan sebagi hujjah, akan tetapi hal itu berlaku pada hadits yang jalurnya banyak. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam sebagian hadits: “Hadits-hadits ini walaupun sanad-sanadnya dloif, maka berkumpulnya sanad-sanad tersebut sebagian menguatkan sebagian yang lain dan jadilah hadits tersebut sebagai hadits hasan yang bisa dijadikan sebagi hujjah.” Imam Nawawi juga berkata: ”Hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) maka derajatnya naik dari dloif menjadi hasan. Maka jadilah hadits tersebut sebagai hadits yang maqbul (diterima) dan diamalkan.” Hal itu juga telah disampaikan lebih dahulu oleh Imam al-Baihaqi, beliau menguatkan hadits-hadits dloif karena berasal dari jalur yang banyak. (Qawaid al-Tahdits: 1/66)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para Ulama sebelum Imam Tirmidzi hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, yaitu shohih dan dhoif. Sedangkan dloif menurut mereka terbagi menjadi dua, dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan dan ini menyerupai hasan menurut istilah Imam Tirmidzi dan dloif yang wajib untuk ditinggalkan yaitu al-wahi (hadits yang lemah).( Majmu' Fatawa:18/25, Qawaid al-Tahdits: 1/56)
Sedangkan definisi hadits hasan lighairihi sendiri adalah hadits dloif ketika jalurnya terbilang (banyak) dan sebab kedloifannya bukan karena fasiknya rawi atau dustanya rawi. Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dloif derajatnya bisa naik menjadi hasan karena dua hal: 1) diriwayatkan dari jalur lain satu atau lebih, baik jalur yang lain itu sama kualitasnya atau lebih kuat. 2) kedloifan hadits disebabkan adakalanya karena buruknya hafalan rawi, terputus dari sanadnya atau biografi rawi yang tidak diketahui. (Taysir Musthalah al-Hadits: 43).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Saya telah menemukan syahid (penguat eksternal) bagi hadits Ma'qil (yakni hadits: "Bacakanlah Yasin kpd orang yg akan mati di antara kamu.") dari Shafwan bin Umar, dari Masyyakhah (orang-orang sepuh), mereka menjenguk Ghudlaif bin al-Harits ketika dalam keadaan yang sangat parah. Ghudlaif berkata: "Adakah diantara kalian semua seseorang yang membaca surat yasin?" maka kemudian Sholih bin Syuraih al-Sakuni membacanya, ketika sampai empat puluh ayat dari surat yasin Ghudlaif meninggal. Kemudian orang-orang sepuh berkata: "Apabila surat yasin dibacakan disisi mayit maka diringankanlah ia karena surat yasin itu." Shafwan berkata: "Isa bin Mu'tamar membacakannya di sisi Ibnu Ma'bad." Al-Hafidz berkata: "Hadits ini adalah mauquf yang sanadnya hasan. Ghudlaif termasuk dalam kelompok shahabiy menurut jumhur." (al-Futuhat al-Rabbaniyyah ala Adzkar al-Nawawiyah:4/85. Kisah tersebut juga dituturkan Imam Ahmad dalam Musnadnya: 34/324 ).
Pendapat Para Imam Dari Madzhab Empat Tentang Kesunahan Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Mengalami Sakaratul Maut.
1. Ulama Syafi'iyyah mensunnahkan untuk membaca yasin disisi orang yang sedang menghadapi kematian. Ungkapan kesunahan tersebut Insya Allah terdapat pada semua kitab fiqh Madzhab Syafi'i, dan terlalu banyak jika harus kita tuliskan disini. Cukuplah kita katakan "Hal yukhfa ala al-nasi al-qamar?"
2. Ulama Hanafiyah juga mensunnahkan hal itu. Keterangan itu bisa dilihat dalam Hasyiyah Rad al-Mukhtar: 2/207 dan kitab-kitab Madzhab Hanafi yang lain.
3. Ulama Malikiyah juga menganjurkan hal itu sebagaimana dalam kitab al-Fawakih: 3/282 dan kitab-kitab yang lain.
4. Ulama Hanabilah juga mensunnahkan hal yang sama. Penjelasan mengenai hal itu dapat kita temui dalam al-Syarh al-Kabir li Ibni Qudamah: 2/305, Syarh Muntaha al-Iradat: 2/373, Kasf al-Qina':4/277-278) dan kitab-kitab Madzhab Hanbali yang lain.
Para ulama Madzhab Empat yang mensunnahkan pembacaan Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian semuanya bersandar pada hadits Ma'qil bin Yasar "Iqra'u 'ala mautakum yaasin." Jika ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa hadits-hadits tentang Yasin semuanya adalah palsu, maka secara tidak langsung mereka telah menuduh para imam dari Madzhab Empat mengamalkan hadits yang palsu. Na'udzu billah, Subhanaka hadza buhtanun 'adhim.
Wasiat Para Ulama Untuk Membaca Yasin Di Sisi Orang Yang Sedang Menghadapi Kematian.
1. Imam Muhammad bin Ahmad bin Qudamah menjelang wafatnya, beliau mengumpulkan keluarganya, mengahdap qiblat dan berwasiat kepada mereka agar bertaqwa kepada Allah SWT kemudian memerintahkan mereka untuk membaca surat yasin. (Dzail Thabaqat al-Hanabilah: 1/203)
2. Sufyan al-Tsauri, beliau menjelang wafatnya memerintahkan Abdurrahman untuk membacakan yasin. Beliau berkata kepada Abdurrahman: "Bacakanlah aku Yasin, sesungguhnya dikatakan bahwa yasin itu meringankan orang yang sakit." Kemudian Abdurrahaman membacakannya dan beliau meninggal dunia sebelum Abdurrahman selesai membaca yasin. (Siyar A'lam al-Nubala': 7/278)
Dan masih banyak lagi bukti-bukti yang lain tentang anjuran membaca surat Yasin di sisi orang yang sedang mengahadapi kematian yang tidak kami tuliskan di sini. Cukuplah bagi kita atas statemen al-Imam al-Manawi dalam Faidl al-Qadirnya yang berkata: "Sungguh telah berturut-turut (tawatur) atsar yang menerangkan tentang melimpahnya keutamaan-keutamaan yasin."
Wallahu A'lam bi al-Shawab.
aloow
BalasHapusAssalamu'alaikum wr.wb.
BalasHapuszaman sekarang membaca Alquran menjadi hal yang kurang didalami oleh sebagian masyarakat. Dalam hal ini Surat Yasin merupakan Surat yang memberikan semangat baru untuk berhenti sejenak, berfikir dan mendalami dengan tujuan yang bersih.
keterangan Hadis diatas Aq sangat se7 dan bisa dijadikan pijakan dan menganjurkannya kepada masyarakat.. tentang hikmah dan manfaatnya dapat kita rasakan bila qta termasuk orang-orang yang mendpatkan hidayah untuk sllu bermunajat diri kepadaNya.
Assalamu'alaikum wr wb...
BalasHapusDari Penjelasan diatas disunahkan membaca yasin pada orang yang sakit lho.. bukan yang sudah mati atau meninggal dunia...
Kenyataaan di masyarakat ini membaca yasin untuk yang ninggal untuk kirim pahala gitu itu yang belum ketemu hadisnya.. kalau ada tunjukan ya...
wassalam.