Minggu, 28 Desember 2008

Refleksi


Oleh: Abu Sa'dy Jr.
(TAFAKUR TAHUN BARU 1430 H)

Hari demi hari telah berlalu, demikian pula minggu dan bulan, kalender 1429 H tinggal satu lembar setelah dengan setia kita menyobeknya sejak lembar pertama 360 hari yang lalu. Kalender baru 1430 H giliran berikutnya. 

Andai kita berfikir naif -tak mau menggunakan kelebihan yang diberikan Al Kholiq kepada manusia : akal, barangkali tak ada bedanya kita hidup di tahun berapa. Tahun 1427 kek, 1428 kek, atau tahun 2500 sekalipun. Tak ada bedanya hidup pada hari Senin, Selasa, Sabtu atau minggu. Semua sama saja. Hari kemarin dimulai dengan pagi, lalu siang, sore, malam, selesai. Hari ini, esok, lusa, juga begitu. Hidup ini monoton.

Tapi tidak demikian bagi orang yang ma(mp)u bertafakur. Ia tak akan melewatkan waktunya begitu saja, sebab tak pernah ada waktu yang terulang dua kali dalam hidup ini. Nama jam, hari, bulan, boleh sama, tapi pada hakekatnya semua berbeda. Hari ini adalah hari ini, tak akan terulang kembali sampai kapanpun. Jam, menit bahkan detik ini tak akan pernah terulang untuk yang kedua kalinya. Orang bijak berujar : ” seperti halnya setiap butir mutiara itu berharga, demikian pula setiap detik dari waktu kita ”. Itulah sebabnya barangkali, karena demikian pentingnya waktu sampai-sampai Allah SWT banyak menggunakannya sebagai alat qosam (sumpah) dalam beberapa firmannya. Allah SWT berfirman : ” Demi masa. Sesungguhnya semua manusia itu dalam keadaan merugi ”. (QS:105:1 – 2).

Adalah moment yang tepat kalau pada saat injury time ( meminjam istilah sepak bola ) tahun 1429 H ini kita refleksikan kembali apa yang telah kita perbuat sepanjang tahun. Kita mengintrospeksi diri sebelum diektrospeksi Allah SWT nanti : ” Bacalah lembaran kitabmu, cukuplah engkau sendiri hari ini yang melakukan perhitungan atas dirimu ” (Q.S:17: 14). Adakah amal soleh kita lebih banyak dari pada amal salah atau sebaliknya?. Introspeksi disaat injury time ini (disamping membaca do’a akhir tahun tentunya ) perlu kita lakukan agar kita tidak termasuk ke dalam kategori ” orang yang merugi ”.

Konsekwensi logis dari introspeksi tadi minimal kita ” tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama untuk yang kedua kali ” (Al Hadits), dan kita akan selalu berusaha untuk maju satu langkah ke depan, tidak merasa cukup dengan hanya jalan di tempat, dalam hal apapun.

Today must be better than yesterday, and tomorow must be better than today !.

Well come 1430 Hijriyah !!!.


Sabtu, 27 Desember 2008

Ijma' Para Ulama Tentang Legalitas Beramal Dengan Hadits Dloif

Oleh: Penghuni Blog

Para ulama ahli hadits dan ulama yang lain telah sepakat bahwa hadits dloif dapat diamalkan dalam fadlail al-a'mal. Para ulama yang mengatakan demikian diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, al-Anbari dan yang lainnya. Mereka mengatakan: "Apabila kami meriwayatkan hadits yang berhubungan dengan halal dan haram, maka kami menekankannya dan ketika kami meriwayatkan dalam hal fadlailul a'mal maka kami memudahkannya." Dalam fatwanya, al-Allamah al-Ramli mengatakan bahwa Imam Nawawi dalam berbagai karyanya telah menguraikan secara khusus tentang kesepakatan (ijma') para ulama atas kebolehan untuk beramal dengan hadits dloif dalam fadloilul a'mal dan yang semisalnya.[Lihat keterangan Imam Nawawi tentang legalitas beramal dengan hadits dloif dalam kitabnya al-Majmu' dan al-Adzkar].

Adapun ungkapan al-Hafidz Ibnu al-Arabi al-Maliki yang mengatkan bahwasanya tidak boleh beramal dengan hadits dloif secara mutlak, maksudnya adalah hadits dloif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan I'tibar. Kesepakatan atas kebolehan beramal dengan hadits dloif telah diungkapkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib, al-Hafidz al-Iraqi dalam Syarah ala Alfiyah, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Syarah al-Nukhbah, Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam Syarah Alfiyah al-Iraqi, al-Hafidz al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fathul Mubin, al-Allamah al-Kunawi dalam risalahnya al-Ajwibah al-Fadlilah dan para pakar hadits yang lainnya. [Untuk menambah wawasan, silahkan baca kitab al-Manhal al-Lathif karya Syeikh Alwi bin Abbas al-Maliki].

Berikut adalah fatwa Komisi Tetap Ulama Saudi Arabia yang diketuai oleh Syekh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz tentang legalitas beramal dengan hadits dloif:

Soal ke-4 dari fatwa no.5158: Bolehkah beramal dengan hadits dloif?

Jawab: Boleh beramal dengan hadits dloif selama tidak terlalu dloif dan terdapat syawahid (penguat eksternal) yang menambal kedloifan hadits tersebut atau disertai kaedah syar'iyyah yang menguatkannya dan tidak bertentangan dengan hadits shohih. Hadits yang demikian ini termasuk dalam kategori hasan lighairihi dan hadits ini sebagai hujjah menurut para ahli ilmi.

Soal ke-3 dari fatwa no.9105: Apakah benar bahwa hadits dloif tidak diambil kecuali dalam fadlailul a'mal, adapun masalah hukum tidak diambil darinya?

Jawab: Pertama, Hadits dloif diambil dalam fadlailul a'mal ketika tidak terlalu dloif. Kedua, Hadits dloif diamalkan dalam menetapkan suatu hukum ketika hadits tersebut dikuatkan dengan hadits lain yang semakna atau jalurnya banyak, sehingga menjadi masyhur, karena hadits tersebut termasuk dalam kategori hasan lighairihi yang merupakan bagian ke-4 dari hadit-hadits yang digunakan sebagai hujjah.  

Maka jelaslah bahwasanya beramal dengan hadits dloif dalam fadloil al-a'mal merupakan sesuatu yang mujma' 'alaih (disepakati) oleh kaum muslimin. Dan barang siapa mengingkari kesepakatan ini maka dia telah keluar dari mayoritas umat Islam yang dijamin oleh Rasulullah SAW tidak akan tersesat selamanya. Beliau bersabda: "Allah tidak akan menjadikan umat ini untuk sepakat dalam kesesatan selamanya, ikutlah kalian semua pada kelompok mayoritas. Maka barang siapa yang keluar dan memisahkan diri dari kelompok mayoritas tersebut, maka menyimpanglah sendiri kedalam neraka." [al-Mustadrak ala al-Shahihain: 1/382]. Allahumma wal 'Iyadzu Billah…

Jumat, 26 Desember 2008

DEFINISI DAN KALSIFIKASI HADITS SHOHIH, HASAN DAN DHO'IF

 Oleh: M. Khudhori al-Tsubuty

A.    Al- Hadits al-Shohih

1.  Definisi

Kata shohih secara etomologi mengikuti wazan fa'iilun yang terbentuk dari mashdar shihah yang mempunyai arti sehat (tidak sakit). Pemakaian kata shohih yang digunakan pada hadits hanyalah sebuah majaz.[1] Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama. Menurut Imam Ibnu al-Sholah t, hadits shohih adalah:

الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً.

"Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan maupun cacat."[2]

Menurut Imam al-Nawawi t, yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:

وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة.

"Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat."[3]

Sebenarnya masih banyak definisi-definisi yang diungkapkan oleh para muhadditstsin, akan tetapi tidak kami paparkan semuanya dalam makalah yang singkat ini. Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur:

a.       Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan itu. Dengan cara setiap rawinya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai dari awal sanad hingga akhirnya. Dari definisi di atas maka terdapat hadits yang tidak muttasil (bersambung) yaitu; mursal, munqati', mu'dhal dan mu'allaq.

b.      Keadilan rawi, keadilan adalah sifat yang mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Dan yang dimaksud dengan hal itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.

c.       Ketelitian sempurna dari rawinya, yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat yang tinggi. Ketelitian ada dua macam. Pertama, ketelitian hafalan, yaitu apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya, sehingga ia bisa mengingatnya kapan saja bila ia mau. Kedua, ketelitian tulisan, yaitu apabila riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.

d.      Tidak ada penyimpangan (tidak syadz), artinya hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz (menyimpang). Syadz adalah bertentangannya seorang rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.

e.       Tidak ada cacat, yakni tidak terdapat cacat pada hadits itu. Cacat ialah sifat tersembunyi yang menimbulkan kendala bagi penerimanya, sedangkan lahirnya adalah bersih darinya.[4]

 

2.    Contoh Hadits Shohih

صحيح البخاري - (ج 1 / ص 3)

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ.

Hadist di atas diriwayatkan oleh Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhori t dalam kitabnya al-Jami' al-Shahih al-Musnad min Hadits Rasulillah e wa Sunanihi wa Ayyamihi. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits yang shohih karena:

1.      Sanadnya bersambung, karena setiap rawi yang meriwayatkan hadits di atas memperoleh dari gurunya.

2.      Para rawi hadits di atas adalah rawi-rawi yang adil dan dlabith. Berikut adalah biografi mereka:

a)  Al-Humaidi Abdullah bin Zubair t.

Nama beliau adalah al-Humaidi Abdulllah bin Zubair bin Isa al-Azdi Abu Bakar al-Makki. Imam Ahmad berkata: "al-Humaidi di sisi kami adalah seorang imam." Imam Abu Hatim berkata: "Beliau adalah kepala para sahabat Ibnu Uyainah. Beliau adalah seorang yang tsiqat dan seorang imam (tsiqatun imamun)." Abu Sa'ad berkata: "Beliau adalah seorang yang tsiqat dan banyak meriwayatkan hadits. Beliau wafat di Makkah pada tahun 219 H."[5]  

b) Sufyan t.

Beliau adalah Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran al-Hilali Abu Muhammad al-Makki. Ayah beliau berasal dari Kufah dan beliau juga dilahirkan di sana pada tahun 107 H dan wafat pada permulaan bulan Rajab, tahun 198 H di Makkah.[6] Beliau adalah orang yang tsiqat, hafidz, faqih, imam dan hujjah, hanya saja hafalannya berubah pada akhir masanya. Ketika beliau menyembunyikan rawi, maka rawi yang disembunyikan itu adalah rawi yang tsiqat.[7] Imam Syafi'i t berkata: "Seandainya tidak ada Malik dan Ibnu Uyainah, niscaya hilanglah ilmu di tanah Hijaz."[8]

c)  Yahya bin Sa'id al-Anshari t.

Beliau adalah al-Imam Abu Sa'id Yahya bin Sa'id bin Qais bin Umar bin Sahl bin Tsa'labah bin al-Harits bin Zaid bin Tsa'labah bin Ghonam bin Malik bin al-Najjar al-Anshari al-Najjari al-Madani al-Tabi'i al-Qadli. Para Ulama telah sepakat atas ketsiqahan, keagungan dan keimamannya. Ibnu al-Mubarak t berkata: "Beliau termasuk huffadh al-nas." Muhammad bin Sa'ad berkata: "Yahya al-Anshari adalah tsiqat, tsabat, banyak hadis dan hujjah." Ahmad bin Abdullah berkata: "Beliau adalah orang yang tsiqah dan seorang laki-laki yang sholih." Ibnu Sa'ad mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 143 H. Sedangkan yang lainnya mengatakan pada tahun 144 H. Menurut satu pendapat beliau wafat pada tahun 146 H.[9]

d) Muhammad bin Ibrahim al-Taimi t.

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits bin Kholid al-Taimi, beliau mendengar hadis dari Alqamah bin Waqash.[10] Beliau termasuk dari kalangan Tabi'in.[11]

Tabi'in termasuk dari golongan yang telah dinyatakan kebaikannya oleh al-Qur'an, sebagaimana firman Allah I:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [التوبة/100]

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." Selain dinyatkan oleh al-Qur'an, kebaikan tabi'in juga dinyatakan oleh Rasulullah sendiri. Beliau bersabda: "Sebaik-baiknya manusia adalah masaku, lalu berikutnya dan berikutnya." [H.R. Muslim, no. 4601] dan juga sabda Nabi e: "Beruntunglah bagi orang-orang yang melihatku, beruntunglah bagi orang yang melihat orang-orang yang melihatku dan beruntunglah bagi orang-orang yang melihat orang-orang yang melihatku." [H.R. al-Hakim dalam al-Mustadrak ala al-Shahihain, no. 7095]   

e)  Alqamah bin Waqqash al-Laitsi t.

Beliau dilahirkan pada masa Rasulullah e, sebagaimana yang dituturkan oleh al-Waqidi dan meninggal pada zaman pemerintahan Abdul Mulk di Madinah.[12] Beliau termasuk dari kalangan tabi'in yang paling mulia.[13] Menurut Ibnu Mundah, beliau termasuk dalam kalangan Sahabat.[14] Beliau adalah orang yang tsiqah dan terhormat. Beliau menerima hadits dari Umar, A'isyah dan Ibnu Abbas y.[15]

f)  Umar bin al-Khaththab t.

Nama lengkap beliau adalah Umar bin al-Khaththab bin Nufail al-Qurasiy al- Aduwwy bin Abdil Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qartin Razzah bin 'Addi bin Ka'ab bin Luai bin Gholib al-Qurasiy beliau mempunyai kuniyah Abu Hafs dan bergelar Amiril Mu'minin.[16]

Para sahabat Nabi, baik yang besar maupun kecil yang terlibat peperangan antara Ali dan Mu'awiyyah atau yang tidak terlibat, semuanya adalah adil menurut kesepakatan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Hal itu karena prasangka baik kepada mereka dan kemudahan (kesungguhan) mereka dalam menjalankan perintah Nabi e setelah beliau wafat.[17] Menurut Imam Haramaian keadilan para sahabat itu tidak perlu diuji lagi. Hal itu karena mereka adalah pengemban syariat, dan seandainya kedilan mereka masih dipertanyakan, maka syariat akan terbatas pada masa Rasulullah e saja. Dari sini Imam Suyuthi t menegaskan bahwa keadilan mereka itu didasarkan kepada prasangka baik kepada mereka. Dan mereka yang terlibat konflik semata-mata karena ijtihad mereka yang mendapatkan pahala.[18] Selain itu mereka hidup pada masa yang terbaik. Sebagaimana sabda Rasulullah e: "Sebaik-baiknya manusia adalah masaku, lalu berikutnya dan berikutnya." [H.R. Muslim, no. 4601].

3.      Para rawinya mempunyai ketelitian yang sempurna. Yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat yang tinggi.

4.      Hadits tersebut tidak syadz (tidak ada peyimpangan), karena tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat.

5.      Tidak terdapat illat (cacat) dalam hadits tersebut.

Jika sebuah hadits telah memenuhi lima persyaratan di atas, maka hadits itu bisa dikatakan sebagai hadits shohih lidzatihi.

 

3.    Klasifikasi Hadits Shohih

Hadits shohih dibagi menjadi dua:

a.       Hadits Shohih Lidztihi, yaitu hadits-hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.

b.      Hadits Shohih Lighairihi.

 

 

*      Definisi

Kedlabitan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih lidzatihi turun nilainya menjadi hadits hasan lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang kedlabitannya itu dapat ditutupi, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dlobith, maka naiklah hadits hasan lidztihi ini menjadi hadits shahih lighairihi. Dengan demikian hadits shohih lighairih dapat didefinisikan sebagai:

مَا كَانَ رُوَاتُهُ مُتَأَخِّراً عَنْ دَرَجَةِ الْحَافِظِ الضَّابِطِ، مَعَ كَوْنِهِ مَشْهُوْراً بِالصِّدْقِ حَتَّي يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ حَسَنًا ثُمَّ وُجِدَ فِيْهِ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍمُسَاوٍ لِطَرِيْقِهِ أَوْ اَرْجَحُ مَا يَجْبُرُ ذَلِكَ الْقُصُوْرَ الْوَاقِعَ فِيْهِ.

"Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith, tetapi mereka masih terkenal dengan orang yang jujur sehingga hadisnya adalah hasan. Kemudian terdapat hadits dari jalur lain yang rawinya sama atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan pada hadits itu."[19]

Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, hadits shohih lighairihi dapat didefinisikan sebagai hadits hasan lidztihi ketika diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau lebih kuat. Hadits ini dinamakan sebagai shohih lighairihi, karena keshohihan hadits tersebut tidak datang dari esensi sanad, akan tetapi karena berkumpulnya beberapa sanad. Kedudukan hadits shohih lighairih berada di atas hadits hasan lidzatihi dan di bawah hadits shohih lidzatihi.[20]

 

*      Contoh Hadits Shohih Lighairih

سنن الترمذى - (ج 1 / ص 41)

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.

Imam Ibnu Shalah mengatkan bahwa Muhammad bin Umar bin Alqamah terkenal dengan kejujurannya, akan tetapi tidak termasuk dalam kategori rawi yang ahli al-itqan (tingkat kedlobitannya tinggi), sehingga sebagian ulama mendloifkannya dilihay dari segi keburukan hafalannya dan sebagian yang lain mentsiqahkannnya karena memandang kejujuran dan keagungannya. Maka hadits tersebut dengan sanad semacam ini dikatakan sebagai hadits hasan. Kemudian apabila hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain yang nilai sanadnya sama atau lebih tinggi, maka kekurangan yang terdapat pada sanad pertama (buruknya hafalan) dapat dipenuhi dari jalur lain. Sehingga sanad hadits tersebut menjadi shohih dan hadits tersebut disebut dengan hadits shohih lighairihi.[21] Karena selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Muhammad bin Umar bin Alqamah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Zinnad, dari al-A'raj, dari Abu Hurairah.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 405)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ.

صحيح مسلم - (ج 2 / ص 59)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.

    

B.     Hadits Hasan

Sudah menjadi ketentuan bahwa sebagian hadits terpenuhi syarat-syarat diterimanya suatu hadits secara sempurna dan sebagian yang lain tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut, baik sebagian atau keseluruhan. Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat diterima dinamakan sebagi hadits shohih, sedangkan hadits yang tidak memenuhi dakatakan sebagai hadits dloif.

Ulama yang pertama kali membagi hadits menjadi shohih, hasan dan dloif adalah al-Imam Abu Isa al-Tirmidzi t. Beliau banyak menyebutkan hadits hasan dalam kitab sunannya, sehingga para ahli hadits menganggap kitab beliau sebagai Kitab Al-Sunan Al-Asli Fi Ma'rifat Al-Hasan (kitab sunan yang murni mengetahui hadits hasan).[22]

Para ulama sebelum Imam Tirmidzi membagi hadits hanya menjadi dua macam, yaitu  shohih dan dloif. Menurut mereka hadits dloif dibagi menjadi dua; dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan (menyerupai hadits hasan menurut istilah Imam Tirmidzi) dan dloif yang wajib untuk ditinggalkan, yaitu hadits yang lemah.[23]

 

 

 

 

1.      Definisi

Secara etimologi, hasan merupakan sifat musytabihat dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal (bagus/elok/cantik)[24] atau dapat diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh hati.[25]

Mengenai definisi hadits hasan secara terminologi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena posisi hadits hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam al-Khuthobi mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya dan terkenal para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan adalah setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan maknanya.[26] Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا شَاذٍّ.  

"Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya."

2.     Klasifikasi Hadits Hasan

Hadits hasan terbagi menjadi dua:

a.      Hasan Lidzatihi

Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan dinukil dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya.[27] Dari keterangan di atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan oleh para muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi. Kesimpulannya ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang dimaksud adalah hasan lidzatihi.

Syarat-syarat hadits hasan:

1)      Sanadnya bersambung

2)      Para rawinya adil

3)      Para rawinya dlabith. Maksudnya derajat kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih

4)      Tidak terdapat syudzudz (kejanggalan dalam matan)

5)      Tidak terdapat illat (cacat dalam matan).

Contoh Hadits Hasan:

تحفة الأحوذي - (ج 4 / ص 335)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ....

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits hasan karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat, kecuali Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih tentang ketsiqahan dan kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i[28]. Oleh karena itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.

b.      Hasan Lighairihi

Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi dengan dua hal:

1)      Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.

2)      Kedloifan hadits tersebut adakalanya disebabkan karena; buruknya hafalan rawi, terputusnya sanad atau rawinya tidak diketahui biografinya.

Contoh hadits hasan lighairihi:

تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ.

"Merupakan suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian."

Hadis ini dikatakan sebagi hadits dloif, karena pada rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yang didloifkan oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan lighairihi karena selain dari jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga terdapat jalur lain yang berasal dari Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada tentang kesunahan memakai wangi-wangian juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.

Berikut adalah hadits-hadits pendukung terahadap hadits Ismail bin Ibrahim al-Taimi.  

تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَشَيْخٍ مِنْ الْأَنْصَارِ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ الْبَرَاءِ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَرِوَايَةُ هُشَيْمٍ أَحْسَنُ مِنْ رِوَايَةِ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.

مسند أحمد - (ج 37 / ص 444)

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْحَقِّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلَ أَحَدُهُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَنْ يَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ طِيبٌ فَإِنَّ الْمَاءَ أَطْيَبُ.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 394)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكرِ بْنِ الْمُنكَدِرِ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ قَالَ

أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ

 صحيح مسلم - (ج 4 / ص 313)

و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادٍ الْعَامِرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.

سنن أبى داود - (ج 1 / ص 420)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَالسِّوَاكُ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ

إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.

Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Abu Yahya Isma'il bin Ibrahim yang dloif itu naik derjatnya menjadi hasan lighairihi. Karena kadloifannya telah diangkat oleh muttabi', yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sendiri dan Imam Ahmad dan diangkat pula oleh syahid, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Abu Dawud.

 

C.    Hadits Dloif

1.    Definisi

Secara lughot berasal dari masdar al-Dla'fi atau al-Dlu'fi yang mempunyai arti kebalikan dari kuat.[29] Sedangkan secara istilah, hadits dloif adalah hadits yang didalamnya tidak terpenuhi sifat-sifat hasan, karena tidak terdapat satu atau beberapa syarat hasan.[30] Dalam nadhamnya, Imam al-Baiquni mendefinisikannya sebagai:

وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ # فَهُوَ الضَّعِيْفُ وَهُوَ اَقْسَامٌ كَثُرْ

"setiap hadits yang kurang dari derajat hasan, maka hadits itu adalah hdits dhoif dan macamnya banyak."

 

2.    Contoh Hadits Dloif

سنن الترمذى - (ج 1 / ص 229)

حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَبَهْزُ بْنُ أَسَدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَادُ بْنُ سَلَمَةِ عَنْ حَكِيمٍ الْأَثْرَمِ عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ الهُجَيْمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Setelah mentakhrij hadits ini Imam Tirmidzi mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui hadits ini kecuali dari jalur Hakim al-Atsram, dari Abi Tamimah al-Hujaimi lalu dari Abi Hurairah. Imam Bukhari telah mendloifkan hadits ini dari segi sanadnya, karena didalamnya terdapat Hakim al-Atsram yang didloifkan oleh para ulama. Sebagimana komentar al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib.[31]

 

D.    Macam-Macam Hadits Dho'if Karena Gugurnya Rawi (Tidak Ada Persambungan Sanad)

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi dari sanad adalah terputusnya silsilah sanad dengan gugurnya satu rawi atau lebih, baik disengaja atau tidak dari sebagian rawi. Gugurnya rawi dibedakan menjadi dua:

1.      Gugur secara dhohir.

Gugurnya rawi semacam ini dapat diketahui oleh para imam ahli hadits dan orang-orang yang menyibukkan diri dengan ulum al-hadits. Hal itu dapat diketahui dari tidak bertemunya rawi dengan gurunya, baik karena masanya berbeda atau semasa, akan tetapi rawi tidak berkumpul dengan gurunya (rawi tidak mendapatkan ijazah maupun wijadah dari gurunya). Para ulama memberi istilah tertentu terhadap hadits-hadits yang rawinya gugur secara dhohir dengan empat nama berdasarkan tempat dan jumlah rawi yang gugur:

a)      Al-Mu'allaq, yaitu hadits-hadits yang rawinya gugur seorang atau lebih dari awal sanad.

b)      Al-Mursal, yaitu hadits-hadits yang rawinya gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.

c)      Al-Mu'dlal, yaitu hadits-hadits gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.

d)     Al-munqati', yaitu hadits-hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.

2.      Gugur secara khofi (samar)

Gugurnya rawi semacam ini hanya bisa diketahui oleh para imam yang menelaah jalur-jalur hadits dan illat-illatnya. Ada dua macam, yaitu:

a)      Al-Mudallis, yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[32]

b)      Al-Mursal al-Khofi, yaitu hadits yang diriwayatkan dari orang yang semasa dengan cara tidak mendengar darinya dengan ungkapan yang memungkinkan antara sima' dan lainnya seperti lafadz qaala.[33]

 

E.     Macam-Macam Hadits Dho'if Karena Sebab Diluar Sanad (Berdasarkan Sifat Matannya)

Terbagi menjadi dua:

1.      Hadits Mauquf

Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus. Contoh:

صحيح البخاري - (ج 20 / ص 39)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو المُنْذِرِ الطُّفَاوِيُّ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ قَالَ حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.

Hadits diatas yang bergaris bawah adalah hadits mauquf, karena itu adalah perkataan Ibnu Umar sendiri, tidak ada petunjuk kalau itu adalah sabda Rasulullah e.

2.      Hadits Maqthu'

Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak. Contohnya adalah perkataan Haram bin Jubair yang merupakan salah seorang senior dikalangan tabi'iy:

 المؤمن اذا عرف ربه عز وجل احبه, واذا احبه اقبل اليه.

"Orang mukmin itu apabila telah mengenal Tuhannya Y, niscaya ia mencintai-Nya, dan apabila ia mencintai-Nya, niscaya Allah menerimanya."[34]

 

 

KESIMPULAN

 

*      Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat.

*      Hadits shohih lighairihi adalah hadits hasan lidztihi ketika diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau lebih kuat.

*      Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya.

*      Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi.

*      Hadits dloif adalah hadits yang didalamnya tidak terpenuhi sifat-sifat hasan, karena tidak terdapat satu atau beberapa syarat hasan.

 

DAFTAR PUSTAKA

al-Asqalani,Ibnu Hajar. Lisan al-Mizan. Juz 3.

-------------Taqrib al-Tahdzib, Juz 1.

------------ Fath al-Bari, Juz 1.

------------al-Ishabah fi Ma'rifat al-Shahabah, Juz 2.

------------Tahdzib al-Tahdzib. Juz 2.

al-Bukhari, Tarikh al-Kabir. Juz 1.

al-Bar,Ibnu Abd. al-Isti'ab fi Ma'rifat al-Ashhab. Juz 1.

al-Dhahabi. Tadzkirah al-Huffadz. Juz 1.

al-Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al-Hadits.Beirut: Dar al-Fikr. 2006.

al-Maliki, Muhammad bin Alwi. al-Manhal al-Lathif. Jeddah: Mathabi' Sahar.1982.

al-Nawawi, Muhyiddin bin Syaraf. Tahdzib al-Asma'. Juz 3.

al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tadrib al-Rawi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2002.

------------Thabaqat al-Huffadz, Juz 1.

al-Sholah, Ibnu. Muqaddimah Ibnu al-Sholah.

al-Taimiyah, Ibnu. Majmu' Fatawa. t.t., t.p. Juz 18.

al-Thohan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr.

Hibban,Ibnu. Masyahir Ulama' al-Amshar. Juz 1.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalah al-Hadits.Bandung: al-Maarif. t.t.

 

 

 

 



[1]  Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), 27.

[2] Ibnu al-Sholah, Muqaddimah Ibnu al-Sholah, 1.

[3] al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, 27.

[4] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, (Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982), 58-59. Mahmud al-Thohan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 30.

[5] Jalaluddin Abdurrahaman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Thabaqat al-Huffadz, Juz 1, 33.

[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisan al-Mizan, Juz 3, 207.

[7] Taqrib al-Tahdzib, Juz 1, 371.

[8] Thabaqat al-Huffadz, Juz 1, 21.

[9] Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Tahdzib al-Asma', Juz 3, 17.

[10] Al-Bukhari, Tarikh al-Kabir, Juz 1, 22.

[11]Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 1, 10.

[12] Ibnu Abd al-Bar, al-Isti'ab fi Ma'rifat al-Ashhab, Juz 1, 335.

[13] Ibnu Hibban, Masyahir Ulama' al-Amshar, Juz 1, 112.

[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 1, 10.

[15] Al-Dhahabi, Tadzkirah al-Huffadz, Juz 1, 53.

[16] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Ma'rifat al-Shahabah, Juz 2, 276.

[17] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, (Jeddah: Mathabi' Sahr), 180.

[18] Jalaluddin Abu Bakar bin Abdurrahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiah), 125.

[19] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: al-Maarif), 124.

[20] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 42.

[21] Ibid.

[22] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 218.

[23] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, t.t., t.p. Juz 18, 25.

[24] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 38.

[25] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 66.

[26] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, 38.

[27] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 66.

[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz 2, 81.

[29]Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 72.

[30]Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, 52.

[31] Ibid., 53.

[32]Fathurahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits,204-224.

[33] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, 71.

[34]Fathurahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits,227.