Selasa, 06 Januari 2009

Benarkah Muharram Bulan Keramat???


Muharram atau yang biasa disebut dengan nama "Suro" oleh kebanyakan masyarakat Indonesia dianggap sebagai bulan yang keramat, betulkah dalam Islam juga demikian?...

Muharram adalah bulan yang dimuliakan oleh Allah . Di dalam Islam terdapat dua belas bulan. Dari kedua belas bulan itu, empat diantaranya adalah bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah . Bulan-bulan dalam Islam dimulai dan diakhiri dengan bulan yang mulia. Muharram sebagai bulan pembuka mempunyai keagungan dan kemuliaan dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram disebabkan karena dua hal. Pertama, penyandaran nama Muharram kepada Allah , hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Rasululla , bahwa Muharram adalah Syahrullah (bulan Allah ). Penyadaran Muharram kepada Allah  menunjukkan bahwa ia mempunyai keutamaan dan kemuliaan, karena Allah  tidak akan menisbatkan Namanya kepada makhluk-Nya kecuali makhluk itu adalah hamba yang dicintai oleh Allah . Seperti halnya Allah  menisbatkan Nabi Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya'qub dan para nabi yang lain sebagai hamba Allah  ('Ibadullah) karena mereka semua mempunyai keistimewaan di sisi Allah . Demikian juga ketika Allah  menamakan Ka'bah dengan nama Baitullah, karena Ka'bah mempunyai keistimewaan di sisi Allah . Kedua, Muharram termasuk dalam kategori bulan-bulan yang mulia. Bulan-bulan mulia dalam Islam ada empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan itu dinamakan sebagi bulan yang mulia (haram) karena keagungan dan kemuliaannya. Dosa-dosa yang dikerjakan pada bulan-bulan tersebut lebih berat dan amal-amal yang dikerjakan pada bulan-bulan tersebut mempunyai nilai yang lebih mulia di sisi Allah . Maka jadilah bulan-bulan tersebut sebagai masa-masa yang dicintai oleh Allah . Bulan-bulan tersebut telah dituturkan Allah  dalam firmannya: 
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ [التوبة/36]
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." [Q.S. al-Taubah: 36] 
Sedangkan bulan Muharram termasuk ke dalam bulan yang empat itu, maka di dalamnya terkandung kemulian-kemulian itu.
 Para ulama berbeda pendapat mengenai bulan mana yang paling mulia di antara keempat bulan itu. Imam al-Hasan dan yang lainnya  mengatakan: "Bulan Haram yang paling mulia adalah bulan Muharram." Pendapat ini dikuatkan oleh sekelompok ulama muta'akhirin. Wahab bin Jarir meriwayatkan dari Qurrah bin Khalid, dari al-Hasan, beliau berkata: "Sesungguhnya Allah  mengawali tahun dengan bulan haram dan menutupnya dengan bulan haram, maka tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih mulia di sisi Allah  dari pada Muharram." Muharram disebut sebagai Syahrullah al-Asham karena kemuliaanya yang sangat tinggi. Dalam satu riwayat yang lain, Rasulullah  bersabda: "Sholat yang paling utama setelah sholat fardlu adalah sholat di waktu tengah malam dan bulan yang paling utama setelah bulan Ramadlan adalah bulan Muharram, ia adalah bulan Allah yang tuli." Riwayat yang lain dari Imam Nasa'i bahwa sahabat Abi Dzar bertanya kepada Rasulullah  tentang malam dan bulan yang paling utama, maka Rasulullah  bersabda: "Malam yang paling utama adalah pertengahannya dan bulan yang paling utama adalah bulan Allah yang kalian sebut Muharram." Ungkapan tentang kemualiaan bulan pada hadits ini diarahkan setelah bulan Ramadhan. Karena sudah tidak ada keraguan dan pertentangan lagi bahwa bulan Ramadlan lebih utama dari pada bulan Muharram. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa bulan haram yang paling utama adalah bulan Rajab dan hari yang paling mulia pada bulan Muharram adalah sepuluh hari yang pertama. Abu Utsman al-Nahdi mengatakan, bahwa para ulama mengagungkan sepuluh hari pada tiga bulan, yakni sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram. Menurut satu pendapat bahwa sepuluh hari pertama Muharram adalah hari-hari dimana Allah  menyempurnakan perjumpaan-Nya dengan Nabi Musa  selama empat puluh malam, dan percakapan Nabi Musa dengan Allah  terjadi pada hari yang ke sepuluh. Selain hal-hal tersebut, di dalam Muharram juga terjadi peristiwa-peristiwa agung. Diantaranya adalah diterimanya taubat Nabi Adam , mendaratnya kapal Nabi Nuh, diselamatkannya Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir'aun dan peristiwa-peristiwa besar yang lainnya.

Puasa Muharram
Amalan yang paling mulia untuk menyemarakkan bulan Muharram adalah dengan cara berpuasa. Puasa yang disunnahkan pada bulan Muharram terbagi menjadi dua: 
Pertama, puasa secara umum pada bulan Muharram, sebagaimana keterangan dalam hadits yang menunjukkan kesunnahan untuk berpuasa pada bulan ini selama sebulan penuh maupun sebagian saja, dari permualaan, akhir maupun pertengahan bulan. Hal itu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Hurairah, dari Nabi , beliau bersabda: "Puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah puasa pada bulan Allah  yang kalian sebut Muharram dan sholat yang paling utama setelah sholat fardlu adalah qiyamullail." Hadits ini secara jelas menegaskan bahwa puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah puasa pada bulan Muharram. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah keutamaan bulan yang disunnahkan untuk berpuasa secara sempurna setelah Ramadlan. Karena kesunnahan untuk berpuasa pada sebagian hari, seperti hari Arafah, sembilan hari pertama Dzulhijjah dan enam hari bulan Syawal lebih utama dari pada kesunahan puasa beberapa hari pada bulan Muharram. Hal ini dikuatkan oleh hadits riwayat al-Tirmidzi yang bersumber dari Sayidina Ali , bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah , lalu laki-laki itu bertanya: "Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang bulan setelah Ramadlan dimana aku berpuasa pada bulan itu." Maka Rasulullah  bersabda: "Jika engkau berpuasa sebulan setelah Ramadlan, maka berpuasalah pada bulan Muharram. Pada bulan itu Allah  menerima taubat suatu kaum." 
Kedua, puasa secara khusus pada bulan Muharram, yakni puasa hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Puasa hari Asyura hukumnya adalah sunnah, karena hari Asyura mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan sejak dulu. Puasa Asyura telah dikenal di zaman para nabi terdahulu. Sebagaimana puasa itu telah dikerjakan oleh Nabi Nuh sebagai perwujudan rasa syukur beliau atas mendaratnya kapal beliau di atas bukit Judiy dan Nabi Musa sebagai perwujudan rasa syukur beliau karena Allah  telah menyelamatkan beliau dan kaumnya dari kejaran Fir'aun. 
Puasa Asyura juga telah dikerjakan oleh orang-orang Ahli Kitab (Yahudi), karena mengikuti terhadap nabi-nabi mereka. Demikian juga orang-orang Quraisy pada zaman jajiliyah juga telah mengerjakan puasa Asyura. Mereka menuturkan bahwa mereka mempunyai dosa yang besar, kemudian mereka bertanya dengan apa mereka harus bertaubat. Kemudian dikatakan dengan cara berpuasa pada hari Asyura, lalu mereka mengerjaknnya. Dalam Musnad Imam Ahmad, dari Abu Hurairah, beliau berkata: "Rasulullah  bertemu dengan orang-orang Yahudi, mereka berpuasa pada hari Asyura, maka Rasulullah bertanya kepada mereka: "Puasa apa ini?" mereka berkata: "Hari ini adalah hari dimana Allah  menyelamatkan Nabi Musa  dan Bani Israil serta menenggelamkan Fir'aun. Hari ini adalah hari dimana kapal Nabi Nuh berlabuh di bukit Judiy. Maka dari itu Nabi Nuh dan Musa berpuasa pada hari ini karena bersyukur kepada Allah ." Lalu Nabi  bersabda: "Aku lebih berhak untuk mengikuti Musa dan lebih berhak untuk berpuasa pada hari ini." Kemudian Rasulullah  memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada hari itu.
Ketika Rasulullah  masih hidup, beliau mempunyai keinginan untuk tidak berpuasa hanya pada hari Asyura saja, tetapi juga berpuasa bersamaan dengan hari yang lain. Hal itu bertujuan semata-mata agar berbeda dengan orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari Asyura saja. Beliau mengatakan bahwa pada tahun depan akan berpuasa pada tanggal Sembilan dan Sepuluh, akan tetapi beliau wafat sebelum mengerjakan keinginannya itu. Beliau bersabda: "Berpuasalah kalian semua pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelum atau sesudah Asyura." [H.R. Ahmad]. 
Para ulama menyebutkan bahwa puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan: 
1. Dengan cara berpuasa tiga hari, yakni tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
2. Berpuasa dua hari pada tanggal 9 dan 10 Muharram
3. Berpuasa tanggal 10 Muharram saja. 

Shadaqah Di Bulan Muharram
Selain berpuasa, di bulan Muharram kita juga dianjurakan untuk melakukan Shadaqah. Hal itu sebagaimana keterangan yang diungkapkan oleh Ibnu Umar bin al-Ash, beliau berkata: "Barang siapa berpuasa Asyura, maka seakan-akan ia telah berpuasa setahun dan barang siapa bersedekah pada bulan itu maka hal itu seperti sedekah setahun." [Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Madini].
Adapun mengenai tausi'ah (melapangkan) terhadap kebutuhan keluarga, maka Imam Harb berkata: "Aku bertanya kepada Imam Ahmad tentang hadits yang berbunyi: "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura..." Maka beliau tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu, yakni sanad hadits itu tidak shahih." Ibnu Manshur berkata kepada Imam Ahmad: "Adakah engkau mendengar tentang hadits "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkan seluruh tahunnya". Maka beliau berkata: "Ya, hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu 'Uyainah dari Ja'far al-Ahmar dari Ibrahim bin Muhammad, dari Muntasyir." Beliau termasuk orang yang paling utama di masanya. Bahwa telah sampai pada beliau "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura maka Allah  akan melapangkan seluruh tahunnya." Sahabat Jabir berkata: "Aku mencoba hal itu dan aku membuktikan kebenarannya." Ibnu 'Uyainah berkata: "Aku membuktikannya selama lima puluh tahun atau enam puluh tahun, maka aku tidak melihatnya kecuali kebaikan." Dalam kitab Syarh al-Zarqani ala al-Mawahib al-Laduniyah dijelaskan bahwa hadits yang berbunyi: "Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkannya selama setahun penuh." diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani, al-Baihaqi dan Abu al-Syaikh . Imam al-Baihaqi berkata: "Sesungguhnya sanad hadits-hadits itu semuanya adalah dloif, akan tetapi ketika sanad-sanad tersebut dikumpulkan maka akan menjadi kuat." Al-Hafidz al-Iraqi dalam Amalinya berkata: "Hadits Abu Hurairah (Barang siapa melapangkan keluarganya pada hari Asyura, maka Allah  akan melapangkannya selama setahun penuh) mempunyai beberapa jalur yang sebagian jalur itu dishohihkan oleh al-Hafidz Ibnu Nashir. Sedangkan Ibnu al-Jauzi menuturkan hadits itu dalam kitab al-Maudlu'atnya." Hal itu disebabkan karena Sulaiman bin Abi Abdillah yang meriwayatkan dari dari Abu Hurairah tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar menetapkan dalam kitabnya Taqrib al-Tahdzib bahwasanya beliau termasuk rawi yang maqbul (dapan diterima). Ibnu Hibban juga menyebutkannya dalam kategori rawi yang tsiqat, dan hadits tersebut menurut Ibnu Hibban adalah hadits yang Hasan. Al-Hafidz al-Iraqi berkata: "Hadits tersebut mempunyai beberapa jalur dari Jabir sesuai syarat Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya al-Isti'ab, dan jalur-jalur tersebut merupakan jalur-jalur yang paling shohih."
Wal hasil tausi'ah (melapangkan) terhadap kebutuhan keluarga, memuliakan, berbuat baik kepada mereka tanpa berlebih-lebihan, kikir dan sombong merupakan suatu hal yang dianjurkan dan terpuji tanpa adanya pengkhususan pada hari atau bulan tertentu. Kemudian apabila seseorang berusaha dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan lalu hal itu dilakukannya bertepatan dengan waktu-waktu yang diberkati karena semata-mata mengharap pahala yang berlipat ganda tanpa adanya keyakinan atas kewajiban atau kesunahan hal itu, maka hal itu tidaklah masalah dan tidak perlu untuk diingkari.
Dari uraian di atas maka tidaklah heran apabila masyarakat kita menyebut Muharram sebagai bulan keramat, karena pada bulan itu terjadi berbagai peristiwa sejarah yang sangat agung. Selain itu, di dalam Muharram juga terdapat fadhilah-fadhilah yang tidak dimilki oleh bulan lain. Wallahu A'lam. (Dari berbagai sumber)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar