Selasa, 23 Desember 2008

HAKEKAT TAWASSUL

Sebagian orang salah dalam memahami hakekat tawassul. Maka dari itu, dalam memahami tawassul perlu difamai terlebih dahulu hal-hal berikut ini.

Pertama, tawassul merupakan salah satu cara do’a dan pintu untuk menghadap kepada Allah I. Maka dari itu tujuan pokok pada hakekatnya adalah Allah I. Sedangkan mutawassal bih (sesuatu yang dijadikan tawassul) hanyalah perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah I. Barang  siapa mempunyai keyakinan selain itu maka sungguh dia telah menyekutukan Allah I.

Kedua, orang-orang yang bertawassul tidaklah menggunakan perantara ini kecuali karena kecintaanya terhadap perantara itu dan keyakinaannya bahwa Allah I mencintainya. Seandainya yang terjadi tidak seperti itu, maka orang yang bertawassul itu adalah orang yang paling jauh dari perantara itu dan orang yang paling benci terhadapnya.

Ketiga, seseorang yang bertawassul seandainya dia mempunyai keyakinan bahwa orang yang dijadikan tawassul kepada Allah I bisa memberikan kemanfaatan dan kemadlaratan dengan sendirinya seperti Allah I, maka sungguh ia telah menyekutukan Allah I.

Keempat, tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya permintaan tidaklah bergantung padanya, tetapi yang menjadi pangkalnya adalah do’a kepada Allah I itu sendiri, sebagaimana firman Allah I :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [Q.S. al-Baqarah: 186] dan juga firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى.

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” [Q.S. al-Isra’: 110]

 

Tawassul Yang Disepakati

Tak seorangpun dari ulama yang berbeda pendapat mangenai disyariatkannya tawassul kepada Allah I dengan amal soleh. Barang siapa yang berpuasa atau mengerajakan shalat atau membaca al-Qur’an atau bersedekah, maka sesungguhnya ia bisa bertawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Qur’annya, dan sedekahnya. Bahkan harapan untuk diterima dan teraihnya tujuan lebih besar. Tawassul semacam ini tidak dipertentangkan oleh para ulama. Dalil mengenai hal ini adalah hadits yang bercerita tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Salah seorang diantara mereka bertawassul kepada Allah I dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Kemudian orang yang kedua bertawassul kepada Allah   dengan sikapnya yang menjauhkan diri dari kemungkaran. Kemudian orang yang ketiga bertawassul kepada Allah I dengan sifat amanahnya dan pemeliharaannya terhadap harta orang lain, lalu memberikan kepada pemiliknya dengan sempurna. Sehingga Allah I membukakan batu yang menutupi gua tersebut. Tawassul semacam ini telah diperinci, dijelaskan dalil-dalilnya dan ditahqiq masalah-masalahnya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitab-kitabnya, terutama di dalam risalahnya yang berjudul qaidah jalilah fi al-tawassul wa al-washilah.

 

Letak Perbedaan

Perselisihan dalam masalah tawassul terletak pada tawassul dengan perantara selain amal orang yang bertawassul, seperti bertawassul dengan perantara dzawat (benda) atau asykhash (seseorang). Sebagai contohnya adalah seperti orang yang bertawassul dengan mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad e.” Atau dengan redaksi lain seperti: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul kepada-Mu dengan perantara Abu Bakar al-Shiddiq atau dengan perantara Umar bin al-Khaththab atau dengan perantara Utsman atau dengan perantara Ali y.”  Tawassul semacam inilah yang menurut sebagian kelompok tidak diperbolehkan.

Kami memandang bahwa perbedaan dalam masalah itu hanya bersifat syakliy (bentuk/formalitas) saja, tidak bersifat jauhariy (substansial). Karena sesungguhnya tawassul dengan perantara dzat pada hakekatnya kembali kepada tawassul dengan perantara amal orang yang bertawassul, sebagaimana yang telah disepakati akan kebolehannya. Seandainya orang yang menentang keras terhadap tawassul dengan perantara dzat memandang permasalahan dengan mata hati, niscaya masalah itu akan menjadi jelas. Sehingga tidak akan menimbulkan fitnah yang menyebabkan sikap menghakimi seorang muslim dengan syirik dan sesat.

Ketahuilah bahwasanya seseorang yang bertawassul dengan orang lain, maka sebenarnya ia (orang yang bertawassul) telah mencintainya, karena ia yakin akan kebaikan orang itu (yang digunakan sebagai tawassul), kewaliannya dan keutamaannya karena husnudhon padanya. Atau mutawassil (orang yang bertawassul) meyakini bahwa mutawassal bih (orang yang dijadikan sebagai tawassul) adalah orang yang mencintai Allah I yang bersungguh-sungguh dalam menghadap kepada AllahI dan berjuang di jalan-Nya. Atau karena yakin bahwa Allah I mencintai orang itu, sebagaimana firman Allah I:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ.

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.” [Q.S. al-Maidah: 54].

Atau mutawassil meyakini bahwa semua hal di atas terdapat pada diri mutawassal bih.

Seandainya kita merenungkan masalah ini, kita akan menemukan bahwa kecintaan dan keyakinan tersebut merupakan amal yang dikerjakan oleh mutawassil. Karena hal itu adalah keyakinannya yang tumbuh dari dalam hatinya. Maka jadilah hal itu sesuatu yang dinisbatkan padanya, yang akan dipertanggung jawabkan olehnya dan yang akan diberi pahala. Seakan-akan orang yang bertawassul berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku mencintai fulan dan aku meyakini bahwa ia mencintai-Mu, ia ikhlas kepada-Mu dan berjuang di jalan-Mu, aku meyakini bahwa seseungguhnya Engkau mencintainya dan Engkau ridho padanya, maka aku bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan dengan perantaraan keyakinanku pada dirinya kiranya Engkau malakukan hal ini dan itu.” Akan tetapi kebanyakan orang-orang yang bertawassul tidak menyebutkan ungkapan ini karena telah menganggap cukup terhadap pengetahuan Dzat yang tidak samar bagi-Nya sesuatu yang samar di muka bumi dan langit. Dia mengetahui terhadap tipuan pandangan dan sesuatu yang disamarkan oleh hati. Barang siapa yang berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu.”, maka pada hakekatnya sama dengan orang yang berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan perantara kecintaanku kepada Nabi-Mu.” Karena redaksi yang pertama itu tidak akan terucap apabila tidak didasari dengan kecintaan dan keimanannya kepada Nabi e. Dan seandainya ia tidak mencintai dan tidak beriman kepada Nabi e, maka pasti ia tidak akan bertawassul kepada Nabi e. Hal itu juga berlaku bagi para wali dan yang lain, selain Nabi e.

Dari sini tampaklah bahwa pada hakekatnya perbedaan yang terjadi hanya bersifat syakliy (bentuk/formalitas), sehingga tidak harus menyebabkan perpecahan dan permusuhan dengan menghukumi kafir atas orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari wilayah Islam. “Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."

 

Dalil-dalil tentang tawassul

Allah I berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” [Q.S. al-Maidah: 35]

Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah I sebagai penyebab yang dapat mendekatkan diri kepada Allah I dan agar terkabulnya hajat dari sisi Allah I. Ukuran sesuatu yang dijadikan wasilah hendaknya memiliki kemuliaan dan keagungan di sisi Allah I.

Kata wasilah pada ayat di atas bersifat umum. Hal itu bisa mencakup terhadap tawassul dengan dzat yang mempunyai keutamaan seperti para Nabi, orang-orang sholih, baik ketika mereka masih hidup maupun ketika mereka telah meninggal. Dan juga mencakup terhadap tawassul dengan perantaraan amal sholih. Mengarahkan kebolehan tawassul dengan amal sholeh saja, dan membatasi pengertian ayat di atas pada amal saja merupakan suatu argumen yang tidak mempunyai hujjah dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Karena kata wasilah yang terdapat pada redaksi ayat di atas bersifat umum. Bahkan mengarahkan ayat tersebut kepada tawassul dengan dzat adalah lebih tepat. Karena dalam redaksi ayat tersebut, Allah I memerintahkan hambanya untuk bertakwa dan mencari wasilah. Sedangkan pengertian takwa adalah mengerjakan semua perintah Allah I dan menjauhi segala larangan-Nya (melakukan perintah dan menjauhi larangan adalah amal sholih). Oleh karena itu jika kita menafsiri kata wasilah pada ayat di atas sebagai wasilah dengan amal sholeh, maka tentunya hal itu merupakan pengulangan dan sebagai penguat kata takwa yang berada sebelumnya. Sebaliknya apabila kita menafsiri kata washilah dengan dzat yang mempunyai keutamaan, maka tentunya hal itu lebih tepat dan mendasar.

Kita tidak perlu menghiraukan perkataan orang-orang yang memisahkan diri dari Ahlussunah Wal Jamaah yang mempunyai pandangan bahwa tawassul adalah syirik dan haram. Karena pendapat yang semacam itu jelas kebatilannya dan menyelisihi terhadap akidah Ahlusunnah Wal Jamaah yang memperbolehkan tawassul dengan perantara dzat dan merupakan golongan mayoritas umat ini. Rasulullah telah menjamin bahwa umat ini tidak akan pernah melakukan suatu kesepakatan yang sesat. Dan beliau juga berpesan kepada kita untuk mengikuti golongan mayoritas apabila terjadi suatu perbedaan pendapat. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan, apabila engkau semua melihat perbedaan pendapat, maka ikutlah pada golongan yang terbesar." (H.R. Ibnu Majah).  Dan sudah tidak diragukan lagi bagi kita bahwa golongan terbesar umat ini adalah mereka yang memperbolehkan tawassul dengan perantara dzat.

 

 

Dinukil dari kitab "Mafahim Yajibu an Tushohhaha", oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki

Dan "al-Ajwibah al-Gholiyah", oleh al-Habib Zainal Abidin al-Alawy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar