Selasa, 23 Desember 2008

Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali


Oleh: Penghuni Blog

 

                Siapa yang tak kenal terhadap Hujatul Islam wal Muslimin al-Imam al-Ghozali t. Karya-karyanya beliau begitu banyak dan bermanfaat, khususnya Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini bayak dikaji di dalam pesantren yang terdapat di negeri ini. Imam Zubaidi t dan Imam Suyuthi t menuturkan bahwa beliau adalah seorang mujaddid pada abad ke-5 H. Sebagaimana dalam hadits, Rasulullah e bersabda: “Setiap seratus tahun Allah akan mengutus pada umat ini seseorang yang akan memperbaharui parkara agama mereka.” [H.R. Hakim, Abu Dawud, Baihaqi dan Thabrani]. Yakni Allah I akan mengutus seorang laki-laki atau lebih untuk menampakkan sunnah dari bid’ah, memperbanyak ilmu, menolong ahli ilmu dan menghinakan ahli bid’ah. Para ulama memberikan kriteria pada orang tersebut haruslah orang yang alim dan menguasai ilmu-ilmu agama secara dhohir dan bathin. Pada abad pertama muncullah Umar bin Abdul Aziz t, kemudian pada Abad ke dua Imam al- Syafi’i t, lalu pada abad ketiga al-Imam al-Asy’ari t atau Ibnu Suraij t, selanjutnya pada abad ke empat al-Isfiraini t atau al-Baqilani t, sedangakan pada abad ke lima muncullah al-Imam al-Ghozali t. Imam Suyuthi t dalam bahr rajaznya berkata:

Orang ke lima yang ilmunya laksana lautan luas adalah al-Ghozali, tidak ada pertentangan menggolongkannya sebagai mujaddid (abad ke lima).

Sudah tidak diragukan lagi, dengan ilmu seluas lautan dan maha karya yang sangat banyak itu, pantas saja jika al-Ghozali t menyandang gelar sebagai mujaddid pada abad ke-5 H. Tak heran jika al-Allamah al-Zubadi di dalam Itihaf-nya mengatakan “Seandainya ada Nabi setelah Nabi Muhammad maka dia adalah Al Ghazali.”

 

Biografi al-Imam al-Ghozali t.

Beliau adalah al-Imam al-Jalil Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi al-Ghozali al-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Thabran yang termasuk wilayah kota Thus di daerah Khurasan (Irak) pada tahun 450 H (1058 M). Kedua orang tua beliau adalah sorang pemintal wol miskin yang sholih. Diceritakan, kedua orang tuanya tidak makan kecuali dari hasil pintalannya. Mereka menjual hasil pitalannya ke pasar-pasar di kota Thus. Ayah beliau sangat menyukai majlis-majlis para ulama ahli fiqh dan tashawuf, berkhidmah pada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memberi nafkah pada mereka dengan semampunya. Orang tua beliau menangis ketika mendengarkan perkataan para ahli fiqh, kemudian meminta agar dikaruniai seorang anak laki-laki yang ahli fiqh. Akhirnya Allah I mengabulkan permintaan kedua orang tuanya itu. Ketika menjelang wafat, ayahnya menitipkan al-Ghozali t dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu seraya berkata: “Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis. Aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak aku peroleh melalui kedua putraku ini.” Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari, harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi membiayai keduanya. Selanjutnya sufi itu menyerahkan keduanya untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.

                Di masa kecil, al-Ghozali t  belajar fiqh kepada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzkani t, kemudian berpindah ke daerah Jurjan  berguru kepada Imam Abu al-Qasim Isma’il al-Isma’ily. Pada waktu itu umur beliau belum mencapai 20 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Thus dan menetap disana selama tiga tahun. Pada tahun 473 H beliau pergi ke Naisabur  untuk melanjutkan pendidikannya kepada Imam Haromain al-Juwaini t hingga mengusai seluk beluk madzhab, khilaf, perdebatan, ushul, mantiq dan falsafah. Imam Ghozali t termasuk seorang murid yang sangat cerdas, sehingga ilmu-ilmu yang diperoleh dari Imam Haromain t benar-benar dikuasainya. Dengan keluasan ilmunya itu beliau mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya dan menumbangkan argumen mereka. Sehingga tidak salah apabila Imam Haromain t memberi gelar  bahrun mughriqun (lautan yang meneggelamkan) pada beliau.

                Setelah guru beliau meninggal dunia, maka beliau keluar dari kota Naisabur menuju Nidhomul Malik (seorang perdana menteri kerajaan Saljuk). Karena kemasyhuran dan keluasan ilmunya, beliau ditugasi untuk mengajar di madrasah Nidhomiyah Bagdad (setingkat universitas ternama yang didirikan pada tahun 1057 M. Usia Imam al-Ghozali t pada waktu itu adalah dua puluh tiga tahun. Dalam kitab al-Munqidz Min al-Dlolal, disebutkan bahwasanya beliau telah mengajar sebanyak tiga ratus mahasiswa. Ketika merasa takut akan persoalan ahli fikir yang semakin merajalela dan lepas kontrol, beliau menulis demi pembelaan terhadap agama Islam dalam tiga kitab karyanya, yakni: Ihya’ Ulumuddin, Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al- Falasifah.

Karena beliau memiliki kecenderungan yang sangat kuat kepada tashawuf, maka akhirnya beliau meninggalkan pekerjaannya sebagai pengajar pada tahun 1059 M. Kemudian meninggalkan kota Baghdad dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji. Beliau selama sebelas tahun berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Beliau mengunjungi kota Damaskus, Baitul Maqdis, Iskandariyah, Makah al-Mukarramah lalu kembali ke tanah airnya (kota Thus). Setelah meyelesaikan kitab karangannya Ihya’ Ulumuddin, beliau kembali ke halayak ramai untuk dapat memberi manfaat dan petunjuk kepada mereka.   Imam al-Ghozali t mengawali karir keilmuannya dari mempelajari berbagai kitab, seperti Quttul Qulub karya Imam Abu Thalib al-Makki dan kitab-kitab karya Imam Harits al-Muhasibi, Imam al-Junaid, Imam al-Syibli dan Imam Abu Yazid al-Busthami y.

                 Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di kota Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M yang bertepatan pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dengan meninggalkan ratusan karya tulis yang menunjukannya sebagai pengarang yang produktif. Tiada pekerjaan bagi diri beliau pada masa akhir hayatnya melainkan uzlah (mengasingkan diri dari manusia), khalwat (meyendiri), riyadlah (latihan) dan mujahadah (berjuang), mensucikan jiwa dan medidik akhlak seraya menjernihkan hati sanubari dengan berdzikir kepada Allah I dan i’tikaf di dalam masjid.

 

Pemikiran Tasawuf Imam Al Ghozalit

Tasawuf dalam pandangan beliau adalah melempar nafsu dalam ibadah dan mengagantungkan hati kepada Allah I. Dikatakan, bahwa tasawuf adalah penjernihan hati dari persahabatan dengan mahluk, penentangan watak kepribadian, pemadaman sifat-sifat kemahlukan, penjauhan keegoisan pribadi, menempati sifat-sifat keruhaniahan, bergantung pada ilmi-ilmu hakekat dan mengikuti Rasulullah e dalam syariat.

Dalam risalahnya al-Munqidz min al-Dlolal beliau mengatakan bahwa jalan ulama tashawuf menjadi sempurna karena ditempuh dengan ilmu dan amal. Keberhasilan amal mereka dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang tercela dan sifat-sifatnya yang buruk, sehingga hati terlepas dari segala sesuatu selain Allah I dan selalu mengingat Allah I.

Beliau berkata, bahwa suluk adalah pendidikan akhlak, perbuatan dan pengetahuan. Dengan demikian seorang hamba disibukkan untuk memperbaiki sifat dhohir dan batinnya serta disibukkan kepada tuhannya, sedangkan ia sendiri sibuk membersihkan hatinya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal-hal yang dapat merusak suluk seseorang adalah: 1) mengambil rukhsoh (keringanan) dengan berbagai macam takwil dan 2) mengikuti orang-orang yang terpeleset karena mengikuti syahwatnya.

Pokok-pokok tasawuf menurut beliau adalah memakan sesuatu yang halal, mengikuti akhlak, perbuatan, perintah-perintah dan sunnah Rasulullah e. Barang siapa yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak menulis Hadits maka dalam permasalahan ini dia tidak boleh untuk diikuti, karena ilmu kami dikendalikan oleh al-Kitab dan al-Sunnah. Doktrin ini diambil dengan cara wara’ dan takwa, bukan dengan pengakuan. Lebih lanjut beliau megungkapkan bahwa permulaan tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amal dan pangkalnya adalah pemberian.

 

Corak Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghozali t

Di dalam tasawufnya, Imam al-Ghozali memilih tasawuf  sunni yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi e, ditambah dengan doktrin AhlusSunnah Wal Jamaah yang kebangkitannya kembali dipelopori oleh al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, dan lain-lain. Beliau menjauhkan tasawufnya  dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghozali benar-benar bercorak Islam.

Corak tasawufnya lebih ditekankan pada adab dan tatakrama. Beliau berkata: “Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka Allah I akan menerangi hatinya dengan cahaya kema’rifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad e yang dicintai Allah I dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.”

 

Karya-karya al-Imam al-Ghozali t.

Para peneliti baik dulu maupun sekarang berbeda pendapat mengenai jumlah karya tulis Imam al-Ghozali t. Imam al-Subuki t dalam Thabaqaatnya mengatakan, bahwa kitab hasil karya al-Imam al-Ghozali sekitar enam puluh kitab, sedangkan menurut al-Allamah al-Zubaidi t dalam Ittihafnya menghitung, bahwa jumlah kitab al-Ghozali t sekitar delapan puluh kitab dan risalah. Menurut Sulaiman Dunya, karangan al-Ghozali t mencapai tiga ratus buah. sedangkan menurut Dr. Muhammad, karya tulis beliau mencapai dua ratus kitab lebih. Kitab-kitab beliau antara lain adalah: al-Wasith, al-Basith, al-Wajiz, al-Khulashoh (Keempat kitab tersebut merupakan kitab beliau dalam lingkup madzhab), Ihya’ Ulum al-Din (Secara umum Ihya’ adalah kitab Imam Ghozali t yang paling penting. Imam Nawawi mengatakan bahwa kitab Ihya’ hampir seperti Al Qur’an.), al-Arba’in, al-Asma’ al-Husna, al-Mustashfa fii Ushul al-Fiqh, al-Mankhul fii Ushul al-Fiqh, Bidayah al-Hidayah, Tahsin al-Ma’khadz, Kimiya’ al-Sa’adah (dalam bahasa persia), al-Munqidz Min al-Dlolal, al-Lubab al-Muntakhal, Syifa’ al-Ghalil, al-Iqtishad fii al-I’tiqad, Mi’yar al-Nadhr, Bayan al-Qaulain Li al-Syafi’i, Misykat al-Anwar, Mihakk al-Nadzr, al-Mustadhhiri Fii al-Radd ala al-Bathiniyah, Tahafat al-Falasifah, Maqasid al-Falasifah, Iljam al-‘Awam fii Ilmi al-Kalam, al-Ghoyah al-Qusywa, Jawahir al-Qur’an, Bayan Fadloih al-Imamiyah, Ghor al-Daur, Kasyf Ulum al-Akhirah, al-Risalah al-Qudsiyah, al-Fatawa, Mizan al-Amal, Qawasim al-Bathiniyah, Haqiqat al-Ruh, Kitab Asrari Mu’amalat al-Din, Aqidah al-Misbah, al-Minhaj al-A’la, Ahlaq al-Anwar, al-Mi’raj, Hujah al-Haq, Tanbih al-Ghofilin, al-Maknun Fii al-Ushul, Risalah al-Aqthab, Musallam al-Salathin, al-Qanun al-Kulli, al-Qurbah Ila Allah, Mi’yar al-Ilmi, Mafsal al-Khilaf Fii Ushul al-Qiyas, Asrar Ittiba’ al-Sunnah, Talbis Iblis, al-Mabadi Wa al-Ghoyat, al-Ajwibah, Kitab Aja’ib Son’illah, Risalah al-Thair, al-Rad Ala Man Thagha dan Minhaj al-Abidin yang merupakan kitab paling akhir yang ditulis oleh Imam Al Ghazali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar