Kamis, 20 Agustus 2009

LAILATUL QADAR


إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam Lailatul Qadar.” [Q.S. al-Qadar:1]
Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah al-Qur’an al-Karim diturunkan pada malam Lailatul Qadar. Akan tetapi Allah SWT tidak menyebut al-Qur'an secara langsung, karena susunan semacam itu menunjukkan akan keagungan al-Qur'an. Hal itu bisa ditinjau melalui tiga hal. Pertama, Allah SWT menyandarkan penurunan al-Qur'an dan mengkhususkannya pada Dzatnya. Kedua, dalam ayat itu Allah SWT menyebut al-Qur'an menggunakan isim dhamir (kata ganti) bukan isim dhahir (kata al-Qur'an), hal itu sebagai bukti bahwa al-Qur'an itu sudah masyhur walaupun ditunjukkan dengan kata ganti dan ini menunjukkan keagungan al-Qur'an. Ketiga, kemuliaan dan keagungan waktu turunnya al-Qur'an. 
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam menaggapi mengapa malam itu dinamakan dengan dengan Lailatul Qadar. Pendapat pertama mengatakan bahwa malam itu dinamakan Lailatul Qadar karena malam itu merupakan malam penentuan segala sesuatu dan penentuan segala hukum. Imam ‘Atha’ meriwayatkan dari Imam Ibnu Abbas bahwa Allah SWT menentukan segala sesuatu pada tahun itu yang berupa hujan, rizki, kehidupan dan kematian sampai pada Lailatul Qadar di tahun berikutnya. Ayat itu seperti halnya firman Allah SWT: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Q.S. al-Dukhan: 4]. Yang dimaksud dengan urusan-urusan di sini ialah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rizki, untung baik, untung buruk dan sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa takdir Allah SWT tidaklah terjadi pada malam itu, karena sesungguhnya Allah SWT telah menentukan takdir-takdirnya sebelum menciptakan langit dan bumi di zaman azali. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah Allah SWT pada malam itu menampakkan takdir-takdirnya kepada malaikat agar ditulis di Lauf al-Mahfudz. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Pendapat kedua yang dinukil dari Imam al-Zuhri mengatakan bahwa Lailatul Qadar merupakan malam yang agung dan mulia. Hal itu sesuai yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT: “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” [Q.S. al-Qadar: 3]. Lalu kemulian dan keagungan ini bisa diarahkan pada pelaku ibadah, artinya hamba Allah SWT yang melaksanakan ibadah dan ketaatan pada malam itu akan menjadi orang yang mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT dan juga bisa diarahkan pada esensi ibadah dan ketaatan pada malam itu, karena ibadah pada malam itu mempunyai nilai tambah jika dibandingkan dengan malam-malam yang lain. 
Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna al-Qadar adalah sempit, karena pada malam itu bumi dipenuhi oleh para malaikat yang turun ke bumi.
Allah SWT merahasiakan malam Lailatul Qadar karena beberapa alasan:
1. Sesungguhnya Allah SWT merahasiakan malam itu, sebagaimana Allah SWT merahasiakan beberapa perkara. Allah SWT merahasiakan keridhaan-Nya dalam ketaatan hamba-Nya, sehingga para hamba menyukai semua ibadah dan amal kebajikan. Allah SWT merahasiakan pengabulan doa agar para hamba bersungguh-sunguh dalam setiap doanya. Allah SWT merahasiakan asma-Nya yang paling mulia agar para hamba mengagungkan semua asma Allah SWT. Allah SWT merahasiakan shalat wustha agar para hamba selalu mengerjakan dan menjaga semua shalat. Allah SWT merahasiakan pengabulan dan pengampunan taubat seorang hamba agar para hamba itu selalu bertaubat kepada Allah SWT. Allah SWT juga merahasiakan kematian manusia agar mereka selalu menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Demikian juga Allah merahasiakan malam Lailatul Qadar agar para hamba Allah SWT memuliakan dan mengagungkan semua malam di bulan Ramadhan.  
2. Dalam hal ini seolah-olah Allah SWT berfirman: “Seandainya Aku menampakkan Lailatul Qadar, sedangkan Aku mengetahui kelancanganmu pada kemaksiatan, lalu ketika syahwatmu pada malam itu mengajak untuk melakukan kemaksiatan, maka engkau akan terjerumus pada dosa, sehingga kemaksiatanmu yang mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar lebih berbahaya dari pada kemaksiatanmu yang engkau lakukan sedangkan engkau tidak mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadar. Sehingga karena faktor itulah Aku merahasiakan Lailatul Qadar padamu.”
3. Sesungguhnya Allah SWT merahasiakan malam Lailatul Qadar agar para hamba bersungguh-sungguh dalam mencarinya, sehingga mereka memperoleh pahala kesungguhan mereka dalam mencari Lailatul Qadar.
4. Sesungguhnya seorang hamba ketika ia tidak mengetahui Lailatul Qadar, ia akan bersungguh-sungguh untuk beribadah dan melakukan ketaatan pada semua malam bulan Ramadhan, ia akan selalu berharap bahwa pada malam-malam itu adalah Lailatul Qadar. Sehingga Allah SWT akan membanggakan hamba-hamba-Nya di hadapan para malaikat seraya berfirman: “Kalian yang mengatakan bahwa mereka (hamba-hamba Allah) akan berbuat kerusakan dan pertumpahan darah, tapi sekaramg lihatlah kesungguhan mereka dalam beribadah kepada-Ku pada malam yang mereka anggap sebagai Lailatul Qadar. Lalu bagaimana jika aku membritahukan Lailatul Qadar kepada mereka?” Maka dari sinilah tampak siri-rahasia firman Allah SWT:
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ [البقرة/30]
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." [Q.S. al-Baqarah: 30]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi hanya pada bulan Ramadhan. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ [البقرة/185]
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran.” [Q.S. al-Baqarah: 185] dan juga firman Allah SWT:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ [القدر/1]
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam Lailatul Qadar.” [Q.S. al-Qadar:1]
Dari kedua ayat ini, dapat dipastikan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada bulan Ramadhan agar tidak terjadi kontradiksi antara kedua ayat tersebut. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan Lailatul Qadar. Ibnu Razin mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam pertama bulan Ramadhan. Imam Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke tujuh belas. Pendapat yang diriwayatkan dari shahabat Anas mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke sembilan belas. Imam Muhamad bin Ishaq berpendapat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam ke dua puluh satu. Riwayat yang bersumber dari shahabat Ibnu Abbas mengatakan pada malam dua puluh tiga. Shahabat Ibnu Mas’ud berpendapat pada malam dua puluh empat. Shahabat Abu Dzar al-Ghiffari berpendapat pada malam dua puluh lima. Sedangkan shahabat Ubay bin Ka’ab dan sekelompok shahabat berpendapat bahwa Lailalatul Qadar terjadi pada malam dua puluh tujuh. Sementara sebagian yang lain berpendapat pada malam dua puluh sembilan.
*Wallahu A'lam*
Disarikan dari Tafsir al-Kabir karya Imam Fakruddin al-Razi

MENGUSAP WAJAH SETELAH SHALAT


Suatu amalan yang biasa kita lakukan setelah shalat (ba'da salam) adalah mengusapkan telapak tangan kanan ke wajah lalu berdoa:
بِسْمِ الله الَّذِيْ لاَ إِلهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
"Dengan menyebut Asma Allah, tidak ada tuhan yang pantas untuk disembah kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah, hilangkanlah kesusahan dan kesedihan dari diriku." Atau dalam riwayat lain:
أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ اَلَّلهُمَّ اذْهَبْ عَنِّيْ الْهّمَّ وَالْحَزَنَ .
"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah, hilangkanlah kesusahan dan kesedihan dari diriku."
Namun menurut sebagian kelompok amaliah semacam ini dinilai sebagai bid'ah dan berdasar pada hadits yang dloif, bahkan palsu. Benarkah demikian?
Hadits tentang mengusap wajah dengan tangan kanan dan berdoa dengan doa di atas setelah shalat memang dlaif. Tapi apakah karena dlaif itu terus dianggap sebagai bid’ah dan tidak boleh diamalkan? 
Sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Dla’ifah: 2/114, hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu'jam al-Ausath dan al-Khatib. Beliau juga menemukan hadits ini dari jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ibnu ‘Addi dan dicantumkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab Adzkarnya. Dan sudah maklum bagi kita bahwa para ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Sunni menulis kitab-kitabnya itu tiada lain agar apa yang ada di dalamnya bisa diamalkan. Imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Adzkarnya berkata: “Sesungguhnya tujuan ditulisnya kitab ini (Adzkar) adalah untuk mengetahui dzikir-dzikir dan mengamalkannya.” (Adzkar: 1/3). Jadi mustahil seorang ulama sekaliber Imam Nawawi yang menjadi Imam ahli hadits di masanya mencantumkan dan menganjurkan untuk mengamalkan hadits palsu. SubahanaKa hadza buhtanun adhim…

Beramal Dengan Hadits Dloif
Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ (Saudi Arabia):
Soal ke-4 dari fatwa no. 5158:
Soal: Apakah boleh beramal dengan hadits dlaif?
Jawab: Boleh beramal dengan hadits dlaif ketika (1) tidak terlalu dlaif, (2) hadits itu mempunyai syawahid (penguat eksternal) yang dapat menambal kedlaifannya atau dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah tetap, (3) tidak bertentangan dengan hadits shahih. Ketika demikian maka hadits tersebut termasuk dalam kategori hasan lighairihi yang bisa menjadi hujjah menurut ahli ilmu. (Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’: 6/262)
Soal ke-3 dari fatwa no. 9105:
Soal: Apakah benar bahwasanya hadits dlaif tidak diambil/dipakai kecuali dalam fadhailul a’mal, sedangkan hukum-hukum tidak diambil darinya?
Jawab: Pertama, hadits dlaif dipakai dalam fadlailul a’mal ketika tidak terlalu dlaif dan telah tetap amaliyah itu secara umum termasuk dalam fadlailul a’mal. Kedua, hadits dlaif dipakai dalam penetapan hukum ketika dikuatkan dengan hadits lain yang semakna atau jalurnya terbilang sehingga menjadi masyhur, karena sesungguhnya ketika demikian termasuk dalam kategori hadits hasan lighairih yang merupakan bagian keempat dari hadits-hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah.
Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
 (Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’: 6/263)
Dari fatwa di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa: 
1. Hadits dlaif dipakai dalam fadlailul a’mal ketika tidak terlalu dlaif dan telah tetap amaliyah itu secara umum termasuk dalam fadlailul a’mal (walaupun hanya satu jalur). Perlu diketahui bahwa para ahli hadits (sepengetahuan kami) tidak ada yang mengatakan bahwa hadits itu adalah palsu termasuk Syeikh al-Albani. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits itu ada yang dlaif (bisa diamalkan) dan ada yang sangat dlaif. Di samping itu, hadits tersebut berisi amaliyah yang telah disepakati kesunahannya, yaitu berdzikir setelah shalat. 
2. Hadits itu mempunyai syawahid (penguat eksternal) yang dapat menambal kedlaifannya atau dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah tetap. Sebagaimana uraian di atas kita telah tahu bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari bebebara jalur dan dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah disepakati yaitu kesunahan berdzikir kepada Allah SWT setelah selesai shalat.
3. Tidak bertentangan dengan hadits shahih. Jelas hadits di atas tidak bertentangan dengan hadits shahih, karena hadits tersebut berisi anjuran untuk berdzikir kepada Allah SWT setelah shalat. 

Ijma’ Ulama Tentang Kebolehan Mengamalkan Hadits Dlaif Dalam Fadlailul A’mal
Para ulama ahli hadits dan ulama yang lain telah sepakat bahwa hadits dlaif dapat diamalkan dalam fadlail al-A'mal. Para ulama yang mengatakan demikian diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, al-Anbari dan yang lainnya. Mereka mengatakan: "Apabila kami meriwayatkan hadits yang berhubungan dengan halal dan haram, maka kami menekankannya dan ketika kami meriwayatkan dalam hal fadlailul a'mal maka kami memudahkannya." Dalam fatwanya, al-Allamah al-Ramli mengatakan bahwa Imam Nawawi dalam berbagai karyanya telah menguraikan secara khusus tentang kesepakatan (ijma') para ulama atas kebolehan untuk beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal dan yang semisalnya. Adapun ungkapan al-Hafidz Ibnu al-Arabi al-Maliki yang mengatakan bahwasanya tidak boleh beramal dengan hadits dlaif secara mutlak maksudnya adalah hadits dlaif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan i'tibar. Maka jelaslah bahwa beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal merupakan sesuatu yang mujma' alaih (disepakati) oleh kaum muslimin. [al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif: 13].
Kebolehan beramal dengan hadits dlaif juga telah difatwakan oleh para ulama Saudi Arabia, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa hadits dlaif tidak boleh untuk diamalkan dalam fadlailul a’mal. 
*Wallahu A’lam*

PENETAPAN AWAL RAMADHAN


Puasa Ramadhan difardlukan pada bulan Sya’ban tahun ke dua Hijriyah. Rasulullah SAW berpuasa Ramadhan sebanyak sembilan kali, sebab beliau menetap di Madinah selama sepuluh tahun dan di Makkah tiga belas tahun. Selama puasa sembilan kali itu semuanya dilakukan dengan dua puluh sembilan hari kecuali satu kali yang dilakukan dengan hitungan sempurna, yakni tiga puluh hari. Dalam hal ini terdapat hikmah, yaitu menentramkan hati Umat Beliau yang berpuasa dua puluh sembilan hari dan mengingatkan bahwa puasa dua pulah sembilan hari dan tiga puluh hari itu sama ditinjau dari segi pahala yang dihasilkan( ).  
Rasulullah SAW , Bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا. (رواه مسلم عن أبي هريرة).
“Ketika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan ketika kalian melihatnya, maka berhari rayalah. Jika tertutup mendung untuk melihatnya, maka berpuasalah tiga puluh hari” [H.R. Imam Muslim dari Abi Hurairah]
لا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلالَ، وَلا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه النسائي عن ابن عمر).
“Janganlan kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya. Jika tertutup mendung untuk melihatnya, maka tentukanlah (dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari).” [H.R. Imam Nasa’i dari Ibni Umar] 
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ. (رواه مسلم عن ابن عمر).
“Hitungan bulan itu adalah dua puluh sembilah malam. Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya kecuali tertutup mendung untuk meliahtnya. Jika tertutup mendung untuk meliahtnya, maka tentukanlah (dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari)” [H.R. Imam Muslim dari Ibni Umar]
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ. (رواه البخاري عن أبي هريرة).
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan berhari rayalah sebab melihatnya. Jika tertutup mendung untuk meliahtnya, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban tiga puluh.” [H.R. Imam Bukhari dari Abi Hurairah].
Hadits-hadits di atas memberi gambaran bahwa penetapan awal bulan Ramadlan itu hanya berdasarkan dua hal, pertama; dengan melihat hilal dengan mata telanjang( ) ketika langit bersih dari segala sesuatu yang menghalanginya, baik berupa mendung, asap, debu atau yang lainnya. Kedua; dengan menyempurnakan sya’ban 30 hari ketika langit terhalang oleh hal-hal tersebut.
Demikianlah kaidah yang telah dibangun oleh syara’, sehingga menurut pendapat Aimamah tsalatsah (Imam Abu Hanifah, Imam malik dan Imam Ahmad) bahwa hisab atau perbintangan sama sekali tidak bisa dijadikan patokan, sebab syara’ telah mensyaratkan puasa pada tanda yang selamanya tidak mungkin berubah, yaitu melihat hilal atau menyempurnakan bulan Syaban 30 hari, lagi pula pendapat mereka (ahli hisab dan perbintangan) sangat bercorak ragam, sehingga tidak bisa dijadikan ukuran . Sedangkan ulama’ Syafi’iyah masih memberi ruang gerak kepada mereka, akan tetapi hanya untuk hak diri mereka dan orang-orang yang meyakini kebenarannya. 
 Wal hasil perputaran hukum dalam masalah ini diikutkan pada i’tiqad al jazim (keyakinan yang mantap)( ). Sehingga perbedaan awal Romadlan atau awal Syawal merupakan hal yang wajar dan tentunya harus disikapi secara dewasa.

RAMADHAN; BULAN PENUH BERKAH DAN AMPUNAN



Patut kita syukuri, karena Allah SWT masih berkenan memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dan berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. Semoga dengan masih dipanjangkan umur kita ini, Allah SWT berkehendak menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang senang, senantiasa menambah dan meningkatkan amal kebajikan, mengisi hari-harinya dengan ketaatan kepada-Nya, sehingga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan seterusnya. Nabi SAW telah menegaskan bahwa sebaik-baiknya hamba adalah orang yang dianugerahi umur panjang dan selalu beramal baik. Sebaliknya, seburuk-buruknya hamba adalah orang-orang yang diberi umur panjang dan selalu melakukan perbuatan keji dan tercela. Di bulan ini, semoga kita dianugerahi kesehatan oleh Allah SWT, kesehatan rohani dan jasmani sehingga kita betul-betul menyambut bulan ini dengan hati yang gembira serta dapat meninggkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Amiin.

Definisi Puasa
Puasa secara etimologi adalah menahan dari perkataan dan makanan, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا.[مريم/26]
“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. [Q.S. Maryam : 26]
Sedangkan secara terminologi puasa adalah menahan dari segala macam perkara yang dapat membatalkan puasa, mulai dari matahari terbit hingga terbenam yang disertai niat. Puasa Ramadhan selain merupakan salah satu rukun Islam, juga merupakan tanda ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. [البقرة/183]
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. [Q.S. Al-Baqarah: 183]

Keutamaan-keutamaan Bulan Ramadhan
Banyak sekali Keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, di antaranya: 
1. Bulan Ramadhan adalah bulan yang permulaannya adalah rahmat (kasih sayang) dari Allah SWT, pertengahannya adalah ampunan-Nya dan akhirannya adalah pembebasan dari api neraka. Demikianlah berita gembira dari Baginda Rasulillah Muhammad SAW dalam hadits riwayat Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah dan lain-lain.
2. Keutamaan berpuasa di bulan Ramadhan tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Seandainya hamba-hamba Allah tahu apa-apa (pahala dan keutamaan) yang ada di bulan Ramadhan, niscaya umatku akan mengharap semua tahun menjadi Ramadhan”. [H.R. Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Baihaqi]. Hal itu karena kebaikan pada bulan Ramadhan dikumpulkan, ketaatan diterima, doa-doa dikabulkan, dosa-dosa diampuni dan surga rindu kepada orang-orang yang berpuasa. Dalam Hadits Qudsi Allah SWT berfirman : “Semua amal-kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh hingga tujuh ratus lipat ganda, kecuali puasa, karena puasa adalah untuk dan kepunyaan-Ku, maka Aku-lah yang akan membalasnya (langsung)”. [H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim]
3. Keutamaan bulan Ramadhan sangat tampak jelas sekali dengan dua keiistimewaan:
a. Turunnya al-Qur’an al-Karim pada bulan itu. Allah SWT berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ.[البقرة/185]
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. [Q.S. Al-Baqarah : 185]
b. Malam Lailatul Qadar. Yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah SWT berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ. [القدر/15-]
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?, malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. [Q.S. Al-Qadr : 1-5]
4. Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya terdapat sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat ketuhanan, yaitu sifat sabar (sabar menahan lapar dan dahaga karena untuk meraih ridha Allah SWT). Sedangkan sabar balasannya adalah surga.
5. Bulan Ramadhan adalah bulan dimana amal kebaikan akan dilipat gandakan, yaitu melakukan satu kebaikan atau satu fardhu pahalanya sebanding dengan pahala tujuh puluh kali orang yang melakukakannya pada selain bulan Ramadhan.
6. Membimbing manusia agar mempunyai solidaritas yang tinggi.
7. Rizki orang mukmin akan ditambah pada bulan Ramadhan.
8. Seseorang yang memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, hal itu akan menjadikan dosa-dosanya diampuni dan dibebaskan dari api neraka. 
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Shahabat Salman al-Farisi RA berkata: “Rasulullah SAW memberi khutbah kepada kami pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau bersabda : “Wahai manusia, sungguh semua bulan yang agung telah menaungi kalian, bulan yang penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, Allah menjadikan puasanya wajib, beribadah pada malam harinya adalah kesunahan. Barangsiapa bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan melakukan satu kebaikan atau melakukan satu ibadah wajib, maka ia seperti orang yang melakukan tujuh puluh ibadah wajib pada selain bulan itu. Bulan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar pahalanya adalah surga, bulan untuk menderma, bulan yang di dalamnya rizki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang puasa, hal itu akan menjadikan dosa-dosanya diampuni, dibebasankan dari api neraka dan ia mendapatkan pahala yang sama dengan pahala orang yang berpuasa itu”. [H.R. Imam Ibnu Khuzaimah]
9. Di bulan Ramadhan pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para syaithan dibelenggu. Hal ini sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Baihaqi dan lain-lain.
10. Bulan dimana pada permulaan malamnya Allah SWT melihat hamba-hamba-Nya (dengan rahmat-kasih sayang-Nya), dan jika Allah SWT sudah melihat hamba-Nya, maka hamba itu tidak akan disiksa selama-lamanya, dan pada tiap hari dan malamnya Allah SWT membebaskan sejuta hambanya dari api neraka. Sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Ibnu Shashri dalam kitab Amalinya.
11. Bulan dimana setiap waktu berbuka Allah SWT memerdekakan sejuta hamba-Nya dari api neraka. Sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Ibnu Hibban.
12. Bulan Ramadhan adalah pemimpin bulan-bulan yang lain, sebagaimana Lailatul Qadar pemimpin malam-malam yang lain .
13. Perumpamaan bulan Ramadhan dengan bulan-bulan yang lain adalah seperti hati di dalam dada, seperti para nabi dengan manusia biasa dan seperti tanah haram dengan negara-negara yang lain. Jika Dajjal tercegah dan tidak bisa menyentuh tanah haram, maka bulan Ramadhan dapat membelenggu para syaithan. Jika para nabi penyafaat bagi orang-orang yang berbuat dosa, maka bulan Ramadhan penyafaat bagi orang-orang yang berpuasa. Jika hati dihiasi dengan nur-cahaya ma’rifat dan keimanan, maka pada bulan Ramadhan dihiasi dengan nur-cahaya membaca al-Qur’an. Barang siapa dosa-dosanya tidak diampuni pada bulan Ramadhan, maka di bulan apalagi ia akan diampuni. Oleh karena itu bertaubatlah kepada Allah SWT sebelum pintu-pintu taubat ditutup dan sebelum hilang waktu-waktu kembali kepada-Nya. Menangislah, sebelum waktu-waktu menangis telah usai .

Hikmah Dan Sirri-Rahasia Puasa Ramadhan
Seyogyanya bagi setiap muslim untuk mengetahui sebelumnya, bahwa puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT. Pengertiannya sebagai ibadah, hendaknya yang menjadi dorongan bagi kita dalam melaksanakannya kerana semata-mata untuk memenuhi perintah Allah SWT, menjawab seruan-Nya dan melaksanakan hak-hak penghambaan kepada-Nya tanpa lebih dulu memandang terhadap hikmah apa saja yang dihasilkan dari ibadah puasa tersebut. Jika seorang muslim telah melakukan yang demikian itu, maka tiada mengapa ia mencermati dan menghayati hikmah dan sirri-rahasia ketuhanan yang terkandung pada ibadah tersebut. Karena tidak diragukan lagi bahwa setiap hukum-hukum Allah pasti terdapat hikmah dan sirri-rahasia serta faidah yang kembali kepada hamba-hamba-Nya, hanya saja mereka tidak diharuskan untuk mengetahuinya.
Kalau kita mencermati dan menghayati, maka kita akan menemukan banyak sekali hikmah, sirri-rahasia dan faidah-faidah yang terkandung dalam puasa di bulan Ramadhan, antara lain adalah: 
1. Sesungguhnya hakikat puasa yang benar dapat membangkitkan hati seorang mukmin untuk muraqabah (selalu mengawasi dan memantau hati agar selalu ingat kepada Allah). Demikian itu karena sesungguhnya orang yang berpuasa tidak melewati dan berlalu dari waktu-waktu siangnya dalam keadaan berpuasa, sehingga ia merasa lapar dan dahaga, sementara nafsunya selalu mengajak untuk makan dan minum, akan tetapi kesadarannya bahwa ia sedang berpuasa menghalang-halanginya untuk tidak menuruti terhadap kesenangan nafsunya, dimana hal itu semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Dengan adanya saling tarik menarik antara menuruti nafsu dan melaksanakan perintah Allah SWT ini kemudian membuahkan kebangkitan hati, meningkatkan kesadaran muraqabah kepada Allah SWT dan selalu ingat akan kebesaran dan keagungan kekuasaan-Nya, sebagaimana ia ingat dan sadar bahwa dirinya adalah hamba yang harus tunduk terhadap ketetapan-Nya dan merealisasikan terhadap kehendak-Nya.
2. Bulan Ramadhan adalah bulan yang suci dan mulia di antara bulan-bulan yang lain. Di bulan ini Allah SWT menghendaki agar hamba-hamba-Nya memenuhi dan mengisi waktu-waktunya dengan berbagai bentuk ketaatan dan ibadah, mewujudkan keluhuran makna pengabdiannya kepada Allah SWT. Semua itu tentunya sulit sekali terwujudkan jika di depan kita terdapat suguhan (jawa=rampatan) makanan dan minuman, perut dalam keadaan penuh dan uap makananpun naik ke fikiran dan otak. Oleh karena itu syari’at puasa di bulan ini adalah cara yang paling mudah untuk mewujudkan semua itu dan untuk melaksanakan kewajiban mengabdi di dalamnya.
3. Kehidupan seorang muslim yang selalu dalam kedaan kenyang, tentunya sudah wajar jika membuat perasaannya kotor, penuh dengan hal-hal yang menyebabkan hatinya keras dan mendorong dirinya melakukan perbuatan-perbuatan keji. Padahal yang demikian itu sangat bertentangan dengan pribadi seorang muslim sejati. Oleh karena itu syari’at puasa dapat menjernihkan pribadi dan nafsu seorang muslim dan dapat menajamkan perasaanya.
4. Sesungguhnya sebagian dari prinsip-prinsip kehidupan yang dapat membangkitkan masyarakat Islam adalah saling peduli dan saling mengasihani antara yang satu dengan yang lain. Namun sangat sulit sekali seorang yang kaya dapat mengasihani yang miskin dengan kasih sayang yang sebenarnya jika ia dalam sela-sela kehidupannya tidak pernah merasakan pahit dan getirnya kefakiran dan rasa lapar. Maka bulan puasa adalah momen terbaik yang dapat menjadikan si kaya sadar dan merasakan apa yang dirasakan oleh si miskin. Bulan puasa itu pula dapat menjadikan si kaya hidup bersama si miskin dengan bersama-sama merasakan pahit dan getirnya kemiskinan karena perut selalu dililit rasa lapar. Oleh karena itu puasa adalah sebaik-baiknya keadaan yang dapat membangkitkan rasa saling berkasih sayang, kepedulian dan solidaritas yang tinggi .
-Wallahu A’lam-