Kamis, 20 Agustus 2009

PENETAPAN AWAL RAMADHAN


Puasa Ramadhan difardlukan pada bulan Sya’ban tahun ke dua Hijriyah. Rasulullah SAW berpuasa Ramadhan sebanyak sembilan kali, sebab beliau menetap di Madinah selama sepuluh tahun dan di Makkah tiga belas tahun. Selama puasa sembilan kali itu semuanya dilakukan dengan dua puluh sembilan hari kecuali satu kali yang dilakukan dengan hitungan sempurna, yakni tiga puluh hari. Dalam hal ini terdapat hikmah, yaitu menentramkan hati Umat Beliau yang berpuasa dua puluh sembilan hari dan mengingatkan bahwa puasa dua pulah sembilan hari dan tiga puluh hari itu sama ditinjau dari segi pahala yang dihasilkan( ).  
Rasulullah SAW , Bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا. (رواه مسلم عن أبي هريرة).
“Ketika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan ketika kalian melihatnya, maka berhari rayalah. Jika tertutup mendung untuk melihatnya, maka berpuasalah tiga puluh hari” [H.R. Imam Muslim dari Abi Hurairah]
لا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلالَ، وَلا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه النسائي عن ابن عمر).
“Janganlan kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya. Jika tertutup mendung untuk melihatnya, maka tentukanlah (dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari).” [H.R. Imam Nasa’i dari Ibni Umar] 
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلَّا أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ. (رواه مسلم عن ابن عمر).
“Hitungan bulan itu adalah dua puluh sembilah malam. Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berhari raya sehingga kalian melihatnya kecuali tertutup mendung untuk meliahtnya. Jika tertutup mendung untuk meliahtnya, maka tentukanlah (dengan menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari)” [H.R. Imam Muslim dari Ibni Umar]
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ. (رواه البخاري عن أبي هريرة).
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan berhari rayalah sebab melihatnya. Jika tertutup mendung untuk meliahtnya, maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban tiga puluh.” [H.R. Imam Bukhari dari Abi Hurairah].
Hadits-hadits di atas memberi gambaran bahwa penetapan awal bulan Ramadlan itu hanya berdasarkan dua hal, pertama; dengan melihat hilal dengan mata telanjang( ) ketika langit bersih dari segala sesuatu yang menghalanginya, baik berupa mendung, asap, debu atau yang lainnya. Kedua; dengan menyempurnakan sya’ban 30 hari ketika langit terhalang oleh hal-hal tersebut.
Demikianlah kaidah yang telah dibangun oleh syara’, sehingga menurut pendapat Aimamah tsalatsah (Imam Abu Hanifah, Imam malik dan Imam Ahmad) bahwa hisab atau perbintangan sama sekali tidak bisa dijadikan patokan, sebab syara’ telah mensyaratkan puasa pada tanda yang selamanya tidak mungkin berubah, yaitu melihat hilal atau menyempurnakan bulan Syaban 30 hari, lagi pula pendapat mereka (ahli hisab dan perbintangan) sangat bercorak ragam, sehingga tidak bisa dijadikan ukuran . Sedangkan ulama’ Syafi’iyah masih memberi ruang gerak kepada mereka, akan tetapi hanya untuk hak diri mereka dan orang-orang yang meyakini kebenarannya. 
 Wal hasil perputaran hukum dalam masalah ini diikutkan pada i’tiqad al jazim (keyakinan yang mantap)( ). Sehingga perbedaan awal Romadlan atau awal Syawal merupakan hal yang wajar dan tentunya harus disikapi secara dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar