Kamis, 20 Agustus 2009

MENGUSAP WAJAH SETELAH SHALAT


Suatu amalan yang biasa kita lakukan setelah shalat (ba'da salam) adalah mengusapkan telapak tangan kanan ke wajah lalu berdoa:
بِسْمِ الله الَّذِيْ لاَ إِلهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ.
"Dengan menyebut Asma Allah, tidak ada tuhan yang pantas untuk disembah kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah, hilangkanlah kesusahan dan kesedihan dari diriku." Atau dalam riwayat lain:
أَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ اَلَّلهُمَّ اذْهَبْ عَنِّيْ الْهّمَّ وَالْحَزَنَ .
"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah, hilangkanlah kesusahan dan kesedihan dari diriku."
Namun menurut sebagian kelompok amaliah semacam ini dinilai sebagai bid'ah dan berdasar pada hadits yang dloif, bahkan palsu. Benarkah demikian?
Hadits tentang mengusap wajah dengan tangan kanan dan berdoa dengan doa di atas setelah shalat memang dlaif. Tapi apakah karena dlaif itu terus dianggap sebagai bid’ah dan tidak boleh diamalkan? 
Sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits al-Dla’ifah: 2/114, hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam Mu'jam al-Ausath dan al-Khatib. Beliau juga menemukan hadits ini dari jalur lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ibnu ‘Addi dan dicantumkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitab Adzkarnya. Dan sudah maklum bagi kita bahwa para ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Sunni menulis kitab-kitabnya itu tiada lain agar apa yang ada di dalamnya bisa diamalkan. Imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Adzkarnya berkata: “Sesungguhnya tujuan ditulisnya kitab ini (Adzkar) adalah untuk mengetahui dzikir-dzikir dan mengamalkannya.” (Adzkar: 1/3). Jadi mustahil seorang ulama sekaliber Imam Nawawi yang menjadi Imam ahli hadits di masanya mencantumkan dan menganjurkan untuk mengamalkan hadits palsu. SubahanaKa hadza buhtanun adhim…

Beramal Dengan Hadits Dloif
Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ (Saudi Arabia):
Soal ke-4 dari fatwa no. 5158:
Soal: Apakah boleh beramal dengan hadits dlaif?
Jawab: Boleh beramal dengan hadits dlaif ketika (1) tidak terlalu dlaif, (2) hadits itu mempunyai syawahid (penguat eksternal) yang dapat menambal kedlaifannya atau dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah tetap, (3) tidak bertentangan dengan hadits shahih. Ketika demikian maka hadits tersebut termasuk dalam kategori hasan lighairihi yang bisa menjadi hujjah menurut ahli ilmu. (Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’: 6/262)
Soal ke-3 dari fatwa no. 9105:
Soal: Apakah benar bahwasanya hadits dlaif tidak diambil/dipakai kecuali dalam fadhailul a’mal, sedangkan hukum-hukum tidak diambil darinya?
Jawab: Pertama, hadits dlaif dipakai dalam fadlailul a’mal ketika tidak terlalu dlaif dan telah tetap amaliyah itu secara umum termasuk dalam fadlailul a’mal. Kedua, hadits dlaif dipakai dalam penetapan hukum ketika dikuatkan dengan hadits lain yang semakna atau jalurnya terbilang sehingga menjadi masyhur, karena sesungguhnya ketika demikian termasuk dalam kategori hadits hasan lighairih yang merupakan bagian keempat dari hadits-hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah.
Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
 (Fatwa Lajnah al-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’: 6/263)
Dari fatwa di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa: 
1. Hadits dlaif dipakai dalam fadlailul a’mal ketika tidak terlalu dlaif dan telah tetap amaliyah itu secara umum termasuk dalam fadlailul a’mal (walaupun hanya satu jalur). Perlu diketahui bahwa para ahli hadits (sepengetahuan kami) tidak ada yang mengatakan bahwa hadits itu adalah palsu termasuk Syeikh al-Albani. Beliau mengatakan bahwa hadits-hadits itu ada yang dlaif (bisa diamalkan) dan ada yang sangat dlaif. Di samping itu, hadits tersebut berisi amaliyah yang telah disepakati kesunahannya, yaitu berdzikir setelah shalat. 
2. Hadits itu mempunyai syawahid (penguat eksternal) yang dapat menambal kedlaifannya atau dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah tetap. Sebagaimana uraian di atas kita telah tahu bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari bebebara jalur dan dikuatkan dengan kaidah syar’iyyah yang telah disepakati yaitu kesunahan berdzikir kepada Allah SWT setelah selesai shalat.
3. Tidak bertentangan dengan hadits shahih. Jelas hadits di atas tidak bertentangan dengan hadits shahih, karena hadits tersebut berisi anjuran untuk berdzikir kepada Allah SWT setelah shalat. 

Ijma’ Ulama Tentang Kebolehan Mengamalkan Hadits Dlaif Dalam Fadlailul A’mal
Para ulama ahli hadits dan ulama yang lain telah sepakat bahwa hadits dlaif dapat diamalkan dalam fadlail al-A'mal. Para ulama yang mengatakan demikian diantaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, al-Anbari dan yang lainnya. Mereka mengatakan: "Apabila kami meriwayatkan hadits yang berhubungan dengan halal dan haram, maka kami menekankannya dan ketika kami meriwayatkan dalam hal fadlailul a'mal maka kami memudahkannya." Dalam fatwanya, al-Allamah al-Ramli mengatakan bahwa Imam Nawawi dalam berbagai karyanya telah menguraikan secara khusus tentang kesepakatan (ijma') para ulama atas kebolehan untuk beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal dan yang semisalnya. Adapun ungkapan al-Hafidz Ibnu al-Arabi al-Maliki yang mengatakan bahwasanya tidak boleh beramal dengan hadits dlaif secara mutlak maksudnya adalah hadits dlaif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan i'tibar. Maka jelaslah bahwa beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal merupakan sesuatu yang mujma' alaih (disepakati) oleh kaum muslimin. [al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif: 13].
Kebolehan beramal dengan hadits dlaif juga telah difatwakan oleh para ulama Saudi Arabia, jadi tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa hadits dlaif tidak boleh untuk diamalkan dalam fadlailul a’mal. 
*Wallahu A’lam*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar