Perpecahan yang akan terjadi pada umat ini sudah terbaca oleh Rasulullah SAW ketika beliau masih hidup. Beliau menjelaskan bahwa semua kelompok tersebut akan masuk ke dalam neraka kecuali satu kelompok. Ketika beliau ditanya oleh para shahabat, siapakah kelompok yang selamat itu, beliau menyebut al-Jama’ah.
لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِى على ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَـنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ قَالَ اَلْجَمَاعَةُ. (رواه ابن ماجه وغيره)
“Sungguh umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu kelompok yang akan masuk surga dan tujuh puluh dua yang lainnya berada di neraka.” Ditanyakan oleh para shahabat: “Wahai Rasulullah, siapa mereka?” maka Rasulullah bersabda: “Al-Jama’ah.” [H.R. Ibnu Majah dll.]
Dalam versi riwayat lain beliau menjelaskan bahwa kelompok tersebut adalah kelompok yang mengikuti tindak lampah (sunnah) beliau dan para shahabat beliau (ma ana ‘alaihill yaum wa ashhabi).
تَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَا تِلْكَ الْفِرْقَةُ قَالَ مَا اَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ. (رواه الطبراني وغيره)
“Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para shahabat bertanya: “Siapakah kelompok itu wahai Rasulallah?” Rasulullah SAW bersabda: “Kelompok yang sesuai dengan sunnahku dan shahabatku pada hari ini.” [H.R. al-Thabrani dll.]
Dari kedua redaksi hadits tersebut, sebenarnya istilah Ahlusunnah Wal Jamaah secara implisit sudah pernah diungkapkan oleh Rasulullah SAW untuk menjelaskan kelompok yang selamat. Hanya saja term Ahlusunnah Wal Jamaah lebih dikenal pada abad III sebagai reaksi atas munculnya berbagai aliran yang menyimpang.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah sendiri terbentuk dari tiga kata yang menyusunnya.
1. Kata ahlun, ahlu atau ahli mempunyai makna kaum atau golongan.
2. Kata al-Sunnah. Secara lughawi mempunyai makna jalan, tingkah laku atau kebiasaan. Sedangkan menurut istilah syara’, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna sunnah. Ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat dan perjalanan hidup beliau, baik sebelum diangkat menjadi nabi maupun setelah diangkat menjadi nabi. Menurut ulama ushul, sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW selain al-Qur’an yang berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan yang pantas untuk dijadikan sebagai dalil hukum syara’. Sedangkan ulama fiqh mendefinisikan sunnah sebagai sesuatu yang telah tetap dari Rasulullah SAW yang tidak termasuk dalam kategori fardlu dan wajib. Kata sunnah terkadang juga digunakan untuk hal-hal yang telah dilakukan oleh para shahabat, baik hal itu yang tercantum di dalam al-Qur’an, yang berasal dari Nabi, maupun tidak. Karena apa yang dilakukan oleh para shahabat pada hakekatnya adalah realisasi dari sunnah Nabi SAW. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ.
“Berpegang teguhlah kalian semua dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin.” [H.R. Abu Dawud dll.]
3. Kata al-Jama’ah. Menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud al-Jama’ah adalah kelompok yang selalu taat kepada Allah SWT walaupun hanya seorang. Para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menjelaskan makna al-Jama’ah:
a. Al-jama’ah adalah al-Sawad al-A’dham (kelompok mayoritas umat Islam), sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Ghalib bahwa sesungguhnya al-Sawad al-A’dham adalah kelompok yang selamat. Para tokoh yang berpendapat demikian diantaranya adalah Abu Mas’ud al-Anshari dan Ibnu Mas’ud. Ketika terjadi peristiwa terbunuhnya shahabat Utsman bin Affan, Abu Mas’ud ditanya tentang peristiwa itu, maka beliau berkata: “Berpeganglah kalian kepada al-Jama’ah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan menyepakatkan umat Muhammad SAW pada kesesatan.” Berdasarkan pendapat ini yang termasuk dalam kategori al-Jama’ah adalah para imam mujtahid umat ini serta para ulama mereka.
b. Al-Jama’ah adalah kelompok para imam mujtahid, barang siapa keluar dari ketetapan para ulama umat ini, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Karena sesungguhnya jama’ah Allah SWT adalah para ulama. Merekalah yang dimaksudkan oleh Nabi: “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menyepakatkan umatku dalam kesesatan.” Demikian itu karena orang-orang awam mengambil agama ini dari para ulama. Sehingga makna sabda Nabi SAW: “Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan.” adalah “Ulama umat ini tidak akan sepakat dalam kesesatan.” Para tokoh yang berpendapat demikian diantaranya adalah Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahaiwah dan sekelompok ulama salaf. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul.
c. Al-Jama’ah adalah tertentu kepada para shahabat. Mereka adalah tiang agama dan mereka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat dalam kesesatan secara pasti, dimana hal itu mungkin saja terjadi pada selain shahabat.
d. Al-Jama’ah adalah kelompok kaum muslimin ketika telah sepakat atas suatu perkara, maka wajib bagi yang lain untuk mengikutinya.
e. Al-Jama’ah adalah sekelompok kaum muslimin ketika telah sepakat atas seorang pemimpin.
Dari uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah kaum muslimin yang mengikuti sunnah Nabi SAW dan Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi SAW dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan ke-Islaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya akan goyah, bahkan bisa jadi akan hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, pada hakekatnya dia bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Asy’ariyah Kebangkitan Kembali Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy`ary. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 Hijriyah dan wafat pada tahun 324 Hijriyah. Beliau merupakan salah satu keturunan shahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Beliau adalah Syeikh Thariqah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seorang imam para theolog dan penolong sunnah Rasulullah SAW.
Pada mulanya Imam Asy’ari adalah pengikut Abu Ali al-Jubba’i, seorang pemimpin dan theolog Mu’tazilah. Beliau menjadi pengikut Mu’tazilah selama empat puluh tahun, sehingga pada waktu yang lama itu beliau menjadi imam di kalangan Mu’tazilah. Namun semakin lama mendalami konsep theology Mu’tazilah malah menyebabkan kebimbangan dan kebingungan pada diri beliau. Sehingga pada puncaknya beliau mengasingkan diri di dalam rumahnya selama lima belas hari. Setelah itu, beliau keluar dari rumahnya menuju ke masjid dan naik ke atas mimbar, mengumumkan kepada masyarakat bahwa beliau telah mencabut akidah yang selama ini dianut dan diyakininya. Beliau kemudian menyerahkan beberapa kitab yang sesuai dengan akidah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya (akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah) kepada masyarakat.
Kisah keluarnya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary dari kubangan Mu’atazilah bermula ketika beliau tidur di malam-malam sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Ketika bangun dari tidurnya, beliau merasakan beban masalah yang sangat berat. Beliau selalu memikirkan mimpi itu dan merasa gelisah.
Pada pertengahan Ramadhan (sepuluh hari kedua), beliau kembali bermimpi bertemu Nabi SAW untuk yang kedua kalinya. Dalam mimpi yang kedua ini, Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang telah engkau perbuat pada apa yang telah aku perintahkan?” Beliau berkata: “Wahai Rasulallah, gerangan apa yang harus aku lakukan, sementara aku telah menyebarkan ajaran-ajaran yang benar kepada umat ini dari madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan darimu.” Rasulullah bersabda: “Tolonglah madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Ketika terbangun dari mimpinya, beliau sangat menyesal dan sedih. Beliau sepakat untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti hadits serta terus-menerus membaca al-Qur’an. Hingga tiba saatnya pada tanggal dua puluh tujuh Ramadhan, seperti biasanya beliau selalu menghidupkan malam itu. Namun pada waktu itu rasa ngantuk menyerang beliau, sehingga beliau tertidur. Dalam tidurnya itu, beliau kembali bermimipi bertemu Rasulallah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada beliau: “Apa yang telah engkau kerjakan terhadap apa yang telah aku perintahkan?” Beliau menjawab: “Wahai Rasulullah Aku telah meninggalkan ilmu kalam dan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnahmu.” Rasulullah bersabda: “Aku tidak memerintahkanmu untuk meninggalkan ilmu kalam, aku hanya memerintahmu untuk menolong madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Imam Asy’ary berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana aku meninggalkan madzhab yang telah aku gambarkan permasalahan-permasalahnnya dan aku telah mengetahui dalil-dalilnya selama tiga puluh tahun untuk berpendapat.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya aku tidak mengetahui bahwasanya Allah SWT akan menganugerahkan padamu karunia dari sisi-Nya, maka aku tidak akan berdiri di hadapanmu, sehingga aku menjelaskan maksud dalil-dalil itu. Bersunguh-sungguhlah, karena sesungguhnya Allah akan menganugerahkan karunia dari sisi-Nya kepadamu.” Imam Abu al-Hasan terbangun dari mimpinya dan berkata: “Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” [Q.S. Yunus: 32] Setelah peristiwa itu beliau membela aqidah-aqidah Ahlu Sunnah, khususnya tentang masalah yang berkaitan dengan melihat Allah SWT dan syafaat yang diingkari oleh kaum Mu’tazilah.
Selain sebagai ahli theolog dan berbagai disiplin ilmu yang lain, al-Imam al-Asy’ary juga merupakan Imam dalam tashawuf. Orang-orang yang pernah berkumpul bersama beliau menuturkan bahwa beliau selama dua puluh tahun mengerjakan shalat subuh dengan wudlu shalat isya’. Beliau makan dari hasil tanah yang diwakafkan kakeknya Bilal bin Abu Bardah bin Abu Musa al-Asy’ary kepada anak cucunya. Nafkah beliau dalam setahun hanya tujuh belas dirham. Untuk bekal hidupnya, beliau menghabiskan satu dirham lebih sedikit setiap bulannya.
Sebagian orang menyangka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary bermadzhab Maliki, padahal hal itu tidak benar. Yang benar beliau adalah seorang yang bermadzhab Syafi’i. Beliau mendalami madzhab Syafi’i kepada Syeikh Abu Ishaq al-Maruzi sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Syeikh Abu Bakar Ibnu Fauruq dalam Thabaqat al-Mutakallimin dan Syeikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang dinukil oleh Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini dalam Syarh al-Risalah. Sedangkan yang bermadzhab Maliki adalah al-Qadli Abu Bakar bin al-Baqilani, seorang tokoh besar madzhab Asy’ariyah.
Karya-karya Imam al-Asy’ari
Abu Muhammad bin Hazm menuturkan bahwa karya-karya Imam al-Asy’ari mencapai lima puluh lima karya tulis. Namun pendapat ini ditolak oleh Ibnu Asakir, kemudian beliau menuturkan dari Abu al-Ma’ali bin Abdul Malik al-Qadli, beliau mendengar dari orang yang tsiqat bahwa karya Imam al-Asy’ary lebih dari tiga ratus karya tulis. Karya-karya itu diantaranya adalah: al-Fushul fi al-Rad ‘ala al-Mulhidin, al-Mujiz, al-Istitha’ah, al-Shifat, al-Ru’yah, al-Asma’ wa al-Ahkam, al-Rad ala al-Mujassimah, al-Idlah, al-Luma’ al-Shaghir, al-Luma’ al-Kabir, al-Syarh wa al-Tafshil, al-Muqaddimah, al-Naqdlu ‘ala al-Jubba’i, al-Naqdlu ‘ala al-Balkhi, Maqalat al-Muslimin, Maqalat al-Mulhidin, al-Jawabat fi al-Shifat ‘ala al-I’tizal, al-Rad ‘ala Ibnu Rawandi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hakekat Madzhab Asy’ariyah
Perlu diketahui bahwa Imam al-Asy’ary tidaklah membuat madzhab baru, beliau hanyalah merumuskan kembali akidah-akidah yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Namun ternyata masih ada saja sekelompok orang yang mencela dan menghina madzhab Asy’ariyah, bahkan menuduhnya sebagai madzhab yang sesat. Hal itu tidaklah mengherankan, karena zaman dulupun juga telah ada sekelompok orang yang menganggap sesat dan mengkafirkan Asy’ariyah. Qadli al-Qudlat Abu Abdillah al-Damaghani al-Hanafi mengatakan bahwa orang yang mengatakan demikian sungguh telah melakukan bid’ah dan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Lebih lanjut Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi mengungkapkan bahwa Asy’ariyah adalah esensi dari Ahlu Sunnah itu sendiri dan penolong syariah yang bangkit menentang kelompok-kelompok ahli bid’ah seperti Qadariyah, Rafidhah dan kelompok-kelompok lain yang menyimpang. Barang siapa yang mencela mereka, maka sesungguhnya ia telah mencela Ahlu Sunnah. Lebih lanjut lagi al-Imam al-Qusyairi mengatakan bahwa Ashab al-Hadits telah sepakat bahwa Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary adalah salah seorang imam dari para imam Ashab al-Hadits. Madzhab beliau adalah madzhab Ashab al-Hadits. Beliau telah mengulas tentang pokok-pokok agama (ushuluddin) sesuai manhaj Ahlu Sunnah. Beliau telah membantah teori-teori kalam yang digagas oleh kelompok-kelompok yang menyimpang. Beliau laksana pedang yang terhunus, yang siap membantai Mu’tazilah, Rafidhah dan kelompok-kelompok ahli bid’ah yang menyimpang dari Islam. Barang siapa yang mencela, mencaci atau melaknat beliau maka sungguh ia telah menghina dan mencaci semua kelompok Ahlu Sunnah.
Ketidaktahuan terhadap hakekat madzhab Asy’ary itulah yang menyebabkan mereka berani mencela Asy’ariyah, hingga menyebabkan Ahlu Sunnah tercabik-cabik dan terpecah belah. Sebagian dari mereka yang tidak tahu hakekat madzhab Asy’ariyah ini menuduh bahwa Asy’ariyah adalah kelompok yang sesat seperti ahli bid’ah yang lain. Kita tidak tahu bagaimana cara pandang mereka dalam memahami madzhab yang murni ini, sehingga menyamakan dengan madzhab ahli bid’ah seperti Mu’tazilah dan yang lainnya. Allah SWT berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ. مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ. [القلم/35، 36]
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimana kamu mengambil keputusan?” [Q.S. al-Qalam: 35-36]
Padahal Asy’ariyah terdiri dari para ulama Ahli Hadits, Ahli Fiqih, Ahli Tafsir dan ilmu-ilmu yang lain. Aqidah beliau diikuti oleh para ulama’ Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para pembesar Madzhab Hambali. Kebesaran madzhab Asy’ariy juga diakui oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata: “Para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asy’ariyah adalah penolong ushuluddin (aqidah).”
Pengikut Imam al-Asy’ary terdiri dari para imam-imam besar di masanya yang kredibilatasnya sudah tidak dipertanyakan lagi. Diantara mereka yang berada di bawah bendera Asy’ariyah adalah: al-Imam Abu Said al-Isma’ili, al-Qadli Abu Bakar bin al-Baqilani, al-Qadli Abdul Wahhab al-Maliki, al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi, al-Khatib al-Baghdadi al-Hafidz, Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi penulis kitab Risalah al-Qusyairiyah yang menjadi rujukan utama ilmu tashawuf, Syeikh Abu Ishaq al-Syaerazi pemilik kitab al-Muhadzdzab sebagai salah satu kitab induk dalam Madzhab Syafi’i, Imam al-Haramain penulis kitab Nihayat al-Mathlab, Hujjatul Islam al-Ghazali yang kebesaran namanya sudah diakui oleh dunia, Imam Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir, Sulthan al-Ulama Izzuddin bin Abdissalam, Imam al-Nawawi pemilik Syarah Shahih Muslim dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai kitab rujukan madzhab Syafi’i, Syeikhul Islam Ibnu Daqiqil ‘Id, Syeikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, seorang pakar hadits yang telah disepakati kepakarannya, Imam Taqiyuddin al-Subuki, Imam Tajuddin al-Subuki, Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari, al-Imam al-Suyuthi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami pemilik kitab al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair dan masih banyak lagi para ulama pengikut madzhab Asy’ariyah yang tentunya akan membutuhkan berjilid-jilid buku jika harus disebutkan satu persatu diantara mereka.
Lalu bagaimana bisa kita mengatakan bahwa mereka semua itu bukanlah Ahlu Sunnah? Kebaikan apa yang bisa kita harapkan jika kita menuduh ulama-ulama kita dan para salaf shaleh sebagai orang yang sesat dan menyimpang? Bagaimana Allah SWT bisa membuka hati kita untuk menimba ilmu mereka jika dalam hati kita mempunyai keyakinan bahwa mereka telah menyimpang dan berpaling dari ajaran Islam? Jika para ulama di atas bukanlah Ahlu Sunnah, lalu siapakah Ahlu Sunnah?
لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِى على ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِى الْجَـنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ قَالَ اَلْجَمَاعَةُ. (رواه ابن ماجه وغيره)
“Sungguh umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu kelompok yang akan masuk surga dan tujuh puluh dua yang lainnya berada di neraka.” Ditanyakan oleh para shahabat: “Wahai Rasulullah, siapa mereka?” maka Rasulullah bersabda: “Al-Jama’ah.” [H.R. Ibnu Majah dll.]
Dalam versi riwayat lain beliau menjelaskan bahwa kelompok tersebut adalah kelompok yang mengikuti tindak lampah (sunnah) beliau dan para shahabat beliau (ma ana ‘alaihill yaum wa ashhabi).
تَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَا تِلْكَ الْفِرْقَةُ قَالَ مَا اَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ. (رواه الطبراني وغيره)
“Umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok, semuanya masuk neraka, kecuali satu. Para shahabat bertanya: “Siapakah kelompok itu wahai Rasulallah?” Rasulullah SAW bersabda: “Kelompok yang sesuai dengan sunnahku dan shahabatku pada hari ini.” [H.R. al-Thabrani dll.]
Dari kedua redaksi hadits tersebut, sebenarnya istilah Ahlusunnah Wal Jamaah secara implisit sudah pernah diungkapkan oleh Rasulullah SAW untuk menjelaskan kelompok yang selamat. Hanya saja term Ahlusunnah Wal Jamaah lebih dikenal pada abad III sebagai reaksi atas munculnya berbagai aliran yang menyimpang.
Ahlu Sunnah wal Jama’ah sendiri terbentuk dari tiga kata yang menyusunnya.
1. Kata ahlun, ahlu atau ahli mempunyai makna kaum atau golongan.
2. Kata al-Sunnah. Secara lughawi mempunyai makna jalan, tingkah laku atau kebiasaan. Sedangkan menurut istilah syara’, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna sunnah. Ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat dan perjalanan hidup beliau, baik sebelum diangkat menjadi nabi maupun setelah diangkat menjadi nabi. Menurut ulama ushul, sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW selain al-Qur’an yang berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan yang pantas untuk dijadikan sebagai dalil hukum syara’. Sedangkan ulama fiqh mendefinisikan sunnah sebagai sesuatu yang telah tetap dari Rasulullah SAW yang tidak termasuk dalam kategori fardlu dan wajib. Kata sunnah terkadang juga digunakan untuk hal-hal yang telah dilakukan oleh para shahabat, baik hal itu yang tercantum di dalam al-Qur’an, yang berasal dari Nabi, maupun tidak. Karena apa yang dilakukan oleh para shahabat pada hakekatnya adalah realisasi dari sunnah Nabi SAW. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ.
“Berpegang teguhlah kalian semua dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin.” [H.R. Abu Dawud dll.]
3. Kata al-Jama’ah. Menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud al-Jama’ah adalah kelompok yang selalu taat kepada Allah SWT walaupun hanya seorang. Para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam menjelaskan makna al-Jama’ah:
a. Al-jama’ah adalah al-Sawad al-A’dham (kelompok mayoritas umat Islam), sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Ghalib bahwa sesungguhnya al-Sawad al-A’dham adalah kelompok yang selamat. Para tokoh yang berpendapat demikian diantaranya adalah Abu Mas’ud al-Anshari dan Ibnu Mas’ud. Ketika terjadi peristiwa terbunuhnya shahabat Utsman bin Affan, Abu Mas’ud ditanya tentang peristiwa itu, maka beliau berkata: “Berpeganglah kalian kepada al-Jama’ah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan menyepakatkan umat Muhammad SAW pada kesesatan.” Berdasarkan pendapat ini yang termasuk dalam kategori al-Jama’ah adalah para imam mujtahid umat ini serta para ulama mereka.
b. Al-Jama’ah adalah kelompok para imam mujtahid, barang siapa keluar dari ketetapan para ulama umat ini, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Karena sesungguhnya jama’ah Allah SWT adalah para ulama. Merekalah yang dimaksudkan oleh Nabi: “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menyepakatkan umatku dalam kesesatan.” Demikian itu karena orang-orang awam mengambil agama ini dari para ulama. Sehingga makna sabda Nabi SAW: “Umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan.” adalah “Ulama umat ini tidak akan sepakat dalam kesesatan.” Para tokoh yang berpendapat demikian diantaranya adalah Abdullah bin al-Mubarak, Ishaq bin Rahaiwah dan sekelompok ulama salaf. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama ushul.
c. Al-Jama’ah adalah tertentu kepada para shahabat. Mereka adalah tiang agama dan mereka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat dalam kesesatan secara pasti, dimana hal itu mungkin saja terjadi pada selain shahabat.
d. Al-Jama’ah adalah kelompok kaum muslimin ketika telah sepakat atas suatu perkara, maka wajib bagi yang lain untuk mengikutinya.
e. Al-Jama’ah adalah sekelompok kaum muslimin ketika telah sepakat atas seorang pemimpin.
Dari uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah kaum muslimin yang mengikuti sunnah Nabi SAW dan Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi SAW dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan ke-Islaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya akan goyah, bahkan bisa jadi akan hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, pada hakekatnya dia bukan bagian dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Asy’ariyah Kebangkitan Kembali Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy`ary. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 Hijriyah dan wafat pada tahun 324 Hijriyah. Beliau merupakan salah satu keturunan shahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Beliau adalah Syeikh Thariqah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, seorang imam para theolog dan penolong sunnah Rasulullah SAW.
Pada mulanya Imam Asy’ari adalah pengikut Abu Ali al-Jubba’i, seorang pemimpin dan theolog Mu’tazilah. Beliau menjadi pengikut Mu’tazilah selama empat puluh tahun, sehingga pada waktu yang lama itu beliau menjadi imam di kalangan Mu’tazilah. Namun semakin lama mendalami konsep theology Mu’tazilah malah menyebabkan kebimbangan dan kebingungan pada diri beliau. Sehingga pada puncaknya beliau mengasingkan diri di dalam rumahnya selama lima belas hari. Setelah itu, beliau keluar dari rumahnya menuju ke masjid dan naik ke atas mimbar, mengumumkan kepada masyarakat bahwa beliau telah mencabut akidah yang selama ini dianut dan diyakininya. Beliau kemudian menyerahkan beberapa kitab yang sesuai dengan akidah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya (akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah) kepada masyarakat.
Kisah keluarnya Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary dari kubangan Mu’atazilah bermula ketika beliau tidur di malam-malam sepuluh hari pertama bulan Ramadhan. Dalam tidurnya itu beliau bermimpi bertemu dengan Nabi SAW. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Ketika bangun dari tidurnya, beliau merasakan beban masalah yang sangat berat. Beliau selalu memikirkan mimpi itu dan merasa gelisah.
Pada pertengahan Ramadhan (sepuluh hari kedua), beliau kembali bermimpi bertemu Nabi SAW untuk yang kedua kalinya. Dalam mimpi yang kedua ini, Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang telah engkau perbuat pada apa yang telah aku perintahkan?” Beliau berkata: “Wahai Rasulallah, gerangan apa yang harus aku lakukan, sementara aku telah menyebarkan ajaran-ajaran yang benar kepada umat ini dari madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan darimu.” Rasulullah bersabda: “Tolonglah madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Ketika terbangun dari mimpinya, beliau sangat menyesal dan sedih. Beliau sepakat untuk meninggalkan ilmu kalam dan mengikuti hadits serta terus-menerus membaca al-Qur’an. Hingga tiba saatnya pada tanggal dua puluh tujuh Ramadhan, seperti biasanya beliau selalu menghidupkan malam itu. Namun pada waktu itu rasa ngantuk menyerang beliau, sehingga beliau tertidur. Dalam tidurnya itu, beliau kembali bermimipi bertemu Rasulallah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada beliau: “Apa yang telah engkau kerjakan terhadap apa yang telah aku perintahkan?” Beliau menjawab: “Wahai Rasulullah Aku telah meninggalkan ilmu kalam dan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnahmu.” Rasulullah bersabda: “Aku tidak memerintahkanmu untuk meninggalkan ilmu kalam, aku hanya memerintahmu untuk menolong madzhab-madzhab yang telah diriwayatkan dariku, karena madzhab-madzhab itulah yang benar.” Imam Asy’ary berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana aku meninggalkan madzhab yang telah aku gambarkan permasalahan-permasalahnnya dan aku telah mengetahui dalil-dalilnya selama tiga puluh tahun untuk berpendapat.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya aku tidak mengetahui bahwasanya Allah SWT akan menganugerahkan padamu karunia dari sisi-Nya, maka aku tidak akan berdiri di hadapanmu, sehingga aku menjelaskan maksud dalil-dalil itu. Bersunguh-sungguhlah, karena sesungguhnya Allah akan menganugerahkan karunia dari sisi-Nya kepadamu.” Imam Abu al-Hasan terbangun dari mimpinya dan berkata: “Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” [Q.S. Yunus: 32] Setelah peristiwa itu beliau membela aqidah-aqidah Ahlu Sunnah, khususnya tentang masalah yang berkaitan dengan melihat Allah SWT dan syafaat yang diingkari oleh kaum Mu’tazilah.
Selain sebagai ahli theolog dan berbagai disiplin ilmu yang lain, al-Imam al-Asy’ary juga merupakan Imam dalam tashawuf. Orang-orang yang pernah berkumpul bersama beliau menuturkan bahwa beliau selama dua puluh tahun mengerjakan shalat subuh dengan wudlu shalat isya’. Beliau makan dari hasil tanah yang diwakafkan kakeknya Bilal bin Abu Bardah bin Abu Musa al-Asy’ary kepada anak cucunya. Nafkah beliau dalam setahun hanya tujuh belas dirham. Untuk bekal hidupnya, beliau menghabiskan satu dirham lebih sedikit setiap bulannya.
Sebagian orang menyangka bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary bermadzhab Maliki, padahal hal itu tidak benar. Yang benar beliau adalah seorang yang bermadzhab Syafi’i. Beliau mendalami madzhab Syafi’i kepada Syeikh Abu Ishaq al-Maruzi sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Syeikh Abu Bakar Ibnu Fauruq dalam Thabaqat al-Mutakallimin dan Syeikh Abu Ishaq al-Isfiraini yang dinukil oleh Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini dalam Syarh al-Risalah. Sedangkan yang bermadzhab Maliki adalah al-Qadli Abu Bakar bin al-Baqilani, seorang tokoh besar madzhab Asy’ariyah.
Karya-karya Imam al-Asy’ari
Abu Muhammad bin Hazm menuturkan bahwa karya-karya Imam al-Asy’ari mencapai lima puluh lima karya tulis. Namun pendapat ini ditolak oleh Ibnu Asakir, kemudian beliau menuturkan dari Abu al-Ma’ali bin Abdul Malik al-Qadli, beliau mendengar dari orang yang tsiqat bahwa karya Imam al-Asy’ary lebih dari tiga ratus karya tulis. Karya-karya itu diantaranya adalah: al-Fushul fi al-Rad ‘ala al-Mulhidin, al-Mujiz, al-Istitha’ah, al-Shifat, al-Ru’yah, al-Asma’ wa al-Ahkam, al-Rad ala al-Mujassimah, al-Idlah, al-Luma’ al-Shaghir, al-Luma’ al-Kabir, al-Syarh wa al-Tafshil, al-Muqaddimah, al-Naqdlu ‘ala al-Jubba’i, al-Naqdlu ‘ala al-Balkhi, Maqalat al-Muslimin, Maqalat al-Mulhidin, al-Jawabat fi al-Shifat ‘ala al-I’tizal, al-Rad ‘ala Ibnu Rawandi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hakekat Madzhab Asy’ariyah
Perlu diketahui bahwa Imam al-Asy’ary tidaklah membuat madzhab baru, beliau hanyalah merumuskan kembali akidah-akidah yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Namun ternyata masih ada saja sekelompok orang yang mencela dan menghina madzhab Asy’ariyah, bahkan menuduhnya sebagai madzhab yang sesat. Hal itu tidaklah mengherankan, karena zaman dulupun juga telah ada sekelompok orang yang menganggap sesat dan mengkafirkan Asy’ariyah. Qadli al-Qudlat Abu Abdillah al-Damaghani al-Hanafi mengatakan bahwa orang yang mengatakan demikian sungguh telah melakukan bid’ah dan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Lebih lanjut Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi mengungkapkan bahwa Asy’ariyah adalah esensi dari Ahlu Sunnah itu sendiri dan penolong syariah yang bangkit menentang kelompok-kelompok ahli bid’ah seperti Qadariyah, Rafidhah dan kelompok-kelompok lain yang menyimpang. Barang siapa yang mencela mereka, maka sesungguhnya ia telah mencela Ahlu Sunnah. Lebih lanjut lagi al-Imam al-Qusyairi mengatakan bahwa Ashab al-Hadits telah sepakat bahwa Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary adalah salah seorang imam dari para imam Ashab al-Hadits. Madzhab beliau adalah madzhab Ashab al-Hadits. Beliau telah mengulas tentang pokok-pokok agama (ushuluddin) sesuai manhaj Ahlu Sunnah. Beliau telah membantah teori-teori kalam yang digagas oleh kelompok-kelompok yang menyimpang. Beliau laksana pedang yang terhunus, yang siap membantai Mu’tazilah, Rafidhah dan kelompok-kelompok ahli bid’ah yang menyimpang dari Islam. Barang siapa yang mencela, mencaci atau melaknat beliau maka sungguh ia telah menghina dan mencaci semua kelompok Ahlu Sunnah.
Ketidaktahuan terhadap hakekat madzhab Asy’ary itulah yang menyebabkan mereka berani mencela Asy’ariyah, hingga menyebabkan Ahlu Sunnah tercabik-cabik dan terpecah belah. Sebagian dari mereka yang tidak tahu hakekat madzhab Asy’ariyah ini menuduh bahwa Asy’ariyah adalah kelompok yang sesat seperti ahli bid’ah yang lain. Kita tidak tahu bagaimana cara pandang mereka dalam memahami madzhab yang murni ini, sehingga menyamakan dengan madzhab ahli bid’ah seperti Mu’tazilah dan yang lainnya. Allah SWT berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ. مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ. [القلم/35، 36]
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimana kamu mengambil keputusan?” [Q.S. al-Qalam: 35-36]
Padahal Asy’ariyah terdiri dari para ulama Ahli Hadits, Ahli Fiqih, Ahli Tafsir dan ilmu-ilmu yang lain. Aqidah beliau diikuti oleh para ulama’ Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para pembesar Madzhab Hambali. Kebesaran madzhab Asy’ariy juga diakui oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berkata: “Para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asy’ariyah adalah penolong ushuluddin (aqidah).”
Pengikut Imam al-Asy’ary terdiri dari para imam-imam besar di masanya yang kredibilatasnya sudah tidak dipertanyakan lagi. Diantara mereka yang berada di bawah bendera Asy’ariyah adalah: al-Imam Abu Said al-Isma’ili, al-Qadli Abu Bakar bin al-Baqilani, al-Qadli Abdul Wahhab al-Maliki, al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi, al-Khatib al-Baghdadi al-Hafidz, Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi penulis kitab Risalah al-Qusyairiyah yang menjadi rujukan utama ilmu tashawuf, Syeikh Abu Ishaq al-Syaerazi pemilik kitab al-Muhadzdzab sebagai salah satu kitab induk dalam Madzhab Syafi’i, Imam al-Haramain penulis kitab Nihayat al-Mathlab, Hujjatul Islam al-Ghazali yang kebesaran namanya sudah diakui oleh dunia, Imam Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir, Sulthan al-Ulama Izzuddin bin Abdissalam, Imam al-Nawawi pemilik Syarah Shahih Muslim dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai kitab rujukan madzhab Syafi’i, Syeikhul Islam Ibnu Daqiqil ‘Id, Syeikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, seorang pakar hadits yang telah disepakati kepakarannya, Imam Taqiyuddin al-Subuki, Imam Tajuddin al-Subuki, Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari, al-Imam al-Suyuthi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami pemilik kitab al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair dan masih banyak lagi para ulama pengikut madzhab Asy’ariyah yang tentunya akan membutuhkan berjilid-jilid buku jika harus disebutkan satu persatu diantara mereka.
Lalu bagaimana bisa kita mengatakan bahwa mereka semua itu bukanlah Ahlu Sunnah? Kebaikan apa yang bisa kita harapkan jika kita menuduh ulama-ulama kita dan para salaf shaleh sebagai orang yang sesat dan menyimpang? Bagaimana Allah SWT bisa membuka hati kita untuk menimba ilmu mereka jika dalam hati kita mempunyai keyakinan bahwa mereka telah menyimpang dan berpaling dari ajaran Islam? Jika para ulama di atas bukanlah Ahlu Sunnah, lalu siapakah Ahlu Sunnah?
Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
BalasHapusartikel yang bgus dan menambah wawasan. Memang sungguh sangat disayangkan di akhir jaman ini begitu banyak muncul orang2 yang meremehkan para ulama terdahulu, seolah-olah orang2 awam ini sudah cukup mampu untuk tidak bertaklid dan mencari pemahaman sendiri. Semoga saja Allah memberikan hidayah kepada umat Rasulullah SAW... Amin