Kamis, 26 November 2009

ZIARAH KE MAKAM NABI SAW


Seseorang yang melakukan ibadah haji rasanya tidak afdlal jika tidak berziarah ke makam Nabi SAW. Ziarah ke makam Nabi SAW merupakan bentuk taqarrub kepada Allah SWT yang sangat mulia. Hal itu telah disepakati oleh mayoritas kaum muslimin setiap masa hingga saat ini.

 Hujah-Hujah Kesunahan Ziarah ke Makam Nabi SAW

1.    Kesunahan ziarah ke makam Nabi SAW secara umum termasuk dalam kesunahan untuk berziarah kubur. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi SAW sendiri, bahwa beliau tiap malam selalu pergi untuk berziarah ke pemakaman Baqi'. Beliau mengucapkan salam kepada para penghuni pemakaman Baqi', kemudian mendoakan dan memintakan ampun untuk mereka. Kisah itu banyak dituturkan dalm hadits-hadits shahih.[1] Dan sudah maklum bagi kita bahwa makam Rasulullah SAW juga termasuk di dalamnya, bahkan lebih utama untuk diziarahi, sehingga berziarah ke makam Nabi juga berlaku hukum semacam itu, yaitu sunah.

2.    Kesunahan ziarah ke makam Nabi SAW juga berdasarkan ijma' para shahabat, tabi'in dan para ulama setelah mereka yang berziarah ke makam Nabi SAW.

3.    Perbuatan mayoritas shahabat yang berziarah ke makam Nabi SAW. Di antara mereka adalah Shahabat Bilal RA, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dengan sanad yang jayyid (baik) dan Ibnu Umar RA, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa', juga Abu Ayyub, sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal RA.

4.    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad RA dengan sanad yang shahih. Ketika Rasulullah SAW mengutus Shahabat Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau keluar bersama Shahabat Mu'adz sambil berwasiat kepadanya. Waktu itu Shahabat Mu'adz menunggangi kendaraannya, sedangkan Rasulullah SAW berjalan di bawah kendaraan yang ditunggangi Shahabat Mu'adz. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Mu'adz, barangkali engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku setelah tahunku ini, atau barang kali engkau akan melewati masjidku ini dan kuburku." Shahabat Mu'adz lalu menangis karena sangat sedih akan berpisah dengan Rasulullah SAW.[2]  Redaksi hadits tersebut seolah-olah merupakan pesan Nabi SAW kepada Shahabat Mu'adz agar beliau mengunjungi masjid dan makam Nabi SAW ketika beliau kembali ke Madinah.[3]

Dari keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ziarah ke makam Nabi SAW merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam agama Islam.

Analisis Hadits Tetang Keutamaan Ziarah ke Makam Nabi SAW

Ziarah ke makam Nabi SAW mempunyai faedah yang sangat besar sekali. Di antara faedah itu adalah orang yang berziarah ke makam Nabi seolah-olah ia telah berziarah kepada Nabi sewaktu beliau hidup, ia juga dijanjikan surga dan akan mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits disebutkan:

مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي.

"Barang siapa yang menziarahi aku setelah aku wafat, maka seolah-olah ia telah menziarahi aku ketika aku masih hidup."

Dalam redaksi lain disebutkan:

وَمَنْ زَارَ قَبْرِي فَلَهُ الْجَنَّةُ.

"Barang siapa yang berziarah ke makamku, maka surgalah baginya."

Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dua hadits di atas sanadnya berbeda. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dari jalur Harun Abi Qaza'ah, dari seorang laki-laki dari keluarga Hathib, dari Hathib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa meziarahi aku setelah kematianku, maka seolah-olah ia telah meziarahi aku ketika aku masih hidup."[4] Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang laki-laki (rawi) yang tidak diketahui biografinya. Al-Daruquthni juga meriwayatkan dengan redaksi: "Barang siapa yang melakukan ibadah haji, lalu berziarah ke kuburku setelah aku wafat, maka seolah-olah ia berziarah kepadaku ketika aku masih hidup."[5] Hadits tersebut juga diriwayatkan al-Thabrani[6] dan al-Fakihani[7] dari jalur Hafs bin Abi Dawud, dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Umar. Juga diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam Musnadnya dan Ibnu 'Addi dalam al-Kamil.[8]

Dua jalur hadits di atas (Riwayat al-Daruquthni dan al-Thabrani) adalah dloif. Hafsh (Hafsh bin Abi Dawud) adalah Ibnu Sulaiman yang merupakan dloif al-hadits (perawi hadits dlaif), walaupun Imam Ahmad mengatakan bahwa ia adalah shalih.[9] Adapun riwayat al-Thabrani terdapat rawi yang tidak diketahui biografinya. Hadits itu juga diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam al-Dlu'afa' al-Kabir dari hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.[10] Dalam sanad tersebut terdapat Fadlalah bin Sa'id yang dloif.

Hadits kedua diriwayatkan oleh al-Daruqutni dari jalur Musa bin Hilal al-'Abdi, dari Ubaidillah bin Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dengan redaksi:

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ.

"Barang siapa menziarahi kuburku, maka wajib baginya memperoleh syafaatku."[11]

Imam Abu Hatim mengatakan bahwa Musa bin Hilal adalah majhul (yakni majhul al-adalah, tidak diketahui keadilannya), sedangkan rawi-rawi yang lain adalah tsiqat. Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan hadits ini dari jalur tersebut.

Al-Hafidz al-Bazzar dalam Kasyf al-Astar juga meriwayatkan dari jalur Zaid bin Aslam, dari Ibnu Umar sebagaimana yang diungkapkan al-Hafidz al-Haitsami dalam Majma' al-Zawaid. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Ibrahim al-Ghifari yang merupakan rawi dloif.

Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dari hadits Abi Dawud al-Thayalisi, dari Sawwar bin Maimun, dari seorang laki-laki dari keluarga Umar, dari Umar dengan redaksi: "Barang siapa menziarahi kuburku, maka aku akan menjadi penolong baginya."[12] Lalu al-Baihaqi mengatakan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat rawi yang tidak diketahui identitasnya. Berkaitan dengan hal ini al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman juga meriwayatkan hadits dari jalur Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik, dari Abu al-Mutsanna Sulaiman bin Yazid al-Ka'bi, dari Anas bin Malik.[13]

Setelah menganalisis hadits di atas dari berbagai sanad, maka al-Hafidz Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa semua jalur sanad hadits tersebut adalah dlaif. Akan tetapi Imam Abu Ali bin al-Sakani menshahihkannya dari jalur Ibnu Umar ketika menuturkannya dalam kitab al-Sunan al-Shihah, lalu Imam Abdul Haq juga meshahihkannya dalam al-Ahkam al-Wustha. Demikian juga Imam Taqiyuddin al-Subuki dengan memandang banyaknya jalur.[14]

Maka jelaslah dari analisis di atas bahwa hadits-hadits tersebut walaupun sanadnya dlaif akan tetapi saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya sehingga naik statusnya menjadi hasan lighairih.

Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang derajatnya dibawah shahih lidzatihi, seperti shahih lighairihi, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi juga bisa dijadikan sebagai hujjah suatu amalan. Dan kalau kita teliti bahwa hadits Ziarah Nabi SAW minimal termasuk dalam kategori hasan lighairihi alladzi yuhtajju bihi (yang dapat digunakan sebagi hujjah suatu amalan). Imam al-Sakhawi dalam Fath al-Mughitsnya berkata: “Sesungguhnya hasan lighairihi disamakan dengan hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi hal itu berlaku pada hadits yang jalurnya banyak. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam sebagian hadits: “Hadits-hadits ini walaupun sanad-sanadnya dlaif, maka berkumpulnya sanad-sanad tersebut menyebabkan sebagian hadits menguatkan sebagian yang lain dan jadilah hadits tersebut sebagai hadits hasan yang bisa dijadikan sebagai hujjah.” Imam Nawawi juga berkata: ”Hadits dlaif ketika jalurnya terbilang (banyak) maka derajatnya naik dari dlaif menjadi hasan. Maka jadilah hadits tersebut sebagai hadits yang maqbul (diterima) dan diamalkan.” Hal itu juga telah disampaikan lebih dahulu oleh Imam al-Baihaqi, beliau menguatkan hadits-hadits dlaif karena berasal dari jalur yang banyak.[15]

Hadits hasan lighairihi adalah hadits dlaif ketika jalurnya terbilang (banyak) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau dustanya rawi. Mengenai hadits-hadits tersebut Imam al-Dhahabi berkata: "Jalur sanad-sanad hadits tersebut adalah lemah yang sebagian menguatkan terhadap sebagian yang lain dan para perawinya tidak ada yang dituduh berdusta (muttaham bil kidzb).[16]

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dlaif derajatnya bisa naik menjadi hasan karena dua hal:

1.    Diriwayatkan dari jalur lain satu atau lebih, baik jalur yang lain itu sama kualitasnya atau lebih kuat.

2.    Kedlaifan hadits disebabkan adakalanya karena buruknya hafalan rawi, terputus dari sanadnya atau biografi rawi yang tidak diketahui.[17]

Kehujjahan hadits hasan lighairih juga telah difatwakan oleh Komisi Fatwa ulama Saudi Arabia yang pada waktu itu diketuai oleh Syeikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz.[18]


[1] Shahih Muslim, no. 2299, Shahih Ibnu Hibban, no. 3172 dll.

[2] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, no. 22105.

[3] Said Ramdhan al-Buthy, Fiqh Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, 475.

[4] Sunan al-Daruquthni, no. 193.

[5] Ibid., no. 192.

[6] Al-Thabrani, al-Mu'jam al-Kabir, no. 13497  dan Mu'jam al-Ausath, no. 287.

[7] Al-Fakihani, Akhbar al-Makkah, no. 901.

[8] Ibnu 'Addi, al-Kamil fi Dlu'afat al-Rijal, no. 1834.

[9] Imam Ahmad mentsiqahkannya dan didloifkan oleh para imam yang lain. (Majma' al-Zawaid: 3/666.)

[10] Al-Uqaili, al-Dlu'afa' al-Kabir, no. 1664 dan 1920 dengan redaksi yang berbeda.

[11] Sunan al-Daruquthni, no. 194.

[12] Al-Baihaqi, al-Sunan al-Baihaqi, no. 10572.

[13] Al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman, no. 4157 dan 4158 dengan redaksi yang berbeda.

[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi'i al-Kabir: 2/568.

[15] Jamaluddin al-Qasimi, Qawaid al-Tahdits: 1/66

[16] Lihat penjelasannya dalam Fatawi al-Azhar: 8/106.

[17] Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 43.

[18] Fatawi al-Lajnah al-Daimah al-Majmu'ah al-Ula: 4/369.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar