A. Definisi
Secara etimologi kata dlaif mempunyai makna kebalikan dari kuat (dliddul qawi). Sedangkan secara terminologi adalah hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat hadits qabul[1] dengan tidak terpenuhinya salah satu syarat dari beberapa syarat hadits qabul.[2] Dalam Alfiyahnya, Imam Suyuthi mengatakan:
هُوَ الَّذِي عَنْ صِفَةِ الحُسْنِ خَلا # وَهْوَ عَلَى مَرَاتِبٍ قَدْ جُعِلا
"Hadits dlaif adalah hadits yang sepi dari sifat hasan. Hadits dlaif terbagi menjadi beberapa tingkatan."[3]
Sifat hasan[4] tersebut ada enam, yaitu sanadnya bersambung, para perawi yang adil ('adalatur ruwat), para perawi yang dlabit (dlabtur ruwat), adanya mutaba'ah (penguat eksternal) pada rawi yang mastur (tidak diketahui biografinya), tidak syadz ('adamus syudzudz) dan tidak terdapat illat ('adamul 'illat).[5]
Hadits dlaif juga disebut sebagai hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum syar'iyyah.[6]
B. Macam-macam Hadits Dlaif
Hadits dlaif terbagi menjadi sangat banyak sekali. Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dlaif. Abu Hatim Ibnu Hibban mengklasifikasikan hadits dlaif menjadi 49 macam.[7] Sementara al-Hafidz al-Iraqi membaginya menjadi 42 macam[8], dan sebagian ulama yang lain ada yang mengklasifikasikannya menjadi 81, 129[9], bahkan hingga mencapai 381 macam.[10] Namun menurut Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki pembagian tersebut tidaklah memberikan faedah yang besar. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa pembagian tersebut sangat melelahkan (bersusah payah) dan tidak ada kebutuhan di balik semua itu. Para ulama yang berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan hadits dlaif tidak memberi nama tertentu bagi msing-masing klasifikasi itu kecuali hanya sedikit saja. Mereka juga tidak mengkhususkan nama tertentu dari hadits-hadits yang dlaif tersebut.[11]
C. Status Kehujjahan
Para ulama berbeda pendapat mengenai status kehujjahan hadits dlaif;
1. Kelompok pertama
Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak dapat dipakai untuk apapun saja. Baik masalah keutamaan (fadhilah), nasehat atau peringatan. Apalagi dalam masalah hukum dan aqidah, tidak ada tempat untuk hadits dhaif menurut mereka. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Sayyidin Nas dari Yahya bin Ma'in. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Abu Bakar bin al-Arabi. Pendapat ini juga yang dipakai oleh Imam Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.[12]
2. Kelompok kedua
Mereka adalah kalangan yang menerima hadits dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut ada enam. Empat di antaranya telah disepakati oleh para ulama. Syarat kelima sebagai penjelas dan oleh sebagian ulama ditinggalkan. Sedangkan syarat keenam diperselisihkan, menurut pendapat yang arjah tidak termasuk dalam syarat-syarat tersebut.[13]
Syarat-syarat tersebut adalah :
a. Hadits dhaif tersebut hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan (fadlailul a'mal). Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
b. Hadits itu tidak terlalu parah kedhaifannya. Sedangkan hadits dhaif yang perawinya sampai ke tingkat pendusta atau tertuduh sebagai pendusta atau parah kerancuan hafalannya maka hadits dhaif semacam itu tidak diterima.
c. Hadits dhaif tersebut berada di bawah kaidah dasar umum yang diamalkan.
d. Ketika mengamalkan jangan disertai keyakinan tsubutnya (tetapnya) hadits itu, melainkan hanya sekedar hati-hati.
e. Tidak bertentangan dengan hadits shahih.
f. Tidak meyakini kesunahannya.
3. Kelompok ketiga
Mereka adalah kalangan yang mau menerima hadits dhaif secara bulat, asal bukan hadits palsu (maudlu’). Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad RA Karena bagi kalangan ini selemah-lemahnya hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari pendapat manusia.[14]
Dari ketiga kelompok di atas menurut Dr. Muhammad Ajaj al-Khathib yang paling selamat adalah kelompok pertama.[15] Namun menurut penulis pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang kedua sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama.[16] Kelompok pertama yang mengatakan bahwa hadits dlaif tidak bisa diamalkan secara muthlak, maksudnya adalah hadits dlaif yang amat sangat lemah sehingga gugur dari derajat ihtijaj dan I'tibar.[17] Sedangkan yang dimaksud hadits dlaif yang bisa diamalkan oleh kelompok ketiga adalah hadits-hadits yang jalurnya banyak dan para perawinya tidak ada yang tertuduh sebagai pembohong dan syadz, atau yang oleh Imam Tirmidzi disebut sebagai hadits hasan. Karena menurut kelompok ini (Imam Ahmad) hadits dlaif terbagai menjadi dua; dlaif yang matruk (ditinggalkan) dan dlaif yang hasan. Dan hadits-hadits ini (hasan menurut istilahnya Imam Tirmidzi) oleh Imam Ahmad dikatakan sebagai dlaif dan bisa dijadikkan sebagai hujjah.[18]
Jadi, menurut kami antara kelompok pertama dan kelompok ketiga tidaklah terjadi perbedaan, karena term hadits dlaif yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut tidaklah sama pengertiannya.
D. Hubungan Dengan Hadits Maudlu'
Hadits maudlu' adalah hadits yang dibuat-buat dan kemudian dinisbatkan bahwa itu adalah sabda, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW, padahal Nabi SAW tidak pernah melakukan itu.[19] Hadits maudlu' merupakan hadits dlaif yang paling buruk. Sebagian ulama menganggap bahwa hadits maudlu' bukan bagian dari hadits dlaif, tapi merupakan bagian tersendiri dalam klasifikasi hadits.[20]
E. Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Dlaif.
Ada tiga klasifikasi kitab-kitab yang memuat hadits dlaif;
1. Kitab-kitab yang ditulis dalam rangka menjelaskan hadits-hadits dlaif (di dalamnya hanya terdapat hadits dlaif) seperti kitab al-Dlu'afa' al-Kabir yang ditulis oleh Imam al-Uqaili.
2. Kitab-kitab yang berisi khusus macam-macam hadits dlaif, seperti kitab al-Marasil yang ditulis oleh Imam Abu Dawud dan kitab al-Ilal yang ditulis oleh Imam al-Daruquthni.
3. Kitab-kitab yang di dalamnya berisi berbagai macam hadits, baik shahih, hasan maupun dlaif, seperti kitab sunan yang empat (Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah)[21], Musnad Imam Ahmad[22] dan masih banyak lagi yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ishaqy, Hadlratus Syeikh Ahmad Asrori RA, al-Muntakhabat fi Rabithat al-Qalbiyah wa Shilat al-ruhiyah. Surabaya: Al-Khidmah, 2007.
Al-Iraqi, Zainuddin Abdirrahman bin al-Husain. al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah. Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1969.
---------, Fath al-Mughits. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001.
Al-Khathib, Ajaj. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.
Al-Maliki, Sayiyid Alwi. al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif.
Al-Maliki, Muhammad bin Alwi. al-Manhal al-Lathif. Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 2000.
Al-Suyuthi, Alfiyah al-Suyuthi.
--------------, Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah.
Al-Thahan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadits, t.t.
Masyath, Hasan Muhammad. al-Taqrirat al-Saniyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996.
Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006.
Syuhbah, Abu. al-Wasit.
Soft Ware al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Tsani
Taimiyah, Ibnu. Majmu' Fatawi.
[1] Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 66.
[2]Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 2006, 222. Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2006, 65. Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 52.
[3] Al-Suyuthi, Alfiyah al-Suyuthi, 1/8.
[4] Dalam redaksi lain menggunakan kata qabul sebagai pengganti hasan, sebagaimana dalam Tadrib al-Rawi, 1/179.
[5] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, 1/179. Zainuddin Abdirrahman bin al-Husain al-Iraqi, al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddimah Ibnu Shalah. Madinah: Maktabah al-Salafiyah, 1969, 63.
[6] Hasan Muhammad Masyath, al-Taqrirat al-Saniyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1996, 16.
[7] Ibnu Shalah, 65.
[8] Al-Iraqi, Fath al-Mughits. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001, 67. Muhammad bin Alwi, 66.
[9] Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi: 1/179.
[10] Abu Syuhbah, al-Wasit, 276. (dalam foot note Muqaddimah Ibnu Shalah, 65).
[11] Muhammad bin Alwi, 67.
[12] Ajaj al-Khathib, 231.
[13] Hadlratus Syeikh Ahmad Asrari al-Ishaqy RA, al-Muntakhabat fi Rabithat al-Qalbiyah wa Shilat al-ruhiyah. Surabaya: Al-Khidmah, 2007, 1/483.
[14] Ajaj al-Khathib, 232.
[15] Ibid.
[16] Mahmud, 54.
[17] Sayiyid Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif fi Ahkam al-Hadits al-Dlaif, 13.
[18] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawi, 1/76.
[19] Ajaj, 275, al-Iraqi, 131, Muhammad bin Alwi, 147 dan Mahmud Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits, 75.
[20] Mahmud, 75.
[21] Ajaj, 210.
[22] Ibid., 215.