Jumat, 01 Januari 2010

BOLEHKAH MEMPELAJARI SIHIR?


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ. [البقرة/102]

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui." [Q.S. al-Baqarah: 102].

Dari ayat di atas, dapat kita ketahui:

1.    Bahwa sihir hakekatnya memang ada dan terdapat dalam sejarah. Terlepas apakah sihir itu merupakan tipu daya hingga menyebabkan manusia melihat sesuatu pada selain hakekat sesuatu itu, atau keberadaan sihir yang memang dapat mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Al-Qur'an mengungkapkan tentang perbuatan para tukang sihir dengan ungkapan: "Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)." [Q.S. al-A'raf: 116]. Dalam ayat lain dikatakan: "Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka." [Q.S. Thaha: 66].

2.    Hal yang wajib kita imani adalah bahwa tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular bukanlah sihir, melainkan mukjizat dari sisi Allah SWT. Perubahan tongkat yang tidak bernyawa menjadi ular yang dapat bergerak merupakan kekuasaan Allah SWT.

3.    Sihir mempunyai pengaruh, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: "Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya." [Q.S. al-Baqarah: 102].

4.    Pengaruh yang ditimbulkan oleh sihir tiada lain karena atas izin Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah." [Q.S. al-Baqarah: 102].

5.    Sihir merupakan salah satu bentuk kekufuran. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: "Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Juga firman Allah SWT: "Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Namun dimanakah letak kekufuran dalam sihir? Apakah mempelajarinya, mengajarkannya, melakukanya, atau karena mempunyai keyakinan bahwa sihir itu mempunyai pengaruh dengan sendirinya di luar kehendak Allah SWT? Para ulama berbeda pendapat seputar pertanyaan-pertanyaan ini. Namun dari beberapa pendapat itu, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.    Meyakini bahwa efek yang ditimbulkan oleh sihir di luar kehendak Allah adalah kufur, dan inilah yang disepakati oleh para ulama.

b.    Mempraktekkan sihir untuk mencelakai manusia adalah haram, walaupun disertai dengan keyakinan bahwa yang menyebabkan itu semua adalah Allah SWT, karena dalam Islam terdapat prinsip "la dlarara wala dlirara" (seseorang tidak boleh mencelakai dirinya sendiri dan tidak boleh mencelakai orang lain). Artinya Islam melarang pemeluknya untuk mencelakai dirinya sendiri dan juga mencelakai orang lain.

c.     Para ulama banyak menyinggung tentang hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin al-A'sham telah menyihir Nabi SAW. Hadits itu diakui keshahihannya oleh para ulama ahli hadits. Mereka mengatakan bahwa hal itu boleh saja terjadi pada diri Nabi SAW, karena sihir itu termasuk salah satu jenis penyakit yang menimpa manusia, sehingga hal itu tidak mengurangi derajat Nabi SAW sebagai seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang dimaksud dalam firman Allah SWT: "Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia." [Q.S. al-Maidah: 67], maksudnya adalah pemeliharaan hati dan iman, bukan pemeliharaan jasad, karena anggota tubuh Rasulullah SAW banyak mengalami cidera ketika berperang. Beliau juga dianiaya oleh orang-orang Quraisy.[1]

 

Bolehkah mempelajari sihir?

Sebagian ulama berpendapat mempelajari sihir hukumnya boleh, dengan landasan bahwa malaikat mengajarkan sihir kepada manusia, sebagaimana yang telah dikisahkanoleh al-Qur'an: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Ulama yang cenderung berpendapat semacam ini di antaranya adalah Imam Fakhruddin al-Razi yang merupakan ulama Ahlusunnah.

Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa belajar atau mengajarkan sihir hukumnya haram. Alasannya karena al-Qur'an telah mengecamnya dan menjelaskan bahwa sihir adalah kufur. Lalu bagaimana bisa dikatakan boleh? Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda bahwa sihir termasuk dalam kelompok dosa besar yang keji. Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang merusak (dosa besar). Para shahabat bertanya, "Apa saja ketujuh perkara itu wahai Rasulullah?" Maka Rasulullah SAW bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin." [H.R. Bukhari, Muslim dll.].

Imam al-Razi yang cenderung mengatakan bahwa belajar sihir diperbolehkan beralasan pada kesepakatan para ulama yang memandang bahwa sesungguhnya ilmu sihir tidaklah jelek dan dilarang, karena semua ilmu esensinya adalah mulia berdasarkan keumuman firman Allah SWT: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" [Q.S. al-Zumar: 9]. Seandainya seseorang tidak mengetahui sihir, lantas bagaimana mampu ia membedakan antara sihir dengan mukjizat dan sihir dengan karamat. Lalu bagaimana mempelajarinya dikatakan haram dan terlarang?

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mempelajari sihir adalah wajib bagi seorang mufti agar ia mengetahui, mana korban yang dibunuh dengan sihir dan mana yang bukan, sehingga ia bisa memutuskan qishash pada oknum yang melakukan sihir hingga menyebabkan kematian.

Di sisi lain Imam al-Alusi mengatakan bahwa pendapat yang benar menurut beliau adalah haram mempelajari sihir sebagaimana yang telah diungkapkan oleh mayoritas ulama, kecuali jika ada dorongan syara'.

Imam al-Alusi lalu menanggapi pendapat yang disampaikan oleh Imam al-Razi sebagai berikut:

1.    Kami (mayoritas ulama) tidak mengklaim bahwa ilmu sihir itu esensinya jelek. Kejelekan ilmu sihir disebabkan karena efek-efek negatif yang ditimbulkan dari ilmu itu. Maka mengharamkannya termasuk dalam rangka saddu al-dzarai' (menutup perantara yang dapat membawa pada hal-hal yang negatif).

2.    Tidaklah dapat dibenarkan jika seseorang harus belajar sihir karena faktor untuk membedakan antara sihir dengan mukjizat. Karena untuk mengetahui perbedaan antara maukjizat dan sihir tidaklah bergantung harus mempelajari ilmu sihir. Mayoritas ulama atau semua ulama yang mengetahui perbedaan antara sihir dan mukjizat tidaklah mempunyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Sehinnga, seandainya belajar ilmu sihir merupakan kewajiban, maka kita pasti akan mengerti bahwa orang-orang yang paling tahu tentang hal itu adalah para ulama generasi awal.

3.    Apa yang dinukil dari sebagian ulama yang berpendapat, "Bahwa mempelajari sihir adalah wajib bagi seorang mufti agar ia mengetahui mana korban yang dibunuh dengan sihir dan mana yang bukan, sehingga ia bisa memutuskan qishash pada oknum yang melakukan sihir hingga menyebabkan kematian." tidaklah benar. Fatwa seorang mufti berkaitan adanya hukum qishah atau tidak bagi pelaku sihir tidak ditentukan oleh pengetahuan mufti tentang sihir, karena bentuk fatwanya –sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Hajar– terjadi ketika ada dua orang saksi yang adil dan memiliki pengatahuan tentang sihir yang telah bertaubat dari sihir, bahwa seseorang itu terbunuh karena sihir, sehingga menyebabkan tukang sihir itu wajib untuk diqishah.

Imam Ibnu Hayyan berpendapat bahwa hukum sihir dengan cara mengagungkan selain Allah seperti setan-setan atau bintang-bintang hukumnya kufur sesuai kesepakatan ulama, sehingga tidak boleh dipelajari dan diamalkan. Demikian juga sihir yang dipelajari untuk maksud yang dilarang oleh syara', seperti untuk mengadu domba, memisahkan suami istri, atau di antara teman-temannya dll. Macam sihir yang tidak diketahui juga tidak boleh dipelajari dan diamalkan. Sedangkan yang termasuk jenis khayalan dan tipuan pandangan mata juga tidak patut dipelajari karena tergolong perkara yang bathil. Tetapi jika maksudnya hanya untuk hiburan dan permainan, hukumnya adalah makruh.[2]


[1] Syeikh Athiyah Shaqar, Fatawi al-Azhar, 10/152.

[2] Syeikh Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Ashriyah, 2008, 1/77-78.

1 komentar:

  1. Salam Ustaz, adakah keseluruhan hadis yg terkandung didalam kitab'جامع الحادث
    karangan Imam Sayuti semuanya sohih?

    BalasHapus