Rabu, 04 Maret 2009

Berdiri Ketika Membaca Maulid


Sesungguhnya dalam perayaan maulid Nabi SAW tidaklah terdapat tata cara tertentu yang harus dilaksanakan seseorang ketika ia ingin mengadakan peringatan maulid. Akan tetapi semua hal yang mengajak kepada kebaikan dan bermanfaat bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat, bagaimanapun bentuknya sudah termasuk dalam kategori perayaan maulid Nabi SAW. Oleh karena itu, seandainya kita berkumpul dengan membaca puji-pujian, keutamaan dan keistimewaan Rasulullah SAW dan kita tidak membaca kisah-kisah maulid Nabi SAW yang biasa dibaca oleh arang-orang ketika mengadakan maulid Nabi, itu semua sudah termasuk dalam kategori memperingati maulid Nabi SAW. Jadi kesimpulannya dalam memperingati maulid Nabi SAW tidaklah harus menggunakan kaifiyah atau tata cara tertentu. Memperingati maulid Nabi SAW bisa dilakukan dengan menggelar suatu acara yang di dalamnya terdapat kebaikan, dengan majlis dzikir, qira'atul qur'an, mau'idhah hasanah ataupun majlis-majlis yang lain.
Adapun berdiri dalam maulid Nabi SAW ketika menuturkan kelahiran Rasulullah SAW dan kemunculan beliau ke dunia ini hanyalah merupakan bentuk apresiasi kebahagiaan atas diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini. Hanya saja sebagian orang berburuk sangka dengan prasangka yang jelek dan tidak mendasar baik itu menurut para ahli ilmu maupun menurut pandangan orang yang paling bodoh yang hadir dalam majlis itu. Mereka menyangka bahwa orang-orang yang berdiri ketika membaca maulid meyakini bahwa pada saat itu Nabi SAW masuk ke dalam majlis itu dengan jasadnya yang mulia. Lebih parah lagi mereka menyangka bahwa bukhur (kemenyan arab) dan wangi-wangian yang lain disediakan untuk Nabi SAW. Kemudian air yang di letakkan di tengah-tengah majlis itu disediakan untuk diminum Rasulullah SAW.
Prasangka-prasangka buruk semacam ini tidaklah pernah terbesit di dalam hati kaum muslimin yang berakal. Dan sesungguhnya kita yang merayakan Maulid Nabi SAW terlepas dari prasangka-prasangka semacam itu. Karena prasangka-prasangka semacam itu merupakan penghinan dan penistaan terhadap kedudukan Rasulullah SAW dan menghukumi jasad Nabi yang mulia dengan sesuatu yang hanya diyakini oleh orang-orang yang kafir dan pendusta. Sedangkan perkara-perkara yang bersifat barzakhiyah (alam barzakh) yang mengetahui hanyalah Allah SWT semata.
Nabi SAW terlalu mulia dari hal-hal semacam itu. Terlalu sempurna dan agung untuk dikatakan bahwa beliau keluar dari kuburnya dan jasad beliau hadir dalam majlis ini, pada jam ini. Semua itu hanyalah kedustaan, penghinaan dan penistaan terhadap kedudukan Nabi SAW dan hanya terlintas dalam hati orang-orang yang sangat benci dan dengki atau orang yang sangat bodoh dan keras kepala.
Kita hanya meyakini bahwa Rasulullah SAW hidup dalam kehidupan barzakhiyah secara sempurna sesuai dengan kedudukannya. Sehingga dengan kehidupannya yang sempurna dan mulia itu, Ruh Nabi SAW berkelana dan bepergian di alam malakut Allah SWT dan memungkinkan untuk hadir dalam majlis-majlis yang penuh dengan kebaikan, petunjuk dan ilmu. Demikian juga arwah-arwah orang-orang mukmin yang ikhlas dari pengikut Nabi SAW. Sungguh Imam Malik RA telah berkata: "Telah sampai padaku bahwa al-Ruh al-Mursalah berkelana sesukanya." Sulaiman al-Farisi berkata: "Arwah orang-orang mukmin di dalam barzakh berkelana sesukanya." [Ibnul Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, 144]. 
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya berdiri (qiyam) dalam peringatan maulid Nabi SAW bukanlah hal yang wajib ataupun sunnah, sehingga tidaklah sah selama-lamanya meyakini hal itu sebagai sunnah atau wajib. Itu semua hanyalah gerakan spontanitas yang diapresiasikan oleh orang-orang yang melakukan maulid karena kebahagian dan kegembiraan mereka. Ketika dituturkan bahwa bahwa Nabi SAW telah dilahirkan ke dunia ini, maka pada saat itu orang-orang yang mendengar akan membayangkan bahwa semua yang ada di alam ini bergetar karena senang dan gembira dengan adanya nikmat ini (kelahiran Nabi SAW) sehingga mereka semua berdiri untuk mengekspresikan kegembiraan dan kebahagiaanya. Hal ini murni merupakan kebiasaan (adat) dan bukanlah termasuk dari agama. Berdiri dalam maulid bukanlah merupakan ibadah, syari'at ataupun hal yang disunnahkan. Berdiri dalam maulid hanyalah kebiasaan yang berlaku di antara manusia. Dan kebiasaan ini telah dianggap baik oleh para ulama, sebagimana yang dituturkan oleh Imam al-Barzanji dalam maulidnya, beliau mengatakan: "Sungguh para ulama telah menganggap baik berdiri ketika menyebut kelahiran Nabi SAW. Maka beruntunglah orang-orang yang mengagungkan Nabi SAW." Imam al-Subuki dan para ulama yang semasa dengan beliau juga menganggap baik hal ini. Beliau bersama para ulama yang lain berdiri ketika mendengarkan pujian-pujian untuk Rasulullah SAW sehingga timbullah suasana damai dalam majlis itu.
[Disarikan dari al-I'lam bi Fatawi A'immah al-Islam Haula Mulidihi SAW, 
oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani]

Keagungan dan Kemuliaan Maulidurrasul SAW.


Seputar kelahiran Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal tahun Gajah. Hari Senin merupakan hari yang mulia. Imam Ahmad, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Qatadah RA, bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hari Senin, beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Imam Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi rasul pada hari Senin, wafat pada hari Senin dan mengangkat Hajar Aswad juga pada hari Senin.” 
Menurut mayoritas ulama beliau dilahirkan pada tangggal 12 Rabiul Awal. Ulama yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 2 Rabiul Awal. Ada lagi yang mengatakan pada tanggal 8 dan yang lainnya mengatakan pada tanggal 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang ahli falak terkenal yang bernama Mahmud Basya dalam kitabnya Nataij al-Afham.

Mengapa Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Rabiul Awal ?
Mungkin dalam benak kita akan muncul suatu pertanyaan: Mengapa Rasulullah SAW -yang merupakan makhluk termulia- dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal bukan pada bulan Ramadlan yang didalamnya telah diturunkan al-Quran al-Karim dan keutamaan-keutamaan yang lain?, tidak dilahirkan pada Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT)?, tidak pada malam Nisfu Sya’ban?, dan juga tidak dilahirkan pada hari Jum’at atau malamnya ? mengapa?... Hal itu tiada lain karena Allah SWT menghendaki bahwa kemuliaan Rasulullah SAW tidak disebabkan oleh kemuliaan tempat dan zaman ketika beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan bulan itulah yang menjadi mulia karena kelahiran Rasulullah SAW. Seandainya Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Ramadlan, Muharram atau bulan-bulan lain yang dimuliakan oleh Allah SWT, niscaya pasti akan muncul suatu asumsi bahwa Rasulullah SAW menjadi mulia karena dilahirkan pada bulan yang mulia. Oleh karena itulah Allah SWT menjadikan kelahiran beliau pada bulan Rabiul Awal (bukan pada Asyhurul Hurum) supaya tampak bahwa keagungan dan kemuliaan Rasulullah SAW bukan disebabkan oleh kemuliaan suatu tempat atau suatu bulan.  
Bukti yang lain bisa kita lihat pada kota Yatsrib (Madinah). Sebelum Rasulullah SAW datang ke kota ini, Madinah adalah kota yang berpenyakit. Akan tetapi setelah kedatangan Rasulullah SAW ke kota ini, maka kota ini menjadi kota yang makmur dan sejahtera. Bahkan seandainya ada seseorang memakan buah dan buah itu jatuh ke tanah, maka hendaknya ia jangan sekali-kali mencuci buah itu, karena debu yang terdapat di kota Madinah al-Munawwarah adalah obat untuk berbagai macam penyakit. Ini semua adalah bukti bahwa kemuliaan Rasulullah SAW bukan berasal dari tempat atau zaman dimana beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan zaman itulah yang menjadi mulia karena adanya beliau. 
Hari kelahiran Rasulullah SAW merupakan hari yang sangat mulia, bahkan lebih mulia dari pada Idul Fitri dan Idul Adha. Karena seandainya tidak ada kelahiran Rasulullah SAW, maka tidak akan pernah ada bi’tsah (kerasulan), tidak akan ada Nuzulul Qur’an, tidak ada Isra’Mi’raj, tidak ada Hijrah, tidak ada pertolongan diwaktu perang Badar dan tidak ada Fathul Al A’dlom (terbukanya kota Makah al-Mukarramah). Karena semua kebaikan itu berhubungan langsung dengan Rasulullah SAW dan sumbernya adalah kelahiran Rasulullah SAW. Oleh karena itu kita sebagai umat beliau yang cinta dan selalu merindukan beliau sudah selayaknya untuk merayakan hari kelahiran beliau sebagai ungkapan rasa syukur kita atas diutusnya beliau sebagai rahmatan lil 'alamin.  

Siapa yang pertama kali merayakan peringatan Maulid Nabi SAW ?
Sebenarnya manusia yang pertama kali melaksanakan peringatan maulid Nabi SAW adalah pemilik maulid itu sendiri, yakni Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yakni ketika Rasulullah SAW ditanya tentang puasa pada hari Senin maka beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Hadits ini merupakan dalil yang paling shohih dan yang paling shorih (jelas) terhadap anjuran untuk merayakan Maulid Nabi SAW. Tidak ada pertentangan mengenai masalah ini. Hanya saja kaifiyah (tata cara) atau bentuknya saja yang berbeda, yang mengalami perkembangan dan perubahan. Peringatan Maulid bukanlah merupakan perkara yang bersifat nash (tertentu). Para ulama sebelum dinasti Fathimiyah sudah memperhatikan hal itu dan mereka mengarang kitab-kitab tertentu untuk dibaca dalam peringatan maulid. Maka dari itu janganlah sekali-kali kita menghiraukan terhadap ucapan orang yang mengatakan bahwa manusia yang pertama kali menyelenggarakan peringatan maulid adalah orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah yang berkuasa di Mesir pada tahun 357 H-567 H karena pendapat ini adakalanya karena kebodohan atau buta terhadap perkara yang hak.  
Adapun orang yang pertama kali menyelenggarakan peringatan Maulidurrasul SAW dalam bentuk perayaan adalah penguasa Irbil Raja al-Mudhoffar Abu Said Kaukabri bin Zainuddin Ali bin Baktakin yang merupakan salah seorang raja yang sangat mulia dan pembesar yang murah hati. Beliau mempunyai peninggalan yang baik dan beliaulah yang membangun Universitas al-Mudloffary di kaki gunung Qasiyun. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al- Bidayah Wa al-Nihayah berkata: “Dialah orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awal dengan perayaan yang besar. Beliau merupakan orang yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Mudah-mudahan Allah SWT mengasihinya dan memuliakan tempat tinggalnya.” 
Jadi jelaslah bahwa pada hakekatnya orang yang melaksanakan Maulidurrasul SAW pertama kali adalah Rasulullah SAW sendiri. Sedangkan orang yang memperingatinya dengan perayaan yang besar adalah seorang raja yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Bukan orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah sebagiamana yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap peringatan Maulidurrasul SAW.  

Komentar para ulama seputar peringatan Maulidurrasul SAW.
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani RA.
Al-Imam al-Hafidz Abu al-Fadl Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani pernah ditanya tentang Maulidurrasul SAW. Maka beliau menjawab bahwa asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari seorangpun dari ulama salafussholih pada abad ke tiga. Akan tetapi walaupun peringatan maulid merupakan bid’ah, didalamnya bisa terkandung kebaikan dan kejelekan. Barang siapa dalam melaksanakan peringatan maulid memilih kebaikan dan menjauhi kejelekan, maka hal itu merupakan bid’ah yang hasanah (baik). Jika sebaliknya maka termasuk dalam bid’ah yang dlolalah (sesat). Selanjutnya beliau mengatakan bahwa telah jelas bagi beliau tentang penjelasan mengenai Maulidurrasul SAW adalah berdasar pada hadits yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Muslim, yakni ketika Nabi SAW tiba di Madinah, beliau menjumpai orang-orang yahudi yang berpuasa pada hari 'Asyura. Maka Nabi SAW bertanya kepada mereka, kemudian mereka berkata: “Hari itu adalah hari dimana Allah SAW menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa AS. Oleh karena itu kami berpuasa pada hari itu karena bersyukur kepada Allah SWT." Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kami lebih berhak (untuk mengikuti) Musa dari pada kalian.” Dari hadits ini dapat diambil faidah bahwa perbuatan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugerahkan Allah SWT pada hari tertentu, yang berupa pemberian nikmat atau hilangnya siksa dapat diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Syukur kepada Allah SAW bisa diwujudkan melalui berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sodaqah dan membaca al-Qur’an. Dan nikmat mana yang lebih besar dari pada nikmat dilahirkannya Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi pembawa rahmat pada hari itu. Allah SWT berfirman: 
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. [آل عمران/164]
"Sungguh Allah SWT telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah SWT mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [ Q.S. Ali Imran: 164].  
2. Al-Imam al-Hafidz Jalauddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi RA.
Beliau al-Imam al-Hafidz al-Suyuthi pernah ditanya seputar peringatan Maulid Nabi SAW. Bagaimana hukumnya dari tinjauan syara’, apakah hal itu merupakan perkara yang terpuji atau tercela dan apakah pelakunya mendapatkan pahala?. Beliau menjelaskan bahwa praktek dasar peringatan maulid adalah berkumpulnya orang-orang untuk membaca al-Qur’an dan membaca riwayat-riwayat hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat dan perilaku Rasulullah SAW. Kemudian setelah itu, mereka mengeluarkan hidangan makanan dan menyantapnya bersama-sama. Itu semua merupakan bid’ah hasanah dan bagi pelakunya mendapatkan pahala atas hal itu. Itu semua tiada lain karena dalam perayaan maulid terdapat penghormatan kepada Nabi SAW dan menampakkan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah SAW. 
3. Al-Imam Abu Syamah (Guru Imam Nawawi) RA.
Beliau al-Imam Abu Syamah mengatakan bahwa termasuk sebaik-baik bid’ah adalah apa yang dilakukan tiap tahun yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi SAW berupa sodaqah, perbuatan baik serta menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan. Semuanya itu disertai dengan berbuat baik kepada orang-orang faqir menunjukkan kecintaan dan penghormatan kepada Rasulullah SAW bagi orang-orang yang melaksanakannya. Juga merupakan syukur atas nikmat diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini.
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra.
Beliau Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata dalam kitabnya Iqtidlo al-Shirath al-Mustaqim li Mukholafati Ashhab al-Jahim: “Demikian juga apa yang dikerjakan sebagian orang, adakalanya menyerupai orang Nashrani dalam merayakan kelahiran Nabi Isa AS dan adakalanya karena kecintaan dan penghormatan kepada Nabi SAW. Maka Demi Allah terkadang Allah SWT memberi pahala kepada mereka atas dasar kecintaan mereka ini dan ijtihad bukan atas dasar bid’ah dengan menjadikan kalahiran Nabi SAW sebagai hari raya.”  

Sedangkan kita, pada dasarnya dalam memperingati dan merayakan maulid Nabi SAW tiada lain hanyalah karena semat-mata atas dasar rasa cinta dan ta’dhim kita kepada Rasulullah SAW dan kita juga tidak menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai id (hari raya). Maka demi Allah, sungguh Allah SWT akan memberi pahala kepada kita atas kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan atas ijtihad kita dalam melaksanakan peringatan Maulid Nabi SAW.

Wallahu A'lam.