Seputar kelahiran Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal tahun Gajah. Hari Senin merupakan hari yang mulia. Imam Ahmad, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Qatadah RA, bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hari Senin, beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Imam Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi rasul pada hari Senin, wafat pada hari Senin dan mengangkat Hajar Aswad juga pada hari Senin.”
Menurut mayoritas ulama beliau dilahirkan pada tangggal 12 Rabiul Awal. Ulama yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 2 Rabiul Awal. Ada lagi yang mengatakan pada tanggal 8 dan yang lainnya mengatakan pada tanggal 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang ahli falak terkenal yang bernama Mahmud Basya dalam kitabnya Nataij al-Afham.
Mengapa Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Rabiul Awal ?
Mungkin dalam benak kita akan muncul suatu pertanyaan: Mengapa Rasulullah SAW -yang merupakan makhluk termulia- dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal bukan pada bulan Ramadlan yang didalamnya telah diturunkan al-Quran al-Karim dan keutamaan-keutamaan yang lain?, tidak dilahirkan pada Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT)?, tidak pada malam Nisfu Sya’ban?, dan juga tidak dilahirkan pada hari Jum’at atau malamnya ? mengapa?... Hal itu tiada lain karena Allah SWT menghendaki bahwa kemuliaan Rasulullah SAW tidak disebabkan oleh kemuliaan tempat dan zaman ketika beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan bulan itulah yang menjadi mulia karena kelahiran Rasulullah SAW. Seandainya Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Ramadlan, Muharram atau bulan-bulan lain yang dimuliakan oleh Allah SWT, niscaya pasti akan muncul suatu asumsi bahwa Rasulullah SAW menjadi mulia karena dilahirkan pada bulan yang mulia. Oleh karena itulah Allah SWT menjadikan kelahiran beliau pada bulan Rabiul Awal (bukan pada Asyhurul Hurum) supaya tampak bahwa keagungan dan kemuliaan Rasulullah SAW bukan disebabkan oleh kemuliaan suatu tempat atau suatu bulan.
Bukti yang lain bisa kita lihat pada kota Yatsrib (Madinah). Sebelum Rasulullah SAW datang ke kota ini, Madinah adalah kota yang berpenyakit. Akan tetapi setelah kedatangan Rasulullah SAW ke kota ini, maka kota ini menjadi kota yang makmur dan sejahtera. Bahkan seandainya ada seseorang memakan buah dan buah itu jatuh ke tanah, maka hendaknya ia jangan sekali-kali mencuci buah itu, karena debu yang terdapat di kota Madinah al-Munawwarah adalah obat untuk berbagai macam penyakit. Ini semua adalah bukti bahwa kemuliaan Rasulullah SAW bukan berasal dari tempat atau zaman dimana beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan zaman itulah yang menjadi mulia karena adanya beliau.
Hari kelahiran Rasulullah SAW merupakan hari yang sangat mulia, bahkan lebih mulia dari pada Idul Fitri dan Idul Adha. Karena seandainya tidak ada kelahiran Rasulullah SAW, maka tidak akan pernah ada bi’tsah (kerasulan), tidak akan ada Nuzulul Qur’an, tidak ada Isra’Mi’raj, tidak ada Hijrah, tidak ada pertolongan diwaktu perang Badar dan tidak ada Fathul Al A’dlom (terbukanya kota Makah al-Mukarramah). Karena semua kebaikan itu berhubungan langsung dengan Rasulullah SAW dan sumbernya adalah kelahiran Rasulullah SAW. Oleh karena itu kita sebagai umat beliau yang cinta dan selalu merindukan beliau sudah selayaknya untuk merayakan hari kelahiran beliau sebagai ungkapan rasa syukur kita atas diutusnya beliau sebagai rahmatan lil 'alamin.
Siapa yang pertama kali merayakan peringatan Maulid Nabi SAW ?
Sebenarnya manusia yang pertama kali melaksanakan peringatan maulid Nabi SAW adalah pemilik maulid itu sendiri, yakni Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yakni ketika Rasulullah SAW ditanya tentang puasa pada hari Senin maka beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Hadits ini merupakan dalil yang paling shohih dan yang paling shorih (jelas) terhadap anjuran untuk merayakan Maulid Nabi SAW. Tidak ada pertentangan mengenai masalah ini. Hanya saja kaifiyah (tata cara) atau bentuknya saja yang berbeda, yang mengalami perkembangan dan perubahan. Peringatan Maulid bukanlah merupakan perkara yang bersifat nash (tertentu). Para ulama sebelum dinasti Fathimiyah sudah memperhatikan hal itu dan mereka mengarang kitab-kitab tertentu untuk dibaca dalam peringatan maulid. Maka dari itu janganlah sekali-kali kita menghiraukan terhadap ucapan orang yang mengatakan bahwa manusia yang pertama kali menyelenggarakan peringatan maulid adalah orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah yang berkuasa di Mesir pada tahun 357 H-567 H karena pendapat ini adakalanya karena kebodohan atau buta terhadap perkara yang hak.
Adapun orang yang pertama kali menyelenggarakan peringatan Maulidurrasul SAW dalam bentuk perayaan adalah penguasa Irbil Raja al-Mudhoffar Abu Said Kaukabri bin Zainuddin Ali bin Baktakin yang merupakan salah seorang raja yang sangat mulia dan pembesar yang murah hati. Beliau mempunyai peninggalan yang baik dan beliaulah yang membangun Universitas al-Mudloffary di kaki gunung Qasiyun. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al- Bidayah Wa al-Nihayah berkata: “Dialah orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awal dengan perayaan yang besar. Beliau merupakan orang yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Mudah-mudahan Allah SWT mengasihinya dan memuliakan tempat tinggalnya.”
Jadi jelaslah bahwa pada hakekatnya orang yang melaksanakan Maulidurrasul SAW pertama kali adalah Rasulullah SAW sendiri. Sedangkan orang yang memperingatinya dengan perayaan yang besar adalah seorang raja yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Bukan orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah sebagiamana yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap peringatan Maulidurrasul SAW.
Komentar para ulama seputar peringatan Maulidurrasul SAW.
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani RA.
Al-Imam al-Hafidz Abu al-Fadl Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani pernah ditanya tentang Maulidurrasul SAW. Maka beliau menjawab bahwa asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari seorangpun dari ulama salafussholih pada abad ke tiga. Akan tetapi walaupun peringatan maulid merupakan bid’ah, didalamnya bisa terkandung kebaikan dan kejelekan. Barang siapa dalam melaksanakan peringatan maulid memilih kebaikan dan menjauhi kejelekan, maka hal itu merupakan bid’ah yang hasanah (baik). Jika sebaliknya maka termasuk dalam bid’ah yang dlolalah (sesat). Selanjutnya beliau mengatakan bahwa telah jelas bagi beliau tentang penjelasan mengenai Maulidurrasul SAW adalah berdasar pada hadits yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Muslim, yakni ketika Nabi SAW tiba di Madinah, beliau menjumpai orang-orang yahudi yang berpuasa pada hari 'Asyura. Maka Nabi SAW bertanya kepada mereka, kemudian mereka berkata: “Hari itu adalah hari dimana Allah SAW menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa AS. Oleh karena itu kami berpuasa pada hari itu karena bersyukur kepada Allah SWT." Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kami lebih berhak (untuk mengikuti) Musa dari pada kalian.” Dari hadits ini dapat diambil faidah bahwa perbuatan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugerahkan Allah SWT pada hari tertentu, yang berupa pemberian nikmat atau hilangnya siksa dapat diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Syukur kepada Allah SAW bisa diwujudkan melalui berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sodaqah dan membaca al-Qur’an. Dan nikmat mana yang lebih besar dari pada nikmat dilahirkannya Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi pembawa rahmat pada hari itu. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. [آل عمران/164]
"Sungguh Allah SWT telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah SWT mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [ Q.S. Ali Imran: 164].
2. Al-Imam al-Hafidz Jalauddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi RA.
Beliau al-Imam al-Hafidz al-Suyuthi pernah ditanya seputar peringatan Maulid Nabi SAW. Bagaimana hukumnya dari tinjauan syara’, apakah hal itu merupakan perkara yang terpuji atau tercela dan apakah pelakunya mendapatkan pahala?. Beliau menjelaskan bahwa praktek dasar peringatan maulid adalah berkumpulnya orang-orang untuk membaca al-Qur’an dan membaca riwayat-riwayat hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat dan perilaku Rasulullah SAW. Kemudian setelah itu, mereka mengeluarkan hidangan makanan dan menyantapnya bersama-sama. Itu semua merupakan bid’ah hasanah dan bagi pelakunya mendapatkan pahala atas hal itu. Itu semua tiada lain karena dalam perayaan maulid terdapat penghormatan kepada Nabi SAW dan menampakkan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah SAW.
3. Al-Imam Abu Syamah (Guru Imam Nawawi) RA.
Beliau al-Imam Abu Syamah mengatakan bahwa termasuk sebaik-baik bid’ah adalah apa yang dilakukan tiap tahun yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi SAW berupa sodaqah, perbuatan baik serta menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan. Semuanya itu disertai dengan berbuat baik kepada orang-orang faqir menunjukkan kecintaan dan penghormatan kepada Rasulullah SAW bagi orang-orang yang melaksanakannya. Juga merupakan syukur atas nikmat diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini.
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra.
Beliau Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata dalam kitabnya Iqtidlo al-Shirath al-Mustaqim li Mukholafati Ashhab al-Jahim: “Demikian juga apa yang dikerjakan sebagian orang, adakalanya menyerupai orang Nashrani dalam merayakan kelahiran Nabi Isa AS dan adakalanya karena kecintaan dan penghormatan kepada Nabi SAW. Maka Demi Allah terkadang Allah SWT memberi pahala kepada mereka atas dasar kecintaan mereka ini dan ijtihad bukan atas dasar bid’ah dengan menjadikan kalahiran Nabi SAW sebagai hari raya.”
Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal tahun Gajah. Hari Senin merupakan hari yang mulia. Imam Ahmad, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Qatadah RA, bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang hari Senin, beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Imam Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi rasul pada hari Senin, wafat pada hari Senin dan mengangkat Hajar Aswad juga pada hari Senin.”
Menurut mayoritas ulama beliau dilahirkan pada tangggal 12 Rabiul Awal. Ulama yang lain mengatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 2 Rabiul Awal. Ada lagi yang mengatakan pada tanggal 8 dan yang lainnya mengatakan pada tanggal 9 Rabiul Awal yang bertepatan dengan tanggal 20 April 571 M. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang ahli falak terkenal yang bernama Mahmud Basya dalam kitabnya Nataij al-Afham.
Mengapa Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Rabiul Awal ?
Mungkin dalam benak kita akan muncul suatu pertanyaan: Mengapa Rasulullah SAW -yang merupakan makhluk termulia- dilahirkan pada hari Senin bulan Rabiul Awal bukan pada bulan Ramadlan yang didalamnya telah diturunkan al-Quran al-Karim dan keutamaan-keutamaan yang lain?, tidak dilahirkan pada Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT)?, tidak pada malam Nisfu Sya’ban?, dan juga tidak dilahirkan pada hari Jum’at atau malamnya ? mengapa?... Hal itu tiada lain karena Allah SWT menghendaki bahwa kemuliaan Rasulullah SAW tidak disebabkan oleh kemuliaan tempat dan zaman ketika beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan bulan itulah yang menjadi mulia karena kelahiran Rasulullah SAW. Seandainya Rasulullah SAW dilahirkan pada bulan Ramadlan, Muharram atau bulan-bulan lain yang dimuliakan oleh Allah SWT, niscaya pasti akan muncul suatu asumsi bahwa Rasulullah SAW menjadi mulia karena dilahirkan pada bulan yang mulia. Oleh karena itulah Allah SWT menjadikan kelahiran beliau pada bulan Rabiul Awal (bukan pada Asyhurul Hurum) supaya tampak bahwa keagungan dan kemuliaan Rasulullah SAW bukan disebabkan oleh kemuliaan suatu tempat atau suatu bulan.
Bukti yang lain bisa kita lihat pada kota Yatsrib (Madinah). Sebelum Rasulullah SAW datang ke kota ini, Madinah adalah kota yang berpenyakit. Akan tetapi setelah kedatangan Rasulullah SAW ke kota ini, maka kota ini menjadi kota yang makmur dan sejahtera. Bahkan seandainya ada seseorang memakan buah dan buah itu jatuh ke tanah, maka hendaknya ia jangan sekali-kali mencuci buah itu, karena debu yang terdapat di kota Madinah al-Munawwarah adalah obat untuk berbagai macam penyakit. Ini semua adalah bukti bahwa kemuliaan Rasulullah SAW bukan berasal dari tempat atau zaman dimana beliau dilahirkan. Akan tetapi tempat dan zaman itulah yang menjadi mulia karena adanya beliau.
Hari kelahiran Rasulullah SAW merupakan hari yang sangat mulia, bahkan lebih mulia dari pada Idul Fitri dan Idul Adha. Karena seandainya tidak ada kelahiran Rasulullah SAW, maka tidak akan pernah ada bi’tsah (kerasulan), tidak akan ada Nuzulul Qur’an, tidak ada Isra’Mi’raj, tidak ada Hijrah, tidak ada pertolongan diwaktu perang Badar dan tidak ada Fathul Al A’dlom (terbukanya kota Makah al-Mukarramah). Karena semua kebaikan itu berhubungan langsung dengan Rasulullah SAW dan sumbernya adalah kelahiran Rasulullah SAW. Oleh karena itu kita sebagai umat beliau yang cinta dan selalu merindukan beliau sudah selayaknya untuk merayakan hari kelahiran beliau sebagai ungkapan rasa syukur kita atas diutusnya beliau sebagai rahmatan lil 'alamin.
Siapa yang pertama kali merayakan peringatan Maulid Nabi SAW ?
Sebenarnya manusia yang pertama kali melaksanakan peringatan maulid Nabi SAW adalah pemilik maulid itu sendiri, yakni Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yakni ketika Rasulullah SAW ditanya tentang puasa pada hari Senin maka beliau bersabda: “Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan.” Hadits ini merupakan dalil yang paling shohih dan yang paling shorih (jelas) terhadap anjuran untuk merayakan Maulid Nabi SAW. Tidak ada pertentangan mengenai masalah ini. Hanya saja kaifiyah (tata cara) atau bentuknya saja yang berbeda, yang mengalami perkembangan dan perubahan. Peringatan Maulid bukanlah merupakan perkara yang bersifat nash (tertentu). Para ulama sebelum dinasti Fathimiyah sudah memperhatikan hal itu dan mereka mengarang kitab-kitab tertentu untuk dibaca dalam peringatan maulid. Maka dari itu janganlah sekali-kali kita menghiraukan terhadap ucapan orang yang mengatakan bahwa manusia yang pertama kali menyelenggarakan peringatan maulid adalah orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah yang berkuasa di Mesir pada tahun 357 H-567 H karena pendapat ini adakalanya karena kebodohan atau buta terhadap perkara yang hak.
Adapun orang yang pertama kali menyelenggarakan peringatan Maulidurrasul SAW dalam bentuk perayaan adalah penguasa Irbil Raja al-Mudhoffar Abu Said Kaukabri bin Zainuddin Ali bin Baktakin yang merupakan salah seorang raja yang sangat mulia dan pembesar yang murah hati. Beliau mempunyai peninggalan yang baik dan beliaulah yang membangun Universitas al-Mudloffary di kaki gunung Qasiyun. Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya al- Bidayah Wa al-Nihayah berkata: “Dialah orang yang pertama kali menyelenggarakan Maulid Nabi SAW pada bulan Rabiul Awal dengan perayaan yang besar. Beliau merupakan orang yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Mudah-mudahan Allah SWT mengasihinya dan memuliakan tempat tinggalnya.”
Jadi jelaslah bahwa pada hakekatnya orang yang melaksanakan Maulidurrasul SAW pertama kali adalah Rasulullah SAW sendiri. Sedangkan orang yang memperingatinya dengan perayaan yang besar adalah seorang raja yang cerdik, pemberani, pahlawan, bijaksana, cendekiawan dan adil. Bukan orang Yahudi dari Daulah Fathimiyah sebagiamana yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap peringatan Maulidurrasul SAW.
Komentar para ulama seputar peringatan Maulidurrasul SAW.
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani RA.
Al-Imam al-Hafidz Abu al-Fadl Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani pernah ditanya tentang Maulidurrasul SAW. Maka beliau menjawab bahwa asal peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari seorangpun dari ulama salafussholih pada abad ke tiga. Akan tetapi walaupun peringatan maulid merupakan bid’ah, didalamnya bisa terkandung kebaikan dan kejelekan. Barang siapa dalam melaksanakan peringatan maulid memilih kebaikan dan menjauhi kejelekan, maka hal itu merupakan bid’ah yang hasanah (baik). Jika sebaliknya maka termasuk dalam bid’ah yang dlolalah (sesat). Selanjutnya beliau mengatakan bahwa telah jelas bagi beliau tentang penjelasan mengenai Maulidurrasul SAW adalah berdasar pada hadits yang terdapat dalam Shohih Bukhori dan Muslim, yakni ketika Nabi SAW tiba di Madinah, beliau menjumpai orang-orang yahudi yang berpuasa pada hari 'Asyura. Maka Nabi SAW bertanya kepada mereka, kemudian mereka berkata: “Hari itu adalah hari dimana Allah SAW menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa AS. Oleh karena itu kami berpuasa pada hari itu karena bersyukur kepada Allah SWT." Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kami lebih berhak (untuk mengikuti) Musa dari pada kalian.” Dari hadits ini dapat diambil faidah bahwa perbuatan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugerahkan Allah SWT pada hari tertentu, yang berupa pemberian nikmat atau hilangnya siksa dapat diulangi pada hari yang sama setiap tahun. Syukur kepada Allah SAW bisa diwujudkan melalui berbagai macam ibadah, seperti sujud, puasa, sodaqah dan membaca al-Qur’an. Dan nikmat mana yang lebih besar dari pada nikmat dilahirkannya Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi pembawa rahmat pada hari itu. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ. [آل عمران/164]
"Sungguh Allah SWT telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah SWT mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." [ Q.S. Ali Imran: 164].
2. Al-Imam al-Hafidz Jalauddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi RA.
Beliau al-Imam al-Hafidz al-Suyuthi pernah ditanya seputar peringatan Maulid Nabi SAW. Bagaimana hukumnya dari tinjauan syara’, apakah hal itu merupakan perkara yang terpuji atau tercela dan apakah pelakunya mendapatkan pahala?. Beliau menjelaskan bahwa praktek dasar peringatan maulid adalah berkumpulnya orang-orang untuk membaca al-Qur’an dan membaca riwayat-riwayat hadits yang berkaitan dengan sifat-sifat dan perilaku Rasulullah SAW. Kemudian setelah itu, mereka mengeluarkan hidangan makanan dan menyantapnya bersama-sama. Itu semua merupakan bid’ah hasanah dan bagi pelakunya mendapatkan pahala atas hal itu. Itu semua tiada lain karena dalam perayaan maulid terdapat penghormatan kepada Nabi SAW dan menampakkan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah SAW.
3. Al-Imam Abu Syamah (Guru Imam Nawawi) RA.
Beliau al-Imam Abu Syamah mengatakan bahwa termasuk sebaik-baik bid’ah adalah apa yang dilakukan tiap tahun yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi SAW berupa sodaqah, perbuatan baik serta menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan. Semuanya itu disertai dengan berbuat baik kepada orang-orang faqir menunjukkan kecintaan dan penghormatan kepada Rasulullah SAW bagi orang-orang yang melaksanakannya. Juga merupakan syukur atas nikmat diutusnya Rasulullah SAW ke dunia ini.
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra.
Beliau Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata dalam kitabnya Iqtidlo al-Shirath al-Mustaqim li Mukholafati Ashhab al-Jahim: “Demikian juga apa yang dikerjakan sebagian orang, adakalanya menyerupai orang Nashrani dalam merayakan kelahiran Nabi Isa AS dan adakalanya karena kecintaan dan penghormatan kepada Nabi SAW. Maka Demi Allah terkadang Allah SWT memberi pahala kepada mereka atas dasar kecintaan mereka ini dan ijtihad bukan atas dasar bid’ah dengan menjadikan kalahiran Nabi SAW sebagai hari raya.”
Sedangkan kita, pada dasarnya dalam memperingati dan merayakan maulid Nabi SAW tiada lain hanyalah karena semat-mata atas dasar rasa cinta dan ta’dhim kita kepada Rasulullah SAW dan kita juga tidak menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai id (hari raya). Maka demi Allah, sungguh Allah SWT akan memberi pahala kepada kita atas kecintaan kita kepada Rasulullah SAW dan atas ijtihad kita dalam melaksanakan peringatan Maulid Nabi SAW.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar