Qunut adalah doa yang dianjurkan untuk dibaca dalam shalat lima waktu ketika terjadi bencana (nazilah) sebagaimana keterangan dalam beberapa hadits yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas dan yang lainnya. Lalu bagaimana dengan qunut Subuh, apakah juga dianjurkan?
Permasalahan qunut Subuh sejak dulu memang sudah menjadi polemik. Para ulama dari kalangan Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa qunut pada shalat Subuh tidaklah dianjurkan. Maka janganlah kita heran atau su'udhan apabila kita melihat kelompok tertentu ketika melakukan shalat subuh tidak membaca doa qunut, karena bisa jadi mereka adalah para pengikut Madzhab Hanafi ataupun Madzhab Hanbali. Mereka yang tidak membaca doa qunut pada shalat Subuh bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dan dishahihkannya dari Sahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan qunut Subuh kecuali ketika terjadi nazilah (bencana).
Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa qunut Subuh hukumnya adalah sunnah. Hanya saja keduanya berbeda pendapat tentang letak kesunahan qunut subuh, Malikiyah mengatakan bahwa qunut subuh dikerjakan sebelum ruku', sedangkan Syafi'iyyah berpendapat bahwa qunut Subuh dikerjakan setelah i'tidal. Dalam Madzhab Syafi'i qunut Subuh termasuk dalam kategori sunnah ab'adl, sehingga apabila ditinggalkan, baik sengaja ataupun tidak, disunnahkan untuk melakukan sujud syahwi sebelum salam. Para ulama yang mengatakan bahwa qunut subuh adalah sunnah bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Daruquthni, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Hakim dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata: "Rasulullah SAW selalu melakukan qunut Subuh sampai beliau meninggal dunia."
Sebenarnya permasalahan qunut subuh merupakan permasalahan furu' yang tidak perlu untuk diperdebatkan. Para ulama ahli hadits tidak mengingkari terhadap orang-orang yang terus menerus melakukan qunut Subuh, juga tidak memandang bahwa hal itu merupakan perkara yang makruh, apalagi bid'ah. Sebagaimana mereka juga tidak mengingkari terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan qunut subuh, mereka juga tidak mengatakan bahwa meninggalkan qunut subuh merupakan hal yang makruh ataupun bid'ah, sehingga pelakunya menyelisihi terhadap sunnah Nabi SAW. Akan tetapi mereka berpendapat baik orang yang melakukan qunut Subuh maupun yang meninggalkannya sama-sama baik. Dan permasalahan ini merupakan permasalahan khilafiyah yang mubah sehingga mereka yang melakukan ataupun meninggalakannya tidak perlu untuk dicela, apalagi sampai menimbulkan permusuhan.
Lalu bagaimana dengan sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dan al-Tirmidzi, dari Abu Malik al-Asyja'i yang mengatakan bahwa qunut Subuh adalah bid'ah, karena beliau ketika shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Ali RA tidak pernah melihat mereka mengerjakan qunut?
Mengenai hal ini ada beberapa argumen yang diajukan para ulama, baik dari kalangan Syafi'iyyah maupun Malikiyah dalam menanggapi perkataan Abu Malik al-Asyja'i ini:
1. Nama Abu Malik al-Asyja'i adalah Sa'ad bin Thariq. Imam al-Uqaili dalam kitab Mizan al-I'tidal: 2/122 mengatakan bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam masalah qunut.
2. Dalam menanggapi hadits itu, al-Imam al-Nawawi dalam Majmu’nya mengatakan: "Jawaban mengenai hadist Abu Malik (nama beliau adalah Sa’ad bin Thariq) adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu (pengetahuan) dan juga mereka lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka." [Majmu’: 3/505]
3. Jika benar Abu Malik mengatakan demikian, maka sungguh hal yang mengherankan karena hadits-hadits tentang Nabi SAW dan para Khulafa' al-Rasyidin yang melakukan qunut sangatlah banyak baik di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu ucapan Abu Malik tersebut tidaklah diakui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan Maliki. Hal ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula dengan sahabat-sahabat beliau. Sedangkan hanya Abu Malik sendiri yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Al-Hafidz al-Iraqi menceritkan tentang keabsahan qunut yang dikerjakan oleh Abu Bakar, Umar, Ali dan Ibn Abbas. Beliau berkata: “Telah sah qunut dari mereka.” Dan ketika terjadi pertentangan antara pendapat yang menetapkan dan yang meniadakan maka yang didahulukan adalah pendapat yang menetapkan, sebagaimana dalam kaidah: “Al-mutsbit muqaddamun ala al-Nafi.” [lihat Tuhfat al-Ahwadzi dan juga Nail al-Authar]
4. Dalam menanggapi permasalahan di atas, Imam Ibnu al-Arabi al-Maliki berkata: "Telah tetap bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam shalat subuh. Telah tetap pula bahwa Nabi SAW pernah melakukan qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk. Telah tetap pula bahwa Nabi SAW melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinahpun melakukan qunut serta Sayidina Umar RA mengatakan bahwa qunut itu sunnah. Telah tetap pula bahwa hal itu diamalkan di masjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu hiraukan terhadap ucapan yang lain dari pada itu."
5. Jika ada yang mengatakan bahwa Qunut subuh sampai sekarang ini tidak diamalkan oleh orang-orang Makkah dan Madinah, maka hal itu tidaklah menjadi dalil untuk melarang apalagi menganggap qunut Subuh sebagai bid'ah, karena Saudi Arabia sendiri dalam masalah furu’ mengikuti Madzhab Imam Ahmad yang tidak mensunnahkan qunut. Kita juga harus menengok sejarah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnu al-Arabi yang mengatakan bahwa qunut subuh telah diamalkan di masjid Madinah yang diprakarsai oleh Imam Malik bin Anas sebagai pendiri Madzhab Maliki dan Imam Ahli al-Madinah yang mensunnahkan qunut Subuh.
Karena qunut subuh merupakan permasalahan khilafiyah di antara ulama, maka bagi kita tidak boleh mengklaim bahwa pendapat kitalah yang paling benar dan menganggap pendapat kelompok lain salah, sehingga mencela kelompok lain yang tidak sependapat dengan kita. Apalagi hal itu sampai menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Bukankah perbedaan pendapat para ulama adalah rahmat?. Dan Insya Allah semuanya mempunyai dalil yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Wallahu A'lam.
Permasalahan qunut Subuh sejak dulu memang sudah menjadi polemik. Para ulama dari kalangan Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa qunut pada shalat Subuh tidaklah dianjurkan. Maka janganlah kita heran atau su'udhan apabila kita melihat kelompok tertentu ketika melakukan shalat subuh tidak membaca doa qunut, karena bisa jadi mereka adalah para pengikut Madzhab Hanafi ataupun Madzhab Hanbali. Mereka yang tidak membaca doa qunut pada shalat Subuh bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dan dishahihkannya dari Sahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah melakukan qunut Subuh kecuali ketika terjadi nazilah (bencana).
Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa qunut Subuh hukumnya adalah sunnah. Hanya saja keduanya berbeda pendapat tentang letak kesunahan qunut subuh, Malikiyah mengatakan bahwa qunut subuh dikerjakan sebelum ruku', sedangkan Syafi'iyyah berpendapat bahwa qunut Subuh dikerjakan setelah i'tidal. Dalam Madzhab Syafi'i qunut Subuh termasuk dalam kategori sunnah ab'adl, sehingga apabila ditinggalkan, baik sengaja ataupun tidak, disunnahkan untuk melakukan sujud syahwi sebelum salam. Para ulama yang mengatakan bahwa qunut subuh adalah sunnah bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Daruquthni, al-Baihaqi dan dishahihkan oleh al-Hakim dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata: "Rasulullah SAW selalu melakukan qunut Subuh sampai beliau meninggal dunia."
Sebenarnya permasalahan qunut subuh merupakan permasalahan furu' yang tidak perlu untuk diperdebatkan. Para ulama ahli hadits tidak mengingkari terhadap orang-orang yang terus menerus melakukan qunut Subuh, juga tidak memandang bahwa hal itu merupakan perkara yang makruh, apalagi bid'ah. Sebagaimana mereka juga tidak mengingkari terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan qunut subuh, mereka juga tidak mengatakan bahwa meninggalkan qunut subuh merupakan hal yang makruh ataupun bid'ah, sehingga pelakunya menyelisihi terhadap sunnah Nabi SAW. Akan tetapi mereka berpendapat baik orang yang melakukan qunut Subuh maupun yang meninggalkannya sama-sama baik. Dan permasalahan ini merupakan permasalahan khilafiyah yang mubah sehingga mereka yang melakukan ataupun meninggalakannya tidak perlu untuk dicela, apalagi sampai menimbulkan permusuhan.
Lalu bagaimana dengan sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dan al-Tirmidzi, dari Abu Malik al-Asyja'i yang mengatakan bahwa qunut Subuh adalah bid'ah, karena beliau ketika shalat di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Ali RA tidak pernah melihat mereka mengerjakan qunut?
Mengenai hal ini ada beberapa argumen yang diajukan para ulama, baik dari kalangan Syafi'iyyah maupun Malikiyah dalam menanggapi perkataan Abu Malik al-Asyja'i ini:
1. Nama Abu Malik al-Asyja'i adalah Sa'ad bin Thariq. Imam al-Uqaili dalam kitab Mizan al-I'tidal: 2/122 mengatakan bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam masalah qunut.
2. Dalam menanggapi hadits itu, al-Imam al-Nawawi dalam Majmu’nya mengatakan: "Jawaban mengenai hadist Abu Malik (nama beliau adalah Sa’ad bin Thariq) adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu (pengetahuan) dan juga mereka lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka." [Majmu’: 3/505]
3. Jika benar Abu Malik mengatakan demikian, maka sungguh hal yang mengherankan karena hadits-hadits tentang Nabi SAW dan para Khulafa' al-Rasyidin yang melakukan qunut sangatlah banyak baik di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu ucapan Abu Malik tersebut tidaklah diakui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan Maliki. Hal ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula dengan sahabat-sahabat beliau. Sedangkan hanya Abu Malik sendiri yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Al-Hafidz al-Iraqi menceritkan tentang keabsahan qunut yang dikerjakan oleh Abu Bakar, Umar, Ali dan Ibn Abbas. Beliau berkata: “Telah sah qunut dari mereka.” Dan ketika terjadi pertentangan antara pendapat yang menetapkan dan yang meniadakan maka yang didahulukan adalah pendapat yang menetapkan, sebagaimana dalam kaidah: “Al-mutsbit muqaddamun ala al-Nafi.” [lihat Tuhfat al-Ahwadzi dan juga Nail al-Authar]
4. Dalam menanggapi permasalahan di atas, Imam Ibnu al-Arabi al-Maliki berkata: "Telah tetap bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan qunut dalam shalat subuh. Telah tetap pula bahwa Nabi SAW pernah melakukan qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk. Telah tetap pula bahwa Nabi SAW melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinahpun melakukan qunut serta Sayidina Umar RA mengatakan bahwa qunut itu sunnah. Telah tetap pula bahwa hal itu diamalkan di masjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu hiraukan terhadap ucapan yang lain dari pada itu."
5. Jika ada yang mengatakan bahwa Qunut subuh sampai sekarang ini tidak diamalkan oleh orang-orang Makkah dan Madinah, maka hal itu tidaklah menjadi dalil untuk melarang apalagi menganggap qunut Subuh sebagai bid'ah, karena Saudi Arabia sendiri dalam masalah furu’ mengikuti Madzhab Imam Ahmad yang tidak mensunnahkan qunut. Kita juga harus menengok sejarah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnu al-Arabi yang mengatakan bahwa qunut subuh telah diamalkan di masjid Madinah yang diprakarsai oleh Imam Malik bin Anas sebagai pendiri Madzhab Maliki dan Imam Ahli al-Madinah yang mensunnahkan qunut Subuh.
Karena qunut subuh merupakan permasalahan khilafiyah di antara ulama, maka bagi kita tidak boleh mengklaim bahwa pendapat kitalah yang paling benar dan menganggap pendapat kelompok lain salah, sehingga mencela kelompok lain yang tidak sependapat dengan kita. Apalagi hal itu sampai menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Bukankah perbedaan pendapat para ulama adalah rahmat?. Dan Insya Allah semuanya mempunyai dalil yang bisa dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Wallahu A'lam.
maaf saya mau tanya... bagaimana hukumnya jika suami istri dalam proses menjalankan ibadhnya tidak sama... istrinya biasa menggunakan qunut sedangkan suaminya tidak..(suami istri ini menggunakan mazhab berbeda) bagaimana hukum pernikahannya??
BalasHapus