Jumat, 29 Januari 2010

Siapakah Khidhir?


Ketika kita membaca kisah-kisah para wali, kita sering mendengar sosok yang bernama Khidhir. Sebenarnya siapakah beliau, apakah beliau masih hidup hingga sekarang atau sudah meninggal?

Al-Qur'an mengisahkan tentang seorang hamba Allah SWT pada masa Nabi Musa AS yang mempunyai derajat sangat tinggi di sisi-Nya. Kisah itu disebutkan dalam surat al-Kahfi, ayat 65: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." Para ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hamba pada ayat tersebut ialah Khidhir AS. Kemudian yang dimaksud dengan rahmat ialah wahyu dan kenabian. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu, ialah ilmu tentang hal-hal yang ghaib. Hadits-hadits Nabi SAW juga menceritakan seorang hamba yang shalih ini.[1] Menurut Imam Nawawi kita boleh menyebut Khadhir (dengan membaca fathah kha' dan kasrah dlad), Khidhr (dengan membaca kasrah kha' dan dlad yang dibaca sukun) atau Khadhr (dengan membaca fathah kha' dan dlad yang dibaca sukun).[2] Namun nampaknya masyarakat kita lebih akrab menyebutnya Khidhr atau Khidhir. Maka dari itu, dalam tulisan ini kami menggunakan sebutan yang terakhir ini.

al-Imam Kamaluddin al-Damiri (w. 808 H) dalam ensiklopedinya yang berjudul Hayat al-Hayawan al-Kubra menuturkan tentang  perbedaan para ulama mengenai nama Khidhir. Namun menurut pendapat yang ashah, sebagaimana dinukil dari para ahli sejarah dan juga dari Nabi SAW, sebagaimana yang kutip oleh Imam al-Baghawi dan ulama lainnya berpendapat bahwa nama nabi Khidhir adalah Balya. Sedangkan ayahnya bernama Malkan. Nabi Khidhir termasuk keturunan Bani Israil dan masih keturunan para raja. Beliau lari dari kerajaan, kemudian pergi dan menyibukkan diri dalam ibadah.

Para ulama berselisih pendapat tentang apakah sampai sekarang Nabi Khidhir masih hidup ataupun sudah meninggal. Imam nawawi dan mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau masih hidup dan berada di tengah-tengah kita sekarang. Pendapat ini disepakati oleh para tokoh sufiyah dan para ahli makrifat. Kabar yang mengisahkan tentang seseorang yang dapat berjumpa dan berkumpul dengan Nabi Khidhir sangat banyak. Al-Syeikh Abu 'Amr bin Shalah mengatakan bahwa nabi Khidhir masih hidup menurut mayoritas ulama, shalihin dan orang-orang awam pada umumnya. Hanya saja ada sebagian ahli hadits yang mengingkari terhadap kehidupan Nabi Khidhir ini.

Sementara itu Imam al-Hasan berpendapat bahwa Nabi Khidhir telah meninggal. Imam Ibnu al-Manawi mengatakan bahwa tidak ada hadits yang menetapkan tentang hidupnya Nabi Khidhir AS. Menurut Imam Abi Bakar bin al-Arabi, beliau telah meninggal sebelum tahun seratus. Pendapat ini mendekati jawaban Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari ketika beliau ditanya tentang Khaidhir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka beliau menjawab: "Bagaimana bisa demikian (masih hidup), Rasulullah SAW telah bersabda: "Tidak ada seorangpun yang masih hidup pada hari ini seratus tahun lagi." Pendapat yang benar adalah beliau masih hidup.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Khidhir bernah berkumpul dengan Rasulullah SAW, mengunjungi keluarga beliau, dan mereka memandikan Nabi SAW ketika wafat. Riwayat-riwayat yang menceritakan hal itu berasal dari jalur-jalur yang shahih. Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi juga membenarkan tentang hidupnya Nabi Khidhir AS.[3] 

Lebih lanjut al-Imam al-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma' yang menukil pendapat Wahb bin Munabbih menuturkan, bahwa nama Khidhir sebenarnya merupakan laqab (julukan), sedangkan nama asli beliau adalah Balya bin Malkan bin Faligh bin 'Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Para ulama berbeda pendapat tetang alasan mengapa beliau disebut Khidhir. Mayoritas ulama mengatakan bahwa beliau disebut Khidhir karena sesungguhnya ketika beliau duduk di atas permukaan tanah yang kering (menurut pendapat lain rerumputan kering), maka dari permukaan tanah itu tumbuh rerumputan yang berwarna hijau. Pendapat ini di dasarkan pada sabda Nabi SAW: "Dinamakan Khidhir karena ia duduk di atas tanah yang kering, kemudian dari bawah tanah itu tumbuh rerumputan yang hijau." [H.R. Bukhari, no. 3221]. Menurut pendapat yang dinukil dari Imam Mujahid mengatakan, karena ketika beliau shalat, disekitar beliau menjadi hijau (muncul tumbuh-tumbuhan).[4] Sedangkan menurut Imam al-Khuthabi, beliau dinamakan Khidhir karena ketampanannya dan wajahnya yang bersinar.[5]

Nabi Khidhir mempunyai kuniyah Abu al-Abbas dan merupakan sahabat Nabi Musa AS. Allah SWT telah memuji sosok Khidhir ini melalui firman-Nya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." [Q.S. al-Kahfi: 65]. Kemudian pada ayat-ayat berikutnya Allah SWT menceritakan keajaiban-keajaiban yang dimiliki oleh Nabi Khidhir AS.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai Khidhir, apakan ia seorang nabi atau seorang wali. Imam al-Qusyairi dan para ulama yang lain mengatakan bahwa Khidhir adalah seorang wali. Sementara itu sebagian ulama mengatakan bahwa Khidhir adalah seorang nabi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam al-Nawawi. Imam al-Maziri mengatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat Khidhir adalah seorang nabi. Ada pendapat lain yang mengatakan beliau adalah seorang malaikat, namun pendapat ini oleh para ulama dinilai sebagai pendapat yang gharib (asing), lemah dan bathil.[6] Para ulama yang berpendapat bahwa beliau seorang nabi, juga masih berbeda pendapat, apakah beliau diutus untuk umat manusia atau tidak? Yang jelas mengenai nama, kehidupan dan kenabian Khidhir AS terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Keterangan yang pasti dalam al-Qur'an mengatakan bahwa Khidhir adalah salah seorang hamba Allah SWT yang dikaruniai  rahmat dan ilmu dari sisi-Nya. Penyebutan hamba pada ayat tersebut bisa berarti beliau seorang nabi ataupun seorang laki-laki yang shalih (wali). Keterangan yang pasti dalam hadits menyebutkan bahwa hamba itu bernama Khaidhir. Sementara itu dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak ada keterangan yang jelas mengenai keberadaan Khidhir, apakah beliau telah meninggal, masih hidup hingga sekarang, bertemu dengan para nabi dan para wali atau beliau mengucapkan salam pada sebagian orang, kemudian mereka menjawab salamnya? Semua itu tidak ada dalil yang dapat digunakan sebagai pijakan secara pasti.[7]

Namun setidaknya kita lebih tenang dan yakin dengan berita-berita yang disampaikan oleh para wali Allah tentang hidupnya Nabi Khidhir, mengunjungi mereka dan mengucapkan salam kepada mereka. Wallahu a'lam.    

 

 


[1] Syeikh Athiyah Shaqar dalam Fatawa al-Azhar, 10/425.

[2] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, 1/237.

[3] Syeikh Athiyah Shaqar dalam Fatawa al-Azhar, 10/425.

[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 6/433.

[5] Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari, 3/30.

[6] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, 1/237-239.

[7]  Ibid.

Jin Tidak Jauh Beda dengan Manusia


Bangsa jin yang asal kejadiannya berbeda dengan manusia ternyata juga memiliki beberapa kesamaan dengan manusia. Di antara persamaan itu adalah:

1.       Jin mempunyai tempat tinggal, mereka menyukai tempat-tempat yang sepi dari manusia, seperti padang pasir. Di antara mereka ada juga yang mendiami tempat-tempat yang kotor, seperti WC dan tempat kotor lainnya karena mereka memakan sisa-sisa makanan manusia. Sebagian di antara mereka ada juga yang bertempat tinggal bersama manusia. Oleh karena itu Rasulullah SAW sering keluar menuju padang pasir, kemudian memanggil para jin dan menyeru kepada mereka untuk menyembah Allah SWT. Rasulullah SAW juga membacakan al-Qur'an dan mengajarkan urusan-urusan agama kepada mereka. Peristiwa ini sering terjadi sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud.  

2.       Bangsa jin juga ternyata makan dan minum. Hal itu dapat kita ketahui dari keterangan beberapa hadits yang disampaikan Rasulullah kepada kita, di antaranya adalah pesan Rasulullah SAW kepada kita: "Jika salah seorang di antara kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanan. Apabila minum, minumlah dengan tangan kanan, karena sesungguhnya syaitan makan dan minum dengan tangan kiri." [H.R. Muslim]. Riwayat lain menyebutkan bahwa makanan jin adalah tulang, kotoran hewan dan arang. Dalam Sunan Abi Dawud diceritakan bahwa sekelompok jin datang kepada Rasulullah SAW, mereka mengadu kepada Rasulullah SAW karena umatnya (manusia) beristinja' menggunakan tulang, kotoran hewan dan arang, padahal ketiganya itu merupan rizki (makanan) yang diberikan Allah kepada mereka. Oleh karena itu Rasulullah SAW melarang umatnya beristinja' dengan ketiga perkara tersebut.[1]

3.       Jin terdiri laki-laki dan perempuan berdasarkan sabda Nabi SAW ketika beliau ingin masuk ke kamar mandi, beliau berdoa: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaitan laki-laki dan perempuan." [H.R. Bukhari-Muslin]. Hadits ini menunjukkan bahwa jin terdiri dari laki-laki dan perempuan.

4.       Jin mempunyai berbagai macam akidah dan agama. Di antara mereka ada yang Muslim, Nashrani dan Yahudi. Bahkan kelompok muslim jin juga seperti manusia yang terdiri dari berbagai golongan, seperti Qadariyah, Syi'ah, Ahlu Sunnah, Ahlu Bid'ah dan lain sebagainya. Mereka ada yang taat bertakwa dan ada yang berbuat maksiat.

5.       Menurut mayoritas ulama, diantaranya Imam Ibnu Katsir berpendapat bahwa kaum mukmin dari bangsa jin kelak juga akan masuk surga.

6.       Bangsa jin juga menikah dan melahirkan keturunan. Allah SWT berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim." [Q.S. al-Kahfi: 50]. Dari ayat ini al-Qadli Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Syibli bependapat bahwa jin juga melakukan pernikahan untuk menghasilkan keturunan.[2] Sebagian ulama ada yang memperbolehkan manusia menikahi bangsa jin berdasarkan ayat: "Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin." [Q.S. al-Rahman: 56].

 


[1] Abdul Muhsin al-Abbad, Syarh Sunan Abi Dawud, 1/188.

[2] Al-Syibli, 1/38.

Fenomena Jin


Fenomena keberadaan jin memang menjadi misteri bagi kita umat manusia. Namun sebagai umat yang berakidah, kita diwajibkan untuk beriman dan mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib. Iman kepada sesuatu yang ghaib merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh orang yang bertakwa. Hal itu sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah SWT melalui firman-Nya: "Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka." [Q.S. al-Baqarah: 2-3].

Beriman kepada yang ghaib ialah beriman kepada sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan atas kebaradaanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-Malaikat, Jin, Syaitan, Hari akhirat dan lain sebagainya.

 

Jin memang ada

Dalil-dalail yang menunujukkan keberadaan jin sangatlah banyak, dan tentunya di sini hanya akan disebutkan sebagian saja. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:

1.    Firman Allah SWT: "Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Quran." [Q.S. al-Ahqaf: 29].

2.    "Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?" [Q.S. al-An'am: 130].

3.    "Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan." [Q.S. al-Rahman: 33].

4.    "Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan." [Q.S. al-Jin: 1].

5.    Rasulullah SAW bersabda: "Telah datang padaku da'i jin, lalu aku pergi bersamanya, kemudian aku membacakan al-Qur'an kepada mereka (kelompok jin)." [H.R. Muslim].

Selain itu semua, Allah SWT juga menurunkan surat al-Jin dalam al-Qur'an yang terdiri atas 28 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyyah. Ayat ini diturunkan sesudah surat al-A'raaf. Surat ini dinamakan al-Jin karena diambil dari perkataan bangsa jin yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Ayat tersebut dan ayat-ayat berikutnya menerangkan bahwa jin sebagai makhluk halus telah mendengar pembacaan al-Quran dan mereka mengikuti ajaran al-Quran tersebut. Surat ini menerangkan bahwa pengetahuan tentang jin diperoleh Nabi Muhammad SAW dengan jalan wahyu, pernyataan iman segolongan jin kepada Allah, jin ada yang mukmin ada pula yang kafir, janji Allah kepada jin dan manusia untuk melimpahkan rizki-Nya kalau mereka mengikuti jalan yang lurus dan janji perlindungan Allah terhadap Nabi Muhammad SAW dan wahyu yang dibawanya.

Keberadaan manusia yang tidak mampu melihat jin tidak bisa dijadikan argumen untuk menafikan keberadaan jin. Banyak hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia, namun hal itu hakekatnya memang benar-benar ada. Seperti aliran listrik dan udara, manusia tidak bisa melihatnya, namun bisa merasakan manfaatnya, seperti untuk penerangan dan lain-lain. Begitu juga dengan ruh, kita tidak bisa mengetahui esensinya, namun kita percaya atas keberadaannya.

 

Asal-usul Jin

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menuturkan, para ahli ilmu berbeda pendapat tentang asal-usul jin. Imam al-Hasan al-Bashri mengatakan bahwa jin adalah keturunan Iblis, sedangkan manuisia adalah keturunan Adam AS. Keduanya, baik bangsa jin maupun manusia ada yang beriman dan ada yang kafir. Seperti halnya manusia, jin juga akan memperoleh pahala jika berbuat baik dan akan mendapat dosa dan siksa jika berbuat kejahatan. Manusia dan jin yang beriman dan taat kepada perintah-perintah Allah SWT dinamakan wali (kekasih) Allah, sedangkan yang durhaka dan kufur kepada Allah dinamakan syaitan.[1] Dari pengertian yang dipaparkan oleh Imam al-Qurthubi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa istilah syaitan juga bisa digunakan untuk menyebut manusia yang durhaka kepada Allah SWT. Penyebutan syaitan untuk manusia yang durhaka ini juga diungkapkan oleh al-Qur'an dalam surat al-Nas, Allah berfirman: "Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia." Allah juga berfirman: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin." [Q.S. al-An'am: 112].

Sedangkan Imam Ibnu Abbas membedakan antara jin dengan syaitan, beliau mengatakan bahwa jin adalah keturunan dari al-Jan (bapaknya jin)[2] dan bukan merupakan syaitan. Jin bisa mati, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Sedangkan syaitan adalah keturunan Iblis dan tidak akan mati kecuali bersama Iblis.

Imam al-Damiri dalam ensiklopedinya yang berjudul Hayat al-Hayawan al-Kubra menjelaskan bahwa semua jin adalah keturunan Iblis. Menurut sebuah pendapat, jin adalah jenis, sedangkan Iblis adalah salah satu dari mereka.[3] Dan tidak diragukan lagi bahwa jin merupakan keturunan Iblis berdasarkan keterangan dalam al-Qur'an, "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim." [Q.S. al-Kahfi: 50]. Imam al-Suhaili berpendapat bahwa jin juga mencakup terhadap malaikat dan lainnya yang tidak tampak oleh penglihatan manusia.[4]

 

Dari apa jin diciptakan?

Ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi SAW telah menerangkan secara jelas bahwa jin diciptakan dari api. Allah SWT berfirman: "Dia (Allah) menciptakan jin dari nyala api." [Q.S. al-Rahman: 15]. Dalam ayat lain Allah menegaskan: "Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." [Q.S. al-Hijr: 27]. Asal kejadian jin yang terbuat dari api juga ditegaskan oleh Iblis, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qur'an, "Iblis menjawab "Saya lebih baik dari padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." [Q.S. al-A'raaf: 12]. Mengenai asal kejadian jin ini, Rasulullah SAW juga telah bersabda: "Malaikat diciptakan dari nur, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari sesuatu yang disifatkan Allah kepadamu (dalam kitab-Nya, yakni dari adonan tanah)." [H.R. Muslim].[5]

Lalu jika jin diciptakan dari api, bagaimana jin-jin kafir disiksa dengan api? Pertanyaan semacam ini kadang-kadang sering muncul, akan tetapi jika kita sedikit berfikir, kita akan tahu dan akan faham tentang masalah ini. Kita tahu bahwa manusia diciptakan dari tanah, akan tetapi keberadaan manusia sekarang bukanlah tanah. Tanah hanya merupakan asal kejadian manusia saja. Sehingga apabila manusia dilempar dengan tanah liat, ia akan merasakan sakit. Demikian juga jin, walaupun asal kejadiannya dari nyala api, jin sekarang tidaklah berwujud api. Banyak dalil yang menunjukkan hal itu. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dengan sanad yang shahih dari Sayidah A'isyah RA, bahwa suatu hari Rasulullah SAW sedang mengerjakan shalat, kemudian ada syaitan yang mendatangi beliau dan bermaksud mengganggu shalat beliau, maka Rasulullah SAW membantingnya, lalu mencekiknya. Rasulullah SAW bersabda: "Sehingga aku menyentuh mulutnya yang dingin." Dalam riwayat lain: "Sehingga tanganku menyentuh air liurnya yang dingin." Dari keterangan hadits ini, jelaslah bahwa jin sekarang bukanlah api, karena jika ia berupa api, maka Rasulullah SAW pasti tidak akan merasakan dingin ketika menyentuh mulut atau air liurnya.

Berdasarkan penjelasan dari Rasulullah SAW, jin terdiri dari tiga kelompok. Kelompok pertama adalah bangsa jin yang mempunyai sayap dan dapat terbang di angkasa. Kelompok kedua adalah yang berbentuk seperti ular dan kalajengking dan yang terakhir adalah kelompok jin yang mendiami suatu tempat dan berpindah-pindah ke tempat yang lainnya (bermigrasi).[6] Waspadalah !...


[1] Al-Qurthubi, al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an. (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003), 19/5.

[2] Menurut Imam al-Jauhari, sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Syibli berpendapat bahwa al-Jan adalah bapak dari jin. (Akam al-Marjan fi-Ahkam al-Jan, 1/6.)

[3] Al-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, 1/206-207.

[4] Al-Syibli, Akam al-Marjan fi Ahkam al-Jan, 1/6.

[5] Al-Manawi, al-Taysir bi Syarh al-jami' al-Shaghir. (Riyadh: Maktabah al-Imam al-Syafi'i, 1988), 1/1051.

[6] Al-Asqalani, Fath al-Bari. (Beirut: Dar al-Ma'rifat), 6/345.

Jumat, 01 Januari 2010

BID'AH


 

Imam al-Raghib al-Asfihani dalam kitabnya Mufradat al-Qur'an mengatakan bahwa kata al-Ibda' mempunyai makna menciptakan (mengadakan) pekerjaan tanpa meniru dan mengikuti contoh yang lain. Ketika lafadz-lafadz tersebut digunakan (dinisbatkan) pada Allah SWT, maka kata al-ibda' mempunyai pengertian bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan atau mengadakan sesuatu tanpa menggunakan alat dan bahan (materi), juga tanpa zaman (waktu) dan tempat. Yang demikian ini hanyalah berlaku bagi Allah semata.[1] Allah SWT. berfirman:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ.

"Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya "Jadilah" lalu jadilah ia." [Q.S. al-Baqarah: 117].

Imam Ibnu Atsir dalam kitabnya al-Nihayah mengatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, bid'ah al-Huda (baik) dan bid'ah al-Dlalal (sesat), yaitu sesuatu yang tidak sesuai (bertentangan) dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bid'ah semacam ini termasuk dalam kategori perkara yang dicela, dikecam dan diingkari oleh syara'. Adapun perkara-perkara yang yang termasuk dalam keumuman sesuatu yang disunahkan dan dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka semua itu termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, walaupun perbuatan itu sebelumnya belum pernah ada, seperti sifat dermawan dan mengerjakan perbuatan ma'ruf. Semua itu termasuk dalam kategori perbuatan-perbuatan yang terpuji dan tidak boleh dikatakan bahwa hal itu bertentangan dengan syara' karena sungguh Nabi SAW telah menjanjikan pahala bagi orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Beliau bersabda: "Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik) maka baginya pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari orang yang mengerjakannya."  Sebaliknya beliau bersabda: "Dan barang siapa melakukan suatu perbuatan yang sayyi'ah (jelek) maka baginya dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya." [H.R. Muslim dll.]. Sedangkan perbuatan jelek adalah semua perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Termasuk dalam kategori ungkapan "Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang hasanah (baik)." adalah ucapan sahabat Umar: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", yakni ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk bersama-sama melaksanakan shalat terawih berjamaah. Karena hal itu termasuk dari perbuatan baik dan termasuk dalam kategori perbuatan yang terpuji, maka beliau (Umar) menamakan sebagai bid'ah dan memujinya karena Nabi SAW tidak pernah melakukan perbuatan itu (mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat terawih berjamaah) sebelumnya. Hanya saja beliau (Nabi SAW) shalat beberapa malam lalu meningggalkannya. Beliau tidak melanggengkannya dan beliau juga tidak mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakannya. Hal itu juga tidak terjadi di zaman Abu Bakar RA. Oleh karena itulah beliau sahabat Umar RA mengatakannya sebagai bid'ah yang pada hakekatnya adalah sunah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Berpegang teguhlah kamu semua terhadap sunahku dan sunah khulafaurrasyidin sesudahku." [H.R. Ibnu Majah dll.]. Nabi SAW juga bersabda: "Ikutlah kamu semua kepada dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar."  [H.R. al-Thabrani dll.].

Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa yang dimaksud dengan hadits: "Setiap perkara yang baru adalah bid'ah." adalah sesuatu yang bertentangan (tidak sesuai) dengan dasar syari'at dan tidak sesuai dengan sunah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitabnya Mafahim Yajibu an Tushahaha, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits itu adalah bid'ah yang jelek yang tidak sesuai dengan dasar-dasar syariat. Redaksi hadits semacam ini banyak kita temukan pada hadits-hadits Rasulullah SAW, seperti hadits:

1.       "Tidak ada shalat di hadapan makanan." Para ulama berkata, yakni shalat yang sempurna.

2.       "Tidak beriman diantara kalian sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri." Para ulama berkata, yakni iman yang sempurna.

3.       “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman dan  demi Allah tidak beriman.”, Rasul menjawab, "Orang yang kejahatnnya tidak membuat aman tetangganya.”

4.       “Tidak masuk surga orang yang tukang fitnah dan adu domba….” atau “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturrahim dan orang yang durhaka kepada orang tuanya.” Para ulama mengatakan bahwa sesungguhnya tidak akan masuk surga orang yang menghalalkan perbuatan itu.

Kesimpulannya bahwa para ulama tidak memahami hadits sesuai dengan teksnya saja, tetapi mereka juga menakwilkan dengan berbagai macam takwil. Sedangkan hadits yang menerangkan bid’ah ini termasuk hadits-hadits yang menjadi pembahasan utama seperti di atas, maka keumuman hadits dan kondisi para sahabat telah memberikan arti bahwa yang dimaksud dengan bid’ah di sini adalah bid’ah yang jelek (tercela).[2]

Orang-orang yang mengingkari terhadap adanya bid’ah hasanah selalu berargumen bahwa hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, lalu mereka mengambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dianggap sesat dan tidak sesuai dengan syariat agama Islam. Allah SWT berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. [الحشر/7]

“Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." [Q.S. al-Hasyr: 7].

Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman: “Dan apa yang tidak dikerjakan oleh rasul maka tinggalkanlah.” Dalam ayat tersebut Allah SWT hanya melarang untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu maka jauhilah dia.” [H.R. Muslim dll.]. Rasulullah SAW tidak mengatakan: “Dan apabila aku tidak pernah melakukan sesuatu maka jauhilah sesuatu itu.”

Marilah kita renungkan kedua dalil di atas. Setiap akal yang sehat, yang terbebas dari rasa dengki dan hasud pasti akan menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW belum tentu sesuatu itu haram atau bahkan sesat untuk dikerjakan. Karena pengharaman dan penghalalan suatu perkara harus berlandaskan pada nash, baik itu dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang terhadap sesuatu itu. Bukan berdasarkan “kaidah”: “Bahwa rasulullah tidak pernah melakukannya.”

Oleh karena itu, barang siapa menganggap keharaman suatu perkara dengan argumen bahwa Nabi SAW tidak pernah melakukannya, maka sungguh argumennnya itu tidak berdasarkan dalil dan tertolak.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diceritakan bahwa suatu hari Khalid bin Walid bersama Rasulullah SAW masuk ke rumah Maimunah, kemudian beliau diberi hidangan berupa biawak (dhab) panggang. Rasulullah SAW sempat menjulurkan tangannya, kemudian Rasulullah SAW diberi tahu bahwa Itu adalah dhab. Akhirnya beliaupun mengangkat tangannya, tidak jadi mencicipi hidangan itu. Khalid bin walid bertanya kepada Rasulullah: “Apakah itu haram wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab: “Tidak, akan tetapi hidangan itu (dhab) tidak terdapat di negeri kaumku.” Khalidpun akhirnya menyantap hidangan itu di hadapan Rasulullah SAW.[3] Dalam hadits tersebut terdapat kaidah ushuliyah: ”Bahwa sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW tidak berarti sesuatu itu hukumnya adalah haram.”[4] 


[1]  Al-Hafidz Abu al-Fadl al-Shiddiq, Itqon al-Shan'ah Fii Tahqiqi Ma'na al-Bid'ah, 1.

[2] Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahaha, 102-103.

[3] Shشhih Muslim, Hadits no. 1945.

[4] Al-Hafidz Abdullah al-Shiddiq, 6.

BOLEHKAH MEMPELAJARI SIHIR?


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ. [البقرة/102]

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui." [Q.S. al-Baqarah: 102].

Dari ayat di atas, dapat kita ketahui:

1.    Bahwa sihir hakekatnya memang ada dan terdapat dalam sejarah. Terlepas apakah sihir itu merupakan tipu daya hingga menyebabkan manusia melihat sesuatu pada selain hakekat sesuatu itu, atau keberadaan sihir yang memang dapat mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Al-Qur'an mengungkapkan tentang perbuatan para tukang sihir dengan ungkapan: "Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)." [Q.S. al-A'raf: 116]. Dalam ayat lain dikatakan: "Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka." [Q.S. Thaha: 66].

2.    Hal yang wajib kita imani adalah bahwa tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular bukanlah sihir, melainkan mukjizat dari sisi Allah SWT. Perubahan tongkat yang tidak bernyawa menjadi ular yang dapat bergerak merupakan kekuasaan Allah SWT.

3.    Sihir mempunyai pengaruh, baik yang bermanfaat maupun yang membahayakan. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: "Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya." [Q.S. al-Baqarah: 102].

4.    Pengaruh yang ditimbulkan oleh sihir tiada lain karena atas izin Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah." [Q.S. al-Baqarah: 102].

5.    Sihir merupakan salah satu bentuk kekufuran. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: "Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Juga firman Allah SWT: "Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Namun dimanakah letak kekufuran dalam sihir? Apakah mempelajarinya, mengajarkannya, melakukanya, atau karena mempunyai keyakinan bahwa sihir itu mempunyai pengaruh dengan sendirinya di luar kehendak Allah SWT? Para ulama berbeda pendapat seputar pertanyaan-pertanyaan ini. Namun dari beberapa pendapat itu, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.    Meyakini bahwa efek yang ditimbulkan oleh sihir di luar kehendak Allah adalah kufur, dan inilah yang disepakati oleh para ulama.

b.    Mempraktekkan sihir untuk mencelakai manusia adalah haram, walaupun disertai dengan keyakinan bahwa yang menyebabkan itu semua adalah Allah SWT, karena dalam Islam terdapat prinsip "la dlarara wala dlirara" (seseorang tidak boleh mencelakai dirinya sendiri dan tidak boleh mencelakai orang lain). Artinya Islam melarang pemeluknya untuk mencelakai dirinya sendiri dan juga mencelakai orang lain.

c.     Para ulama banyak menyinggung tentang hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin al-A'sham telah menyihir Nabi SAW. Hadits itu diakui keshahihannya oleh para ulama ahli hadits. Mereka mengatakan bahwa hal itu boleh saja terjadi pada diri Nabi SAW, karena sihir itu termasuk salah satu jenis penyakit yang menimpa manusia, sehingga hal itu tidak mengurangi derajat Nabi SAW sebagai seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang dimaksud dalam firman Allah SWT: "Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia." [Q.S. al-Maidah: 67], maksudnya adalah pemeliharaan hati dan iman, bukan pemeliharaan jasad, karena anggota tubuh Rasulullah SAW banyak mengalami cidera ketika berperang. Beliau juga dianiaya oleh orang-orang Quraisy.[1]

 

Bolehkah mempelajari sihir?

Sebagian ulama berpendapat mempelajari sihir hukumnya boleh, dengan landasan bahwa malaikat mengajarkan sihir kepada manusia, sebagaimana yang telah dikisahkanoleh al-Qur'an: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya." [Q.S. al-Baqarah: 102]. Ulama yang cenderung berpendapat semacam ini di antaranya adalah Imam Fakhruddin al-Razi yang merupakan ulama Ahlusunnah.

Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa belajar atau mengajarkan sihir hukumnya haram. Alasannya karena al-Qur'an telah mengecamnya dan menjelaskan bahwa sihir adalah kufur. Lalu bagaimana bisa dikatakan boleh? Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda bahwa sihir termasuk dalam kelompok dosa besar yang keji. Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang merusak (dosa besar). Para shahabat bertanya, "Apa saja ketujuh perkara itu wahai Rasulullah?" Maka Rasulullah SAW bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan oleh Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang dan menuduh zina terhadap perempuan-perempuan mukmin." [H.R. Bukhari, Muslim dll.].

Imam al-Razi yang cenderung mengatakan bahwa belajar sihir diperbolehkan beralasan pada kesepakatan para ulama yang memandang bahwa sesungguhnya ilmu sihir tidaklah jelek dan dilarang, karena semua ilmu esensinya adalah mulia berdasarkan keumuman firman Allah SWT: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" [Q.S. al-Zumar: 9]. Seandainya seseorang tidak mengetahui sihir, lantas bagaimana mampu ia membedakan antara sihir dengan mukjizat dan sihir dengan karamat. Lalu bagaimana mempelajarinya dikatakan haram dan terlarang?

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa mempelajari sihir adalah wajib bagi seorang mufti agar ia mengetahui, mana korban yang dibunuh dengan sihir dan mana yang bukan, sehingga ia bisa memutuskan qishash pada oknum yang melakukan sihir hingga menyebabkan kematian.

Di sisi lain Imam al-Alusi mengatakan bahwa pendapat yang benar menurut beliau adalah haram mempelajari sihir sebagaimana yang telah diungkapkan oleh mayoritas ulama, kecuali jika ada dorongan syara'.

Imam al-Alusi lalu menanggapi pendapat yang disampaikan oleh Imam al-Razi sebagai berikut:

1.    Kami (mayoritas ulama) tidak mengklaim bahwa ilmu sihir itu esensinya jelek. Kejelekan ilmu sihir disebabkan karena efek-efek negatif yang ditimbulkan dari ilmu itu. Maka mengharamkannya termasuk dalam rangka saddu al-dzarai' (menutup perantara yang dapat membawa pada hal-hal yang negatif).

2.    Tidaklah dapat dibenarkan jika seseorang harus belajar sihir karena faktor untuk membedakan antara sihir dengan mukjizat. Karena untuk mengetahui perbedaan antara maukjizat dan sihir tidaklah bergantung harus mempelajari ilmu sihir. Mayoritas ulama atau semua ulama yang mengetahui perbedaan antara sihir dan mukjizat tidaklah mempunyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Sehinnga, seandainya belajar ilmu sihir merupakan kewajiban, maka kita pasti akan mengerti bahwa orang-orang yang paling tahu tentang hal itu adalah para ulama generasi awal.

3.    Apa yang dinukil dari sebagian ulama yang berpendapat, "Bahwa mempelajari sihir adalah wajib bagi seorang mufti agar ia mengetahui mana korban yang dibunuh dengan sihir dan mana yang bukan, sehingga ia bisa memutuskan qishash pada oknum yang melakukan sihir hingga menyebabkan kematian." tidaklah benar. Fatwa seorang mufti berkaitan adanya hukum qishah atau tidak bagi pelaku sihir tidak ditentukan oleh pengetahuan mufti tentang sihir, karena bentuk fatwanya –sebagaimana yang dituturkan oleh Ibnu Hajar– terjadi ketika ada dua orang saksi yang adil dan memiliki pengatahuan tentang sihir yang telah bertaubat dari sihir, bahwa seseorang itu terbunuh karena sihir, sehingga menyebabkan tukang sihir itu wajib untuk diqishah.

Imam Ibnu Hayyan berpendapat bahwa hukum sihir dengan cara mengagungkan selain Allah seperti setan-setan atau bintang-bintang hukumnya kufur sesuai kesepakatan ulama, sehingga tidak boleh dipelajari dan diamalkan. Demikian juga sihir yang dipelajari untuk maksud yang dilarang oleh syara', seperti untuk mengadu domba, memisahkan suami istri, atau di antara teman-temannya dll. Macam sihir yang tidak diketahui juga tidak boleh dipelajari dan diamalkan. Sedangkan yang termasuk jenis khayalan dan tipuan pandangan mata juga tidak patut dipelajari karena tergolong perkara yang bathil. Tetapi jika maksudnya hanya untuk hiburan dan permainan, hukumnya adalah makruh.[2]


[1] Syeikh Athiyah Shaqar, Fatawi al-Azhar, 10/152.

[2] Syeikh Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Ashriyah, 2008, 1/77-78.