Senin, 05 Oktober 2009

Mushafahah Setelah Shalat


Mushafahah atau berjabat tangan sudah menjadi kebiasaan yang kita lakukan ketika kita bertemu dengan saudara kita. Hukum asal mushafahah (berjabat tangan) antara seorang muslim dengan saudara muslim yang lain ketika bertemu adalah sunnah. Demikian itu untuk mempererat rasa kasih sayang di antara sesama muslim, memuliakan dan menguatkan tali silaturrahmi di antara mereka. Beberapa hadits telah menyebutkan bahwa mushafahah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh para shahabat. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan yang lainnya. Suatu ketika Imam Qatadah RA pernah bertanya kepada Shahabat Anas bin Malik RA: "Adakah mushafahah terjadi pada shahabat Rasulillah SAW?" Maka shahabat Anas berkata: "Ya." [H.R. Bukhari]. Rasulullah SAW juga telah menetapkannya, bahkan beliau juga menyukainya. Hal itu dibuktikan dengan sabda beliau: "Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian berjabat tangan kecuali keduanya diampuni (dosa-dosanya) sebelum keduanya berpisah." [H.R. Abu Dawud dan al-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini adalah hasan.] Rasulullah SAW juga bersabda: "Sesungguhnya seorang mukmin ketika bertemu mukmin yang lain, kemudian mengucapkan salam dan berjabat tangan, maka berserakanlah dosa-dosa keduanya, sebagaimana daun-daun pepohonan yang berserakan." [H.R. al-Thabrani]. Beliau SAW juga bersabda: "Sesungguhnya seorang muslim ketika bertemu dengan saudaranya, kemudian menjabat tangannya, maka gugurlah dosa-dosa keduanya, sebagaimana daun kering yang berguguran tertiup angin topan. Apabila tidak, maka keduanya diampuni, walaupun dosanya seperti buih yang ada di lautan." [H.R. al-Thabrani dengan sanad yang hasan].  
Mushafahah yang biasa kita lakukan setelah shalat berjamaah memang tidak pernah diketahui terjadi pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi dan muncul setelah Rasulullah SAW wafat. 
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai perbuatan ini yang tidak terjadi pada zaman Nabi SAW dan para shahabatnya. Sebagian ulama mengatakan hal itu adalah bid'ah yang tercela berdasar pada sabda Nabi SAW: "Setiap bid'ah adalah sesat." Sebagian ulama yang lain mengatakan hal itu memang bid'ah, akan tetapi tidak bisa dikatakan sebagai bid'ah yang tercela, lebih-lebih sesat, karena tidak ada larangan mengenai hal itu. Dan lagi banyak perkara-perkara baik yang muncul setelah wafatnya Nabi SAW, namun hal itu menjadi kebutuhan manusia, sehingga mereka mengerjakan dan memeliharanya.
Dalam kitab Ghidza' al-Albab oleh Imam al-Safarini dijelaskan bahwa Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang hukum berjabat tangan (mushafahah) setelah mengerjakan shalat ashar dan shubuh, apakah yang demikian itu disunahkan atau tidak? Maka beliau menjawab bahwa hal itu adalah termasuk bid'ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan tidak ada seorang ulama'pun yang mengatakan bahwa hal itu adalah sunnah. 
Di sisi lain Sulthanul Ulama Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H.) mengatakan bahwa hal itu merupakan bid'ah yang diperbolehkan. Dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam pada bab bid'ah, beliau menjelaskan bahwa definisi bid'ah adalah perbuatan yang tidak diketahui pada zaman Rasulullah SAW. Kemudian beliau menjelaskan lagi, bahwa bid'ah itu terbagi menjadi lima, yaitu bid'ah wajib, bid'ah yang diharamkan, bid'ah yang disunnahkan, bid'ah yang dimakruhkan dan bid'ah yang diperbolehkan (mubah) seperti mushafahah (berjabat tangan) setelah shalat subuh dan ashar. 
Lebih lanjut Imam al-Nawawi (w. 676 H.) mengatakan bahwa mushafahah yang biasa dilakukan orang-orang setelah shalat subuh dan ashar semacam ini tidak ada dasarnya, namun hal itu tidaklah masalah, karena hukum asal mushafahah adalah sunnah. Kemudian jika orang-orang mengerjakannya pada waktu-waktu tertentu dan mengabaikannya pada waktu-waktu yang lain tidaklah menyebabkan hal itu keluar dari hukum asal mushafahah yang telah ditetapkan oleh syara'. Jadi, menurut imam Nawawi mushafahah semacam itu tidaklah keluar dari hukum asal mushafahah yang sunnah. 
Wal hasil, permasalahan mushafahah setelah shalat merupakan permasalahan khilafiyah. Sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian yang lain melarangnya. Semua pendapat itu merupakan hasil ijtihad mereka, jika benar akan mendapatkan dua pahala dan jika salah akan mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya. Sehingga adanya perbedaan itu harus kita sikapi sebagai rahmat yang tidak perlu menyebabkan perpecahan, apalagi sampai menuduh kelompok yang lain sesat dan lain-lain. Allahumma wal 'iyadzu billah.