Minggu, 22 Februari 2009

Menyempurnakan Shaf



Dalam kitab fatwanya , al-Imam Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi  pernah ditanya tentang seseorang yang tidak menyempurnakan shofnya (barisan sholat) dan membuat shof lagi di belakang, sebelum shof di depannya sempurna (penuh). Beliau menjawab bahwa tindakan semacam itu hukumnya adalah makruh yang dapat menyebabkan hilangnya fadhilah jamaah. Konklusi hukum semacam itu dapat ditinjau dari dua aspek. Pertama, perbuatan itu (membuat shof sebelum shof yang di depan penuh) adalah makruh. Kedua, hukum makruh dalam jamaah dapat menggugurkan fadhilah jamaah. Pada aspek yang pertama, para ulama telah menjelaskan tentang masalah itu. Dalam masalah ini mereka berkata (berkomentar) tentang kemakruhan melangkahkan kaki melewati orang-orang yang sedang sholat, kecuali jika memang didepannya ada celah (tempat kosong). Hal ini menunjukkan ketika di depan seseorang ada celah yang kosong maka disunnahkan baginya untuk melangkahkan kaki guna menyempurnakan (memenuhi) shof kosong yang ada di depannya dan makruh apabila hal itu ditinggalkan. Karena membuat shof sebelum shof yang didepan sempurna adalah makruh. Hal ini dapat dilihat dari hadits Rasulullah :
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ.
“Sempurnakanlah shof yang ada didepan, lalu berikutnya, kemudian setelah tidak ada yang kosong (sudah penuh ), maka buatlah shof dibelakangnya .” 
Al-Imam al-Nawawi , dalam kitabnya ”Majmu’ Sharh al-Muhadzdzab”, pada bab jamaah berkata: ”Para Ashhab kami dan yang lainnya telah sepakat tentang kesunahan memenuhi (menyempurnakan) shof yang kosong dan menyempurnakan shof yang pertama, lalu berikutnya (belakangnya) dan berikut seterusnya. Seseorang tidak boleh membuat shof apabila shof sebelumnya belum sempurna (penuh).” Sedangkan meninggalkan sunah adalah makruh. Apabila ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sunah adalah khilaful aula, maka menurut Imam al-Suyuthi pertanyaan itu dapat ditanggapi dengan dua jawaban. Pertama, para ulama mutaqoddimin tidak membedakan kedua istilah tersebut (makruh dan khilaful aula), kecuali Imam al-Haromain dan para ulama yang mengikutinya. Kedua, para ulama yang membedakan kedua istilah tersebut (makruh dan khilaful aula) mengatakan, bahwa khilaful aula adalah perkara-perkara yang dalam pelarangannya tidak terdapat dalil khusus (hanya diambil dari keumuman dalil), sedangkan makruh adalah perkara-perkara yang dalam pelarangannya terdapat dalil khusus. Sedangkan kita tahu bahwa dalam masalah ini (menyempurnakan shof), didalamnya terdapat dalil-dalil khusus yang memerintahkan untuk mengerjakannya. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Hakim dengan sanad yang shohih dari Ibnu Umar  bahwa Nabi  bersabda :
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ.
“Dirikanlah shof, sesungguhnya kamu semua berbaris dengan barisan para malaikat, sejajarkanlah bahu-bahumu, penuhilah celah (shof yang kosong), berilah kesempatan pada temanmu ketika ia ingin memenuhi shof dan janganlah engkau tinggalkan lubang (celah) untuk syetan. Barang siapa menyambung shof maka Allah  akan menyambungnya (dengan kebaikan, keutamaan dan pahala yang melimpah) dan barang siapa yang memutus shof maka Allah  akan memutusnya (dari kebaikan, keutamaan dan pahala yang melimpah). 
Mengenai hal ini, Imam Ibnu Baththol berkomentar: ”Meluruskan shof merupakan perkara yang sunah, dimana pelakunya berhak untuk dipuji, dan bagi yang meninggalkan berhak mendapat celaan.” Juga hadits Nabi SAW:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ.
“Luruskanlah shof (barisan sholat )mu, karena meluruskan shof termasuk mendirikan sholat.” 
Berdasarkan hadits ini mayoritas ulama beristinbat tentang kesunahan meluruskan shof. Akan tetapi Imam Muhammad Ali bin Said bin Hazm memberikan hukum wajib untuk meluruskan shof, karena mendirikan sholat itu hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang termasuk dalam perkara wajib hukumnya juga wajib.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menyempurnakan dan meluruskan shof sangat banyak sekali, diantaranya adalah:
1. Hadits riwayat at-Thabrani  dalam al-Mu’jam al-Kabir, dari Jabir berkata, Rasulullah  bersabda:
إِنَّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ إِقَامَةَ الصَّفِّ.
“Sesungguhnya termasuk sempurnanya sholat adalah mendirikan (menyempurnakan shof ).”
2. Hadits riwayat Imam Ahmad  dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan dari Abu Umamah , Rasulullah  bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ بَيْنَكُمْ. 
“Luruskanlah shof (barisan sholat)mu ,dan penuhilah celah (shof yang kosong), karena seseungguhnya syetan akan masuk pada shof yang kosong diantaramu .”
3. Hadits riwayat al-Bazzar  dengan sanad yang hasan dari Abu Jahifah , Rasulullah  bersabda:
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً فِي الصَّفِّ غُفِرَ لَهُ .
“Barang siapa memenuhi kekosongan (celah) pada shof , maka dia akan diampuni (dosanya ).”

4. Hadits riwayat al-Thabrani  dari Aisyah radhiyallahu 'anha, Rasulullah  bersabda :
مَنْ سَدَّ فُرْجَةً فِي صَفٍّ رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَبَنىَ لَهُ بَيْـتًا فِي الْجَـنَّةِ.
“Barang siapa memenuhi kekosongan (celah) pada shof, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan membangun rumah untuknya di surga.”
 Selain hal-hal di atas, perkara-perkara yang dapat menghilangkan fadlilah jamaah diantaranya adalah:
 Melakukan gerakan sholat bersamaan dengan imam. Imam al-Rafi’i ra berkata: ”Shohib al- Tadzhib (pemilik kitab tadzhib) dan ulama yang lain menyebutkan bahwa melakukan gerakan- gerakan dalam sholat bersamaan dengan imam adalah makruh, dan hal itu dapat menghilangkan fadhilah jamaah.” Pendapat senada juga diungkapkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam Raudh al-Tholibin dan Syarh al-Muhadzdzab dan juga al-Imam Ibnu al-Rif’ah dalam al-Kifayah. 
 Mendahului imam dalam gerakan sholat. 
 Memisahkan diri dari shof, bahkan menurut Imam Ahmad bin Hambal , perbuatan tersebut dapat membatalkan sholat. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa menyambung dan menyempurnakan shof (tidak memisahkan diri) merupakan hal yang sunnah, sebagaimana dalam qaidah Ushul Fiqh:
اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ.
“Keluar dari permasalahan khilafiyah adalah sunah.”

Takhtim:
Al-Imam Sahal al-Tastari  berpesan: ”Jauhilah Ahli Bid’ah , larilah dari mereka sebagaimana engkau berlari ketika melihat macan. Takutlah kamu terhadap majlis orang-orang yang melupakan Allah  dan ahli bid’ah yang meninggalkan sunah-sunah Rasulullah , di antaranya yang paling besar adalah: 
 Tidak lurus dalam shof (barisan) sholat. Shof (barisan sholat) mereka bengkok karena banyak celah dan posisi dada dan kaki mereka tidak lurus (ada yang maju dan mundur).
 Mereka menertawakan terhadap hamba-hamba Allah  yang sholih, menertawakan orang-orang yang berdzikir dan menertawakan terhadap hamba-hamba Allah  yang melakukan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.  
 Mereka meninggalkan dzikir dan membaca Al Qur’an. Sedangkan mereka sibuk dengan perbedaan yang tidak berdasar, ghibah dan membicarakan hal-hal tidak bermanfaat. 
Setelah kita mengetahui dan merenungi nasihat dari al-Imam Sahal al-Tastari, lalu apakah kita termasuk Ahli bid’ah yang dicela ?, karena ketika sholat, shof (barisan) kita bengkok (tidak lurus), ketika di depan ada yang kosong kita tidak mau maju dan memenuhinya ??... Padahal kita mengaku bahwa kita adalah orang-orang Ahlus Sunah Wal Jamaah yang senantiasa mengamalkan dan menjunjung tinggi sunnah-sunnah Rasulullah . 
***Wallahu a’lam bishshowab***

Shalat Tasbih

Dasar Hukum
Kesunahan sholat tasbih berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shohihnya dan Imam al-Thabrani. Hadits tersebut diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak dan juga diriwayatkan dari sekelompok shahabat sebagaimana keterangan yang telah diuraikan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani. Di antaranya adalah hadits yang bersumber dari Ikrimah bin Abbas RA, dimana Rasulullah SAW bersabda kepada Abbas bin Abdul Muthalib: "Seandainya engkau mampu untuk mengerjakannya (sholat tasbih) sehari satu kali, maka kerjakanlah, apabila engkau tidak mampu, maka kerjakanlah tiap jum'at (satu minggu sekali), apabila engkau tidak mampu, maka kerjakanlah satu kali dalam setahun, dan seandainya hal itu tidak mampu, maka kerjakanlah sekali dalam umurmu." Hadis ini telah dishohihkan oleh sekelompok Huffadz (pakar ahli hadits).
Imam Nawawi mengatakan bahwa sekelompok imam dari Madzhab Syafi'i telah menjelaskan tentang kesunahan sholat tasbih, diantara mereka adalah al-Imam al-Baghawi, al-Ruyani yang menukil dari Ibnu al-Mubarak bahwa sholat tasbih merupakan sesuatu yang disenangi dan disunnahkan untuk dibiasakan dan dikerjakan pada tiap-tiap waktu dan al-Hafidz al-Mundziri yang telah menguraikan hadits-hadits yang banyak mengenai kesunahan sholat tasbih dari berbagai jalur, dimana sebagian dari hadits-hadits itu adalah shohih dan sebagian yang lain terjadi perselisihan dikalangan para ulama ahli hadits. 

Tata Cara Sholat Tasbih
Sholat tasbih adalah sholat sunah empat rakaat yang dikerjakan dengan satu atau dua kali salam. Seandainya dikerjakan pada malam hari, maka yang lebih baik dikerjakan dengan dua kali salam dan seandainya dikerjakan siang hari, maka yang lebih baik dikerjakan dengan satu kali salam, baik dikerjakan dengan satu kali tasyahud atau dua kali tasyahud seperti halnya mengerjakan sholat dhuhur. Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Kalim al-Thayib wa al-Amal al-Shalih menjelaskan tentang kaifiyah sholat tasbih, bahwasanya sholat tasbih adalah sholat empat rakaat, setelah membaca Fatihah pada rakaat pertama membaca surat al-Takatsur, pada rakaat kedua membaca surat al-'Ashr, rakaat ketiga membaca surat al-Kafirun, kemudian pada rakaat keempat membaca surat al-Ikhlash. Setelah membaca surat, membaca "Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illallah wa Allahu Akbar" sebanyak lima belas kali ketika berdiri, kemudian ketika rukuk, i'tidal, dua sujud, duduk diantara dua sujud dan tasyahud masing-masing membaca sepuluh kali tasbih. Dengan begitu jumlah setiap rakaat ada 75 tasbih, sedangkan total keseluruhan menjadi 300 tasbih. Akan lebih baik jika dalam membaca tasbih ditambah dengan kalimat: "Wa Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billahil 'Aliyil 'Adhim". Pembacaan tasbih pada rukuk, i'tidal, sujud, duduk di antara dua sujud dan tasyahud dibaca setelah membaca dzikir-dzikir yang disunnahkan pada tempat-tempat tersebut. Kemudian ketika bangun dari sujud disunnahkan untuk takbir dan ketika berdiri tidak disunnahkan untuk membaca takbir. 
Seandainya seseorang lupa membaca tasbih ketika rukuk, kemudian ia ingat pada waktu i'tidal, maka ia tidak boleh kembali melakukan rukuk untuk membaca tasbih dan juga tidak boleh membaca tasbih yang terlupakan tadi pada waktu i'tidal karena i'tidal merupakan rukun yang pendek, akan tetapi tasbih yang terlupakan tadi dibaca ketika sujud.
Al-Imam Ibnu Hajar pernah ditanya seputar sholat tasbih; "Apakah sholat tasbih termasuk dalam kategori sholat sunnah muthlaq, atau termasuk sholat sunnah yang dibatasi oleh hari, jum'at (mingguan), bulan, tahun atau usia?, seandainya engkau mengatakan bahwa sholat tasbih merupakan sholat sunnah yang dibatasi dengan waktu, apakah mengqadlainya disunnahkan dan apakah melakukannya berulang kali dalam sehari semalam tidak disunnahkan? Seandainya engkau mengatakan bahwa sholat tasbih adalah sholat sunnah muthlaq, apakah mengqadlainya tidak disunnahkan dan mengerjakan berulang kali sehari semalam disunnahkan?. Lalu apakah tasbih yang dibaca pada sholat tasbih merupakan hal yang fardlu, sunnah ab'adl atau sunnah haiat?" Maka beliau menjawab: "Sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan oleh para ulama bahwa sholat tasbih merupakan sholat sunnah muthlaq. Oleh karena itu haram dikerjakan pada waktu-waktu karahah. Letak kesunahan muthlaq sholat tasbih adalah karena sholat tersebut tidak dibatasi oleh waktu dan sebab, demikian juga tentang kesunnahannya dapat dilakukan kapan saja baik siang maupun malam selain pada waktu karahah. Karena sholat tasbih merupakan sholat sunnah muthlaq, maka tidak disunnahkan untuk diqadlai dan disunnahkan untuk dikerjakan berulang kali dalam satu waktu. Sedangkan tasbih-tasbih yang dibaca dalam sholat tasbih merupakan sunnah haiat seperti halnya takbir-takbir pada sholat Id, bahkan lebih utama. Maka dari itu, ketika meninggalkan tasbih-tasbih tersebut tidak diganti dengan sujud syahwi. Seandainya seseorang berniat mengerjakan sholat tasbih akan tetapi tidak membaca tasbih, maka sholatnya tetap sah, dengan syarat tidak terlalu lama ketika i'tidal, duduk antara dua sujud dan duduk istirahat. Karena menurut pendapat yang ashah bahwa memanjangkan duduk istirahat dapat membatalakan sholat sebagaimana yang telah aku uraiakan dalam Syarah al-Ubab dan kitab yang lain. Kemudian sholat yang dikerjakan oleh orang tersebut menjadi sholat sunnah muthlaq bukan sholat tasbih."

Fadlilah Sholat Tasbih
Keutamaan sholat tasbih sebagaimana keterangan dalam berbagai hadits adalah dapat menghapus dosa-dosa, baik yang awal maupun yang akhir, dosa-dosa yang telah lampau maupun yang baru, baik yang disengaja maupun yang tidak dan juga yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan perlu diketahui bahwa dosa-dosa yang dihapus karena mengerjakan sholat tasbih adalah dosa-dosa kecil karena dosa-dosa besar tidak bisa terhapus kecuali dengan taubat yang sungguh-sungguh. Wallahu A'lam  

Minggu, 01 Februari 2009

Ilmu dan Amal


Ilmu dan amal seharusnya merupakan dua hal yang tidak bisa untuk dipisahkan. Seseorang yang berilmu, ia dituntut untuk mengamalkan ilmunya itu. Ada syair yang mengatakan: "Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka kelak ia akan disiksa terlebih dahulu dari pada penyembah berhala." Nah, disinilah konsekwuensi yang harus ditanggung bagi orang-orang yang mempunyai ilmu ketika ia tidak mengamalkan ilmunya. Tentunya kita bisa mengambil pelajaran dari syair di atas, setidaknya ungkapan di atas menjadi semacam pengingat bagi kita untuk selalu mengamalkan ilmu yang kita miliki, dengan begitu kita tidak termasuk dalam kategori orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya.
Sebaliknya ada ungkapan lain yang mengatakan: "Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak dan tidak akan diterima." ungkapan ini sebenarnya mendorong kita, agar kita selalu dan selalu menggunakan waktu kita utuk menuntut ilmu, karena menuntut ilmu tidak terbatas oleh usia, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Menuntut ilmu dimulai ketika seseorang berada digendongan ibunya sampai ia meninggal."
Maka bagi orang-orang yang berfikir cerdas, semestinya bisa memfungsikan kedua ungkapan di atas dengan sebaik-baiknya. Ungkapan pertama berfungsi sebagi kontrol agar ia selalu mengamalkan ilmunya. Sedangkan ungkapan yang kedua berfungsi sebagai motivator untuk selalu dan selalu menuntut ilmu karena Allah SWT. Maka pada hakekatnya ilmu dan amal merupkan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. 
Astaghfirullaha Min Qaulin Bila 'Amalin....

Terbukanya Pintu Ijtihad


Munculnya berbagai masalah di zaman yang modern ini menyebabkan ijtihad dalam menentukan hukum merupakan suatu hal yang manjadi suatu keharusan untuk dilakukan. Permasalahannya, di zaman sekarang, siapa yang berhak untuk berijtihad? Apakah semua orang boleh berijtihad untuk menentukan hukum syar'I ? Apakah ijitihad itu mudah seperti halnya membuat ote-ote?

Dasar pertama dan utama dalam syariat Islam untuk menetapkan dan membuat undang-undang berdasarkan hukum Islam ialah terbukanya pintu ijtihad bagi mereka yang ahli dalam bidang hukum. Ijtihad dalam konteks etimologi mempunyai pengertian mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan dalam konteks terminology ulama ushul, ijtihad diartikan sebagai upaya pengerahan kemampuan seorang faqih (pakar fiqh) dalam menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Terbukanya pintu ijtihad lebar-lebar karena hukum-hukum yang disebutkan secara tegas dan jelas (nash) dalam al-Qur'an dan al-Hadits memang terbatas jumlahnya. Ibnul Qayyim di dalam kitabnya A'lam al- Muwaqqi'in mengatakan bahwa jumlah ayat-ayat yang merupakan dasar dalam al-Qur'an tidak lebih dari lima ratus ayat. Sedangkan jumlah hadits-hadist Nabi SAW yang menjadi dasar penentuan hukum hanya sekitar lima ratus hadits yang tersebar di antara ratusan ribu hadist yang ada. Dengan demikian, maka dasar syariat hukum islam, baik dari al-Qur'an maupun Hadist Nabi SAW berjumlah seribu nash. Dan itulah yang menjadi sumber pengambilan segala peraturan dan undang-undang Islam yang demikian kayanya, yang hingga kini tetap bermanfa'at dan dibutuhkan oleh umat agama ini.
Al-Qur'an telah mengajarkan agar umat Islam berijtihad, berupaya menarik kesimpulan hukum serta menerima pengarahan para ulama dan ahli-ahli pikir mereka. Allah SWT berfirman : "Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)." [Q.S. al-Nisa':83]. Ayat ini jelas berisi anjuran yang cukup tegas, untuk beristinbath dan berijtihad, yakni mengambil kesimpulan dan berusaha mencari hukum dengan mengadakan perbandingan dan lain sebagainya.
Sejarah juga telah menceritakan kapada kita, bagaimana Rasulullah SAW melatih para sahabatnya dalam memutuskan suatu hukum dan mendorong mereka agar mengerahkan segala kemampuan daya fikirnya untuk berijtihad. Beliau menenangkan hati para sahabat agar tidak ragu atau takut salah dalam usaha ijtihadnya. Karena seorang mujtahid yang benar dalam ijtihadnya akan diberi dua pahala. Dan bagi yang salah dalam ijtihadnya akan memperoleh satu pahala. Allah SWT berfirman: "Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS.Al-Ahzab:5]

Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Para ulama membagi tingkatan mujtahid menjadi lima tingkatan: 
1. Al-Mujtahid al-Muthlaq al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang menciptakan kaidah-kaidah sendiri dalam ijtihadnya, seperti Imam Abu Hanifah al-Nu'man, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai tingkatan Mujtahid fi al-Syar'i.
2. Al-Mujtahid al-Muthlaq Ghoiru al-Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad yang terdapat dalam mujtahid mustaqil, hanya saja ia tidak mampu menciptakan kaidah-kaidah sendiri, akan tetapi menggunakan kaidah yang telah disusun oleh imam madzhab mereka. Mujtahid semacam ini juga disebut sebgai Mujtahid Muthlaq Muntasib Ghairu Mustaqil. Termasuk dalam tingkatan ini adalah para murid dari para imam madzhab, seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari Madzhab Hanafi, Ibnu al-Qasim dari Malikiyah, al-Buwaity dan al-Muzani dari Syafi'iyyah dan Abu Bakar al-Atsram dari Hanabilah. Imam Ibnu Abidin menyebut tingkatan ini sebagai Mujtahid fi al-Madzhab. Mereka adalah para mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh guru-guru mereka, meskipun mereka berbeda pendapat dengan imamnya mengenai beberapa hukum dalam masalah furu' akan tetapi mereka mengikuti imamnya dalam kaidah-kaidah ushul. Menurut sebagian ulama dua tingkatan ini sudah tidak ada lagi sejak beberapa abad tahun yang lalu.
3. Al-Mujtahid al-Muqoyyad, atau disebut juga sebagai mujtahid fi al-masail (beberapa masalah) yang tidak ada keterangan yang jelas dari imam madzhab. Mujtahid ini juga disebut sebagai Mujtahid Takhrij. Mereka seperti al-Thahawy, al-Karkhy dan al-Halwany dari Hanafiyah, al-Abhari dan Ibnu Abi Zaid al-Qayrawany dari Malikiyah, Abu Ishaq al-Syairazi, al-Marudzi, Muhammad bin Jarir dan Ibnu Khuzaimah dari Syafi'iyyah dan al-Qadli Abu Ya'la dan al-Qadli Abu Ali bin Abu Musa dari Hanabilah. Para ulama menyebut mereka sebagai Ashhabu al-Wujuh karena mereka mampu mengeluarkan hukum suatu maslah yang tidak ada keterangan dari pendapat-pendapat imam mereka.
4. Mujtahid al-Tarjih, yaitu seorang mujtahid yang mampu untuk mentarjih (mengunggulkan) satu pendapat dari Imam Madzhab atas pendapatnya yang lain atau mentarjih di antara pendapat yang telah diungkapkan oleh Imam Madzhab dan pendapat yang diungkapkan oleh murid-muridnya atau pendapat dari imam yang lain (madzhab lain). Tugas mereka adalah mengutamakan sebagian riwayat dari sebagian yang lain. Mereka seperti al-Qadury dan al-Marghinani dari Hanafiyah, al-Allamah al-Kholil dari Malikiyah, al-Rafi'I dan al-Nawawi dari Syafi'iyyah dan al-Qadli 'Ula'uddin al-Mardawi dari Madzhab Hanbali.
5. Mujtahid Fatwa, yaitu seorang mujtahid yang mempunyai kepedulian untuk menjaga eksistensi madzhabnya dengan cara mengutip, mengkaji dan mengupas suatu pendapat. Selain itu mereka juga mampu untuk membedakan antara pendapat yang lebih kuat, kuat dan lemah. Hanya saja mereka belum mampu untuk mnelusuri lebih jauh mengenai dalil-dalinya atau bentuk qiyas-qiyasnya. Dari kalangan Hanafiyah yang telah mencapai tingkatan ini adalah para pengarang kitab matan dari golongan ulama muta'akhirin, seperti pengarang kitab al-Kanzu, pengarang kitab al-Dur al-Mukhtar , pengarang kitab al-Wiqayah dan pengarang kitab Majma' al-Anhar. Sedangkan dari kalangan Madzhab Syafi'i terdapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.

Benarkah pintu ijtihad masih terbuka?
Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka. Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya. Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.
Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.  
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim]. Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka. 

Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT." 

Jalan tengah
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal: 
1. Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
2. Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."  
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan, harusnya ijtihad di zaman sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman Imam Syafi'i atau imam-imam yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin ilmu yang digunakan untuk berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal itu memudahkan bagi kita. Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk berijtihad masih sangat langka atau mungkin belum tertulis. Pada zaman imam-imam terdahulu ketika ingin mencari hadits maka harus membuka satu persatu, lembar per lembar beberapa kitab hadits. Sedangkan di zaman kita sekarang untuk mencari dan meneliti suatu hadits merupakan sesuatu yang sangat mudah, kita tinggal mengetik redaksi hadits tersebut lalu tinggal enter, maka hadits yang kita inginkan akan segera tampil. Pertanyaannya, mengapa di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para imam sekaliber al-Syafi'i, al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu tiada lain karena Allah SWT telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai peringatan akan berakhirnya zaman dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu semua termasuk dari tanda-tanda kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Termasuk tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya kebodohan." [H.R. Muslim] Wallahu A'lam…(red.)